Sembilan Belas

1.1K 83 1
                                    

Rahila

Aku dan empat anak lainnya sudah di mobil Fuad menuju Port Dickson untuk piknik. Ada sekitar 25 orang yang ikut, beberapa di antaranya belum pernah ke pantai.

Fuad juga semangat dengan membeli tiga tenda untuk beristirahat. Aku tentu aja udah membeli kipas portable, nggak kebayang sih jam sembilan pagi ke pantai tuh gimana konsepnya deh? Sunrise juga bukan, sunset apalagi.

Tapi ya udah lah, demi anak-anak seneng. Jadi inget ucapan teman-temanku yang sudah pada memiliki anak, "mama sih terserah kalian aja ya, yang penting seneng." Oh ini maksudnya.

Setelah menempuh perjalanan selama hampir dua jam, kami pun sampai. Anak-anak saling berebut menggelar tikar, menghidangkan cemilan dan membangun tenda. Aku dan cikgu jadi dimudahkan kerjanya.

Sesekali aku mengambil gambar mereka juga merekam video untuk di-upload karena mereka memiliki Facebook page.

"Berenang di laut boleh nggak?" Tanya Aida

"Jangan, takut tenggelam. Udah di sini aja, kan piknik." Kata cikgu.

Kami duduk dan mulai belajar sambil bermain. Cikgu menjelaskan darimana datangnya air laut, kenapa ada pohon kelapa di pinggir pantai dan pengetahuan umum lainnya. Yang niat belajar, memang bawa buku tulis untuk mencatat. Yang niatnya main, malah bawa baju ganti hahaha, lucunya mereka.

Kak Siti mulai menyajikan makanan utama, ada ayam masak merah, ayam kecap, gulai sayur dan sambal.

Jujur aku nggak cocok sama makanan Melayu. Ayam masak merah ini terlalu manis. Ayam kecap memang manis, tapi aku cocoknya kecap Indonesia. Akhirnya aku hanya menyantap nasi dan gulai sayur karena rasanya mirip sama Sayur Ubi Tumbuk dari Pagi-Sore yang favorit sejuta umat itu.

"Kamu gimana di lantai 22?" Tanya Fuad. Sejak dipindah ke lantai 22, aku hanya bertemu dengannya saat meeting gabungan saja.

"Lebih tenang karena masih sepi." Aku menyendokkan sayur dan nasi ke mulut.

Fuad tersenyum, "besok mau ke mana"

"Hmm, di rumah, istirahat. Kamu?"

"Sama. Senin ada acara? Mau makan bareng?"

"Nggak dulu deh, Ad. Aku mau banyak istirahat bulan ini. Tapi makasih loh ajakannya."

"It's okay." Balasnya

Sempat mikir, apa aku nikah aja nih sama si Fuad? Mumpung dia mau sama aku dan CV dia lumayan mentereng. Hehehe. Ge-er banget, belum tentu dia mau sama aku. Mana tau cuma niat berteman baik aja.

Zzt.. Zztt

Aku lihat nama Kak Silmi tertera di layar dan memilih permisi ke yang lain untuk menerima telefon.

"Assalamu'alaikum, ya Kak? Halo?" Sapaku.

"Wa'alaikumsalam, ini aku." Kata suara di sana.

Argh! Aku lupa mengganti namanya.

"Oh. Kenapa?" Tanyaku bete.

"Mama datang." Ujar Zidan.

"Hah? Apa lo bilang tadi?" Padahal aku mendengar dengan jelas ucapannya.

"Mama datang."

"Terus ngapain nelfon gue?" Dengan nada sedikit kesal

"Ya karena mama mau ketemu kamu. Emangnya kamu pikir aku yang mau ketemu kamu?"

Wah emang paling bisa memancing keributan ya ini orang? "Nggak bisa, gue di Port Dickson."

"Ngapain? Bulan madu?"

Aku menendang-nendang batu besar yang ada di hadapanku, bahkan kakiku tidak terasa sakit sama sekali. Itulah adrenalin. Rasanya mau ku tabok mulutnya, "apaan sih lo. Nggak bisa ya kalau nggak nuduh?"

"Rahila, kamu harus bisa bedain mana pertanyaan, mana tuduhan." Jawabnya, lalu melanjutkan, "kamu ngapain di sana? Main banana boat lagi? Mau punggungnya encok lagi? Hah?"

"Tuh kan, itu tuduhan, bukan pertanyaan. Lo tuh nggak bisa ya ngomong beradab dikit, nggak usah ngegas. Nggak usah sok ngatur. Bye." Aku mematikan telfonnya dan terduduk di kursi di bawah pohon.

Belum ada lima detik, tentu aja dia nelfon balik dan langsung nyerocos, "oh gitu? Main tutup telfon aja sekarang? Terus siapa yang nggak punya adab? Aku belum selesai ngomong padahal."

"Mau apalagi sih?" Aku menggaruk kepala karena kesal.

"Mama mau ketemu kamu." Nada suaranya sudah tidak lagi meninggi.

"Ya terus?"

"Ya terus, aku mengundang kamu untuk dateng." Terdengar dia menahan emosinya.

"Kenapa aku harus dateng?"

Dia menghela nafas, "karena Rahila, mama datang jauh-jauh ke sini bukan buat main-main. Harus pakai alasan apa lagi supaya kamu mau ketemu beliau?"

Aku menyandarkan diri dan menatap ke pohon kelapa yang ada di depanku.

"Jam berapa?" Aku mengalah pada akhirnya.

"Kamu bisanya jam berapa? Dari PD hampir dua jam kan kalau nggak macet?" Tanyanya.

Aku berpikir, "ya udah jam lima sore."

"Oke. Terus, kamu ada rekomendasi restoran Melayu yang enak dan nyaman?"

"Madam Kwan's atau Serai, ada di Pavilion dua-duanya." Balasku

"Pernah nyoba makan di De. Wan Restaurant punyanya Chef Wan?"

Kenapa jadi konsultasi kuliner sih? "Pernah, yang di The Linc KL."

"Oke, kita coba yang di BSC aja kali ya?"

Kita?

"Ya udah."

"Oke aku jemput." Ujarnya menawarkan diri.

"Nggak perlu. Ketemuan di sana aja." Aku menolak.

"Bisa nggak sih kamu tuh menerima niat baik orang lain?" Ucapnya pedas.

Haaah! "Oke, nanti gue kabarin kalau udah siap."

"Suami kamu nggak marah?" Tanyanya tiba-tiba

"Telat lo baru nanya sekarang." Jawabku ketus.

Klik!

Aku mematikan sambungan telefon terlebih dahulu dan sekalian me-non aktifkan handphone. Muak! Setiap habis bicara dengan Zidan darahku selalu mendidih karena amarah.

***

Lanjut Chapter 20 :D

Jangan lupa vote dan comment. Makasih!

Permintaan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang