Empat Puluh

1.6K 115 4
                                    

Zidan

Setelah berpikir semalaman, aku memutuskan untuk bertanya langsung. Daripada makin cemburu karena penasaran.

"Kamu bercanda kan kemarin minta dicariin calon suami sama Mas Andi?" Sebisa mungkin aku mengontrol suara dan mukaku.

Rara menyeruput air hangat yang baru saja dituangnya dari tumblr, "kan gue minta cariin elo juga. Jadi dobel, biar cepet ketemu jodoh." Malah terkekeh sekarang dia.

"Ada di rumah sakit aku. Satu orang yang aku anggap cocok buat kamu."

Dia memajukan badannya, matanya nampak berbinar ingin tau, "siapa?" Ia mengeluarkan handphone-nya. "Biar sekalian gue cari namanya di Internet."

Aku berdeham, "dr. Zidan Bakhtiar."

"Hahaha itu mah mantan suami gue." Dia terbahak. "Nggak usah dicari namanya di internet."

Aku bersandar di kursi. Tidak ada yang lucu jadi aku tidak ikut tertawa dengannya. Malah, aku menerawang jauh ke langit yang mulai berubah kebiruan, "ya siapa lagi yang kamu harapkan? Cuma aku yang pantas mendampingi kamu."

"Yang mudaan gitu nggak ada? Yang seumuran gue?" Tawarnya

Kok makin menjadi sih? Batinku. Aku menoleh, "belum jadi spesialis. Masih PPDS. Mau sama yang masih sekolah? Nggak kapok?"

"Hahaha, kok elo judes gitu sih. Kayak ibu-ibu koperasi tau."

"Habisnya kamu nggak serius." Aku menarik kursinya yang berada di sebelah kanan kuat-kuat. Dia memekik karena hampir terjungkal, tapi aku menahan punggungnya, "kamu lagi godain aku ya, Ra?"

Dia bersedekap sambil menatapku lekat, membuat jantungku berdebar, "menurut elo?"

Aku mengernyit, "aku nggak pinter nebak-nebak begini."

"Hahaha. Ya udah kita pacaran dulu." Jawabnya langsung tepat sasaran.

Aku menunduk malu dan melepaskan cengkraman dari kursinya, "apaan sih pacaran-pacaran, udah umur segini."

"Dulu kita kecepetan nikah tau. Cuma kenal enam bulan."

"Menurut kamu karena itu kita cerai?"

Raut mukanya terkejut, "memangnya enggak kecepetan menurut lo?"

Aku menggelengkan kepala, "enggak. Pas aja."

"Hah?"

"Maksud aku, nikahnya nggak kecepetan. Cuma, dulu, kitanya yang nggak dewasa. Nggak tau kalau sudah menikah harus berbuat apa ke pasangan? Sifat kita juga nggak saling memahami satu sama lain." Aku berusaha menjelaskan situasi di pernikahan kami dulu.

"Oke gue setuju sama lo. Yang pertama kita perbaiki adalah sifat." Rara mengangguk paham.

"Terus, kamu tau kan pekerjaan aku seperti ini? Aku bukan yang pulang jam 5 sore."

"Pasien lo, suaminya temen kantor gue, Tissa namanya. Inget kan?" Tanya Rara

"Iya inget, ketemu di kantor kamu itu kan?"

Rara mengiyakan. "Tissa cerita kalau dulu dia sama suaminya bertanya-tanya, 'pasti istri dr. Zidan ikhlas banget, suaminya PPDS, ngerawat pasien sampai malam dan waktu sama keluarga jadi berkurang.'" Dia menarik nafas dalam-dalam, tatapannya lurus ke gelas yang digenggamnya. "Gue nggak pernah menyangka kalau ada pasien yang sangat bersyukur punya dokter yang betul-betul memberikan seratus persen fokusnya ke mereka sampe harus menomor duakan keluarganya."

Aku memberanikan diri menepuk pundaknya, "kamu jangan pernah berpikir dinomor duakan ya, Ra. Dari dulu kamu prioritas aku juga. Cuma mungkin aku yang nggak tau caranya untuk membuat kamu merasa jadi ratu di rumah walaupun aku lagi nggak ada di sana."

Permintaan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang