Tiga Puluh Enam

1.3K 104 0
                                    

Zidan

"Kamu punya pacar, Ra?"

Dia dan segala cerita di dalamnya adalah kebisingan yang digaungkan hatiku.

Keingintahuanku mengenai siapa yang memiliki hatinya, bukan karena kuingin mencampuri urusannya. Lebih dari itu. Ada rasa yang sama masih berdiam di lubuk paling dalam.

Dulu, aku bisa bertahan tanpanya selama 3 tahun. Tapi, bertemu lagi dengannya setahun yang lalu menumbuhkan harapan di diriku.

Ayah bilang aku gila karena menunggunya. Aku bilang itu adalah tanda setiaku. Ayah bilang akan ada yang mendahuluiku. Aku menggunakan perkataan klise, kalau dia memang jodohku maka Tuhan akan menjaganya untukku.

"Punya ya?" Tanyaku lagi.

Dia tidak menatapku lalu perlahan kepalanya menggeleng.

Aku selalu ingin tau, "kenapa?"

"Nggak tau." Jawabnya pendek

Aku rasa, Rahila nggak sekeras kepala dulu. Jadi aku selalu ingin menggodanya. "Kamu nggak nanya aku?"

Dia menoleh dam mengernyitkan jidatnya, "nanya apa?"

"Aku udah punya pacar apa belum." Ucapku

Kulihat dia melengos tidak peduli. "Nggak penting deh lo."

Aku tertawa pelan, "kamu sampai kapan di Jakarta?"

Dia sekarang menoleh, "dua minggu lagi aku balik."

Aku memainkan sumpit ke piring. "Tinggal di Indonesia aja. Nggak mau?"

Dengan mantap dia menggelengkan kepala. "Nggak."

"Kenapa?"

"Nggak ada apa-apa. Aku nggak kenal siapa-siapa."

"Kan ada aku." Kataku dengan percaya diri. "Kamu kenal keluargaku juga."

"Kamu tau kan aku lebih sering di luar negeri. Aku nggak pernah nyaman di Indonesia." Jelasnya. "Aku cuma punya temen SMA, itupun udah nggak sedeket dulu."

Aku mengangguk mengerti. "Itu juga dulu yang kamu rasain waktu masih nikah sama aku? Nggak nyaman tinggal di sini?"

Untuknya, pasti terlalu canggung menjawab pertanyaanku, tapi banyak sekali kesalah pahaman dalam rumah tangga kami ketika itu yang sekarang harus aku ketahui penjelasannya.

"Iya. Untuk orang yang hidupnya berpindah kayak aku, minimal butuh waktu 8-12 bulan untuk merasa nyaman dan cocok. Kayak kamu dulu tinggal di Malaysia, pasti awalnya ada perasaan gak nyaman, kan?"

Dan bagiku, mendekatinya lagi akan sangat sulit. Banyak hal yang aku tidak pahami dari dirinya seperti, tinggal di Indonesia adalah tempat ternyaman bagiku, tapi tidak untuknya.

Apakah betul aku menginginkannya kembali? Apa hanya rasa penasaranku saja?

Aku teringat pertengkaran kami dulu. Dia selalu membandingkan kalau upayaku menjadi seorang dokter spesialis lebih besar dibandingkan mempertahankan rumah tangga kami.

Dan kurasa dia benar. Sekarang, aku masih sama dengan aku yang dulu, masih meragukan kemampuanku untuk mendekatinya. Mungkin benar, aku yang selalu terlebih dulu menyerah sebelum benar-benar bertanding.

Mungkin dulu, ketika dia mengeluh karena kesepian dan selalu sendiri, itu benar-benar yang dirasakannya bukan karena sikapnya yang berlebihan.

Lagipula, ketika sekarang ingin mendekatinya lagi, aku tidak bisa seperti dulu yang serba cepat dan frontal. Atau sebenarnya bisa saja aku seperti dulu, tapi aku terlalu takut akan ditolak?

Permintaan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang