Dua Puluh Satu

990 84 2
                                    

Rahila

Pagi ini, ketika bangun dari tidur, aku langsung merasa sedih mengingat kondisi Ibu yang duduk di kursi roda.

Bahkan, ketika bertemu Kak Silmi, dia tidak membahas kalau Ibu sakit. Mungkin benar kata Zidan, tidak ada yang menyalahkan kita. Mungkin benar juga kata Mama, aku harus menurunkan ego.

Kalau saja kemarin aku menolak ajakan Zidan untuk bertemu Ibu, mungkin aku tidak akan pernah mengetahui kondisinya.

Ibu dekat denganku karena, ketika itu, anak-anaknya sibuk dengan keluarga masing-masing, cucu beliau sudah empat. Jadi, yang sering ke rumah dan jalan-jalan bersamanya adalah aku.

Kebiasaannya memegang tanganku ketika sedang jalan pun sudah sering beliau lakukan sejak dulu. Banyak yang tidak menyangka kalau aku hanya menantunya karena kedekatan yang kami perlihatkan.

Sebelum aku dan Zidan bercerai, beliau berkali-kali bertanya, "kamu yakin, Nak? Emang nggak bisa diusahakan lagi?"

Maafin Rara ya, Bu. Mungkin dada ini kurang lapang dan masih butuh bimbingan.

***

Aku membuat dessert favorit yaitu Burnt Cheesecake untuk menyambut Ayah dan Ibu di rumah. Buatanku memang nggak seenak burnt cheese cake di Pokok KL. Harap maklum ya, namanya juga tukang kue dadakan.

"Ra, kamar sebanyak ini untuk apa? Kamu sewakan juga?" Tanya Ayah yang sedang berkeliling melihat condoku yang memiliki tiga kamar; master, medium dan small room.

"Nggak, Yah. Gratis, ini dari kantor."

"Kantormu dekat dari sini?" Ayah bertanya lagi

"Sepuluh menit naik Taksi." Jawabku.

"Terus, kamar-kamar ini kamu biarkan gitu aja?"

"Iya, Yah. Yang small room Rara jadiin dressing room."

Setelah melihat-lihat, Ayah bergabung dengan Ibu dan Sus Indi duduk di sofa menonton TV, Zidan di dapur membantuku menyiapkan minuman.

"Kamu ngapain mesti bohong segala bilang udah punya suami?" Tanya si rese.

"Lagian lo nuduh-nuduh. Gue iyain aja biar cepet." Memang ngomong sama Zidan bawaannya pengen cepat mengakhiri obrolan.

Zidan menghela nafas mendengar jawabanku. "Kamu tuh jawab pertanyaan aku selalu ngasal. Nggak pake perasaan"

"Gimana mau pake perasaan? Gue udah mati rasa. Gue udah capek, lo selalu ngajak berantem, bukan ngajak ngobrol." Aku mematikan kompor setelah memanaskan daging salai lemak dan memunggunginya untuk menyajikan makanan tersebut.

"Yang ngajak berantem itu kamu, aku kayak gini juga karena kamu yang mulai duluan." Ucapnya nggak mau kalah.

Aku masih masa bodoh dengan penilaian dia. Harusnya nggak aku ijinin dateng ke rumah dari awal.

"Wangi banget, Ra. Udah jadi?" Tanya Ayah yang berjalan ke meja makan. Aku sudah menyajikan lauk pauk, nasi dan segelas air.

"Udah, Yah. Yuk, duduk, makan." Panggilku.

Dibantu Sus Indi, Ibu sudah duduk di sebelahku, "untuk Ibu, Rara masak ikan kembung balado sama sayur asem."

Aku menuangkan nasi dan lauk ke piring Ayah dan Ibu. Pada suapan pertama Ayah memuji masakanku. "Ini makanan Melayu kesukaanmu?" Tanya ayah.

"Iya, Yah. Pedes. Selebihnya, masakan Melayu agak manis untuk Rara."

Ayah tersenyum, "kamu udah hapal masakan khas sini?"

Permintaan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang