Rahila
Sekarang pukul 11 malam, aku duduk di ruang makan Ibu. Di depanku sudah ada semangkuk Indomie Kari Ayam dengan ekstra cabe potong dan segelas iced lychee tea.
Besok pagi adalah akad nikah Selvi, keponakan Zidan yang baru berusia 19 tahun. Lalu disusul dengan resepsi di siang harinya.
Aku berusaha mengingat, apa yang kulakukan di usia Selvi ketika itu? Kok rasanya kayak udah lama banget sampai aku harus membuka folder laptopku.
Beberapa saat kemudian, aku menemukan folder bertuliskan LSE - London. Aku mengikuti seminar yang diadakan London School of Economics. Saat itu usiaku 19 tahun, penuh dengan rasa ingin tau tentang ilmu ekonomi dan politik, sampai Papa khawatir karena aku selalu mengejar seminar internasional setiap ada kesempatan.
Salah satu hal yang berkesan ketika di LSE adalah, suatu siang ada team kepolisian dan anjing pelacak yang mensterilkan area kampus. Aku pikir akan ada politisi atau orang penting lainnya yang berkunjung. Nggak taunya, keponakan Kim Jong Un, penguasa Korea Utara bersekolah di sana. Gimana bisa dia keluar dari negaranya? Pikirku kala itu.
Tapi hal itu pula yang akhirnya membuatku tertarik dengan dinamika politik di Asia Timur dan Asia Tenggara.
Ah, aku jadi kangen diriku tiga belas tahun yang lalu. Aku sangat berani mengambil kesempatan yang datang di hidupku. Nggak sampai di situ aja, kadang kesempatan tersebut lebih banyak resikonya daripada kebaikannya.
Tapi, aku tidak ragu sama sekali. Berbeda dengan diriku yang sekarang: penuh perhitungan dan selalu mengedepankan resiko. Selain itu, pikiran negatif dan cemas berlebih aku jadikan alasan untuk berhenti mencoba.
"Ra, bikin Indomie?" Kata suara itu.
Aku menoleh dan mendapati Zidan mengenakan kaos hitam dan celana training abu-abu, membawa buku di tangannya dan memasuki ruang makan.
"Iya, laper." Jawabku singkat. Aku bernafas lega karena instinct ku tepat untuk memakai kerudung.
Dia menuangkan segelas jus apel dari kulkas dan duduk di depanku. "Kamu baru selesai meeting?"
Aku menggelengkan kepala, "tadinya mau baca journal untuk tesis. Tapi mager."
"Kamu mau jadi Atase kayak Papa makanya kuliah lagi?" Tanyanya.
Shiz. Aku benci karena dia masih memanggil orang tuaku Papa.
"Enggak, nggak boleh jadi Diplomat atau Atase sama bokap." Aku menyanggah tebakannya. "Gue kuliah lagi tuh biar otak ini dipake mikir dan tetap terstimulasi." Jelasku, lalu menyeruput mie.
Zidan terkekeh, "kamu mau terus berpikir kritis gitu maksudnya?"
Aku mengelap bibir dengan tisu, "yup, biar tetap cerdas. Kadang, karena sibuk kerja, gue ngerasa lemot dan nggak update sama berita-berita dunia." Jelasku
Zidan memajukan badannya ke meja, "kenapa? Itu semua penting buat kamu?"
"Penting dong, supaya bisa terus aware dan nggak abai sama isu global." Ya memang ini pola pikir yang ditanamkan Papa kepadaku.
"Setiap insomnia, kamu makan kayak gini?" Tanya Zidan sambil menunjuk mangkuk mie.
Aku berpikir sejenak, biar nggak salah jawab dan diomelin, "hmm nggak juga."
"Jangan sering-sering, nggak sehat." Mulai si Zidan menasihati. "Besok Abrar dateng?"
Aku mengangguk, "dia tidur di kamar elo ya. Kamar gue berantakan."
Zidan tertawa pelan, "emang nggak dibersihin sama Mbak Darsih?"
"Gue memang minta untuk nggak diberesin."
"Hah? Terus nggak di sapu dan pel?" Tentu aja dia selalu ingin tau urusanku.
"Gue nyapu lah. Terus dipelnya pakai tisu basah." Jawabku enteng.
Zidan kembali kaget, "kenapa pake tisu basah?"
"Dari dulu juga gue ngepel pake tisu basah." Shiz yang kedua malam ini. Ngapain juga pake bilang dari dulu? "Udah ah jangan dibahas, jorok. Gue lagi makan."
Zidan diam. Pikiranku bergelut dengan berbagai macam prasangka. Apa yang dia renungkan?
Aku tau berbagai jenis ekspresi di wajahnya; kalau memikirkan pekerjaan, dia akan sering mengacak-acak rambut dengan frustasi. Ketika sibuk belajar, dia duduk di ujung kursi dengan tangan bertopang dagu dan bibir terkatup. Tapi, kalau berkaitan dengan perasaannya, dia akan diam.
Melihat jam di laptop, hampir tengah malam. Aku bangkit dari tempat duduk dan meletakkan cucian kotor di dapur. Ibu marah ketika melihatku mencuci piring makanku sendiri, ya udah kini aku serahkan kerjaan tersebut ke Mbak Darsih.
"Lampunya mau gue matiin." Ucapku.
Zidan mendongak dari buku yang dibacanya, "mau ngobrol dulu nggak?"
Aku menggelengkan kepala, "enggak."
"Kayaknya kita akan terus seperti ini ya, Ra?" Matanya menatapku tajam penuh tanya.
Aku tidak paham dengan ucapannya, "maksudnya?"
Sekarang wajahnya terlihat ragu, "ya bukan temenan, bukan juga musuhan." Dia bersedekap. "Nggak tau apa sebutannya."
Aku memalingkan muka, "lebih baik seperti ini. Nggak perlu ada sebutan." Jelasku. "Udah lah, gue ngantuk."
Aku memang hanya sebentar bersamanya, tapi duniaku yang dulu tanpa suara, seketika menjadi riuh karena hadirnya. Ada tawa, tangis dan juga pekik kekecewaan.
Setelah berpisah, aku membangun dinding kuat nan kokoh agar dia tidak menerobos masuk ketika kami kembali berjumpa.
Tapi sekarang, aku ragu. Aku berpikir untuk menyudahi dendamku. Untuk mengakhiri semua isak tangis di malam-malam menuju lelap. Walaupun maaf belum pernah ku dengar dari lisannya.
***
Zidan
Benar ucapanmu ketika itu, aku tidak cukup memahami siapa dirimu. Aku tidak memahami luka yang tumbuh di hatimu yang mungkin, menjadikanmu tidak ingin lagi berinteraksi denganku.
Aku tidak akan menyalahkan. Luka itu berdetak dengan cara yang berbeda. Luka itu memiliki peran dalam membentuk persepsimu tentangku.
Pada perjalanan hidup yang akhirnya ku pilih, ada tanda tanya yang bersarang di sana. Seandainya dulu aku lebih peduli, apakah semuanya akan berbeda? Seandainya dulu aku tidak egois, apakah kamu akan tetap di sini dan tidak meninggalkanku?
Aku tau, kita sudah berada di garis yang berlainan. Penyesalan tidak akan membawamu kembali ke pelukku.
Malah sebaliknya, takdir membungkam kita dengan kata pisah. Realita membuatku tersadar, tujuan hidup yang pernah kita bahas berdua, ternyata hanya sebatas asa.
Terlepas dari apa yang sudah terjadi, menghadapi kehilangan juga tidak mudah untukku. Sampai sekarang, aku masih berjuang melewati pahitnya kegagalan. Menanti datangnya kebahagiaan.
Tentang aku dan kamu, mungkin hanya tinggal menunggu waktu kapan kata maaf berani ku ucapkan secara langsung. Agar hilang benci itu dari hatimu. Agar gugur rasa bersalah ini dari dadaku.
***
Chapter 32, soon!
KAMU SEDANG MEMBACA
Permintaan Hati
RomanceRahila Syahin adalah seorang Trust and Safety Manager di Asenta, Malaysia. Selain kerja kantoran, ia juga sedang melanjutkan studinya di Universiti Malaya jurusan South East Asian Studies. Pada ketinggian 36.000 kaki, di penerbangan GA 874 tujuan Ja...