Sebelas

1.4K 92 1
                                    

Rahila

Semalam aku terus memikirkan omongan Hana perihal kepercayaan diri.

Aku rasa setiap orang akan percaya diri setelah mendapatkan kepercayaan dari orang lain, dalam hal apapun, bukan hanya percintaan.

Misalnya, pertama kali kerja di kantor, perasaan ragu dan takut salah pasti ada dong? Tapi ketika dikasih kepercayaan memegang suatu project, hal itu bisa meningkatkan kepercayaan diri.

Untuk kasus aku, menumbuhkan kepercayaan diri setelah bercerai lumayan rumit; menyangkut perasaan, harga diri dan faktor X yang nggak bisa dijelaskan.

"Baik loh dia, Ra. Terus juga dia duda. Jadi kalian nggak perlu malu dengan status satu sama lain."

Hah, baru aja diomongin. Kadang yang membuat kepercayaan diri itu luntur adalah omongan orang terdekat yang sudah kita percaya.

"Nggak ah, Ma. Rara belum berpikir untuk menikah lagi."

Mama menghela nafas, "Ra, kenalan aja dulu. Berjodoh atau enggaknya kan bukan di tangan kita."

"Aku juga nggak mau, Ma kenalan sama duda. Sama-sama pernah terluka, repot urusannya." Balasku.

"Repot gimana sih, Ra?" Tanya mama ngeyel.

"Mama tu nggak pernah cerai, jadi nggak tau rasanya gimana."

Tunggu, omonganku terlalu kasar ya ke Mama?

"Kayaknya Mama harus menyerah aja ya?" Nadanya terdengar putus asa.

Aku mengangguk seolah Mama bisa melihat, "iya, Ma. Biar Rara yang menentukan semuanya. Udah dulu ya, Ma. Rara mau shopping. Assalamu'alaikum."

Klik!

Aku suka menghabiskan weekend di Mall. Semasa kuliah dulu, Bella pernah bercanda kalau aku harus mendirikan mall suatu hari nanti.

Bukan, aku bukan si konsumtif yang doyan belanja tanpa pertimbangan. Tapi, sekedar liat-liat baju, mencoba perfume dan duduk di restoran membuatku rileks.

Fuad bilang acara baby shower besok ada dresscode-nya yaitu putih nude atau putih pink. Bohong kalau aku bilang nggak punya baju warna tersebut.

"Hello, welcome." aku memasuki Zara di Mid Valley Megamall dan seorang pramuniaga menyapa.

Koleksi bulan Oktober ini kebanyakan warna coklat dan abu-abu. Gila, kucel banget pakai warna-warna itu. Kayaknya aku akan selamanya pakai baju warna putih deh, warna yang cocok untuk warna kulitku.

Aku kembali berkeliling karena belum ada yang menarik perhatian. Malahan, sekarang salah fokus melihat dress panjang berwarna putih, dengan potongan yang akan menampakkan kedua pundak. Dari dekat, terlihat motif bunga cantik berwarna biru.

Tidak jauh dari rak itu, aku juga melihat dress satin panjang berwarna hitam dengan tali spaghetti. Aku mengambil dua dress tersebut dari rak, lalu berdiri di depan cermin besar mematut diri.

Dress putih ini cantik sih tapi mau dipake ke mana? Males banget kalau harus pakai cardigan sebagai luaran atau manset putih? Transparan pula. Kalau tinggal di negara 4 musim sih enak ya, ini di negara...

"Ngapain milih dress itu? Kan kamu pakai kerudung."

Shiz, suara yang kukenal. Aku melihat melalui cermin, nggak ada di belakang. Lalu aku menoleh ke kanan, dia sedang berdiri tidak terlalu jauh dari posisiku sekarang, tangan kanannya dimasukkan ke saku celana dan tangan lainnya memegang brosur yang tergulung.

"Bukan urusan lo." Jawabku pedas.

Iya siapa lagi kalau bukan Zidan alias Mr. B, mantan suamiku. Ngapain masih di sini sih? Kayaknya udah sebulan berlalu sejak terakhir ketemu. Emang konferensi ada yang selama itu?

Permintaan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang