Empat Puluh Satu

1.6K 107 7
                                    

Rahila

Zidan mengundangku untuk mengikuti fun activities bersama pasien paediatric cancer, anak-anak penderita kanker. Mulai dari membaca bersama, menggambar sampai acara potong kue. Aku baru tau ada kegiatan semacam ini.

"Mereka bukan untuk dikasihani, tapi dihibur." Ujar Zidan tiga puluh menit yang lalu sebelum ia kembali bekerja. 

Aku rasa ucapannya benar. Kita semua pasti pernah sakit, tapi dengan cara yang berbeda. Kita semua akan pergi dari dunia ini, juga dengan cara yang berbeda. Yang sekarang sakit, belum tentu akan meninggal lebih dulu. Yang terpenting, bagaimana bisa bermanfaat untuk orang banyak di sisa usia kita.

"Mbak Rara, silakan diminum." aku terkejut mendapati dr. Mita menyodorkan segelas es kopi susu dan duduk di sampingku. Sekarang kami sedang berada di aula rumah sakit yang disulap menjadi tempat acara.

"Makasih, dok." Balasku.

"Panggil Mita aja, Mbak." Ujarnya

Aku mengangguk tersenyum dan menyeruput es kopi di genggamanku.

Selain menghibur pasien anak yang menderita kanker, ketika baru sampai tadi, Zidan memperkenalkanku kepada teman-teman sejawatnya. Ada beberapa yang sudah kukenal ketika PPDS dulu, yang lainnya pernah aku lihat di bandara KL setahun yang lalu.

Pandanganku beralih pada dr. Mita, aku meliriknya sekilas. Ia terlihat lebih muda dariku dan tidak memakai kerudung. Rambutnya yang hitam bergelombang sepundak membingkai wajahnya. Dress abu-abu selutut dan heels Manolo Blahnik menggambarkan betapa jenjang dan mulus kakinya. Tidak ketinggalan, parfum Maison Francis Kurkdjian Satin Mood, kalau tebakanku benar.

"Mbak dokter juga?" dr. Mita tiba-tiba memecah keheningan di antara kita berdua.

Aku menoleh, dia sedang menatapku, "bukan."

Dia mengangguk, "oh gitu. Jadi, kenal Mas Zidan di mana?"

Ini yang paling mengganggu sih, sejak pertama kali ketemu di bandara, dr. Mita manggil Zidan 'Mas.' padahal kolega lainnya manggil dia 'Dok.' Aku juga boro-boro manggil Zidan Mas padahal aku tau dia asli Solo.

"Di rumah sakit." Hah? Kenapa jawabanku pendek-pendek sih? Gerutuku dalam hati.

Matanya terbelalak, sebelum sempat dia bebicara, aku mendahuluinya, "bukan, aku bukan penyintas kanker."

Terlihat wajahnya berubah lega. Dia menatap lurus ke meja yang berada di depan, "Mas Zidan dokter yang baik. Sangat peduli terhadap pasien-pasiennya."

"Iya, banyak yang bilang begitu." Aku masih memandangi wajah anak-anak yang bergembira karena sekarang ada atraksi sulap.

"Mbak beruntung." Senyumnya tulus. "Pantes aja, dulu, setiap aku mengajaknya pergi berdua dia selalu menolak."

Ya bisa jadi dulu waktu lo deketin Zidan, dia ada gebetan lain. Batinku.

Nggak mungkin lah laki-laki hidup tanpa wanita. Tapi melihat dr. Mita yang cantik dan menggoda gini kok bisa ya dicuekin sama Zidan? Hah! Nggak henti-hentinya aku bermonolog.

Aku terkekeh, "ya, semoga benar ya, Mit aku beruntung."

Zzt.. Zzt..

"Wa'alaikumsalam, kenapa?" Tanyaku

"Aku masih ada pasien. Kamu pulang aja duluan. Terus abis maghrib kita makan malam, pake baju bagus. Nanti aku kirim lokasinya." Zidan nyerocos tanpa henti.

"Oke, aku duluan ya. Assalamu'alaikum."

Klik!

Setelah mengirim pesan ke Pak Yadi aku undur diri, "Mita, saya balik duluan. Makasih es kopinya."

Permintaan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang