Tiga Puluh Delapan

1.3K 103 3
                                    

Zidan

Beberapa hari lalu temanku cerita, dia dan keluarga kecilnya pergi camping, "selama camping, anak-anak mau bantuin orang tuanya, bantuin bangun tenda, nyiapin makan siang. Kami jadi lebih kompak."

Mendengar kata 'kompak', yang terlintas di kepalaku adalah mengajak Rahila untuk camping bersamaku di Bogor akhir pekan ini. Mengingat kegiatan camping memang membuat kita tidak akan sibuk dengan smartphone masing-masing atau tontonan di TV layaknya menginap di hotel. Tapi, betul-betul duduk di kelilingi pohon tinggi, sambil sesekali berbicara, menikmati barbecue dan teh hangat.

Kalau tidak macet, lima belas menit lagi kami akan sampai di Gayatri Camp, Puncak. Aku memilih di sana karena lahannya rata, bisa untuk memarkir mobil dekat dengan tenda. Kebanyakan tempat yang aku lihat di internet, mereka memiliki lahan yang naik turun dan cenderung kurang strategis untuk membangun tenda. Namanya juga amatir, cuma ingin menghindari hal-hal yang tidak diinginkan saja.

Aku menengok ke arahnya, dia masih menikmati pemandangan di luar sana, "dibuka aja jendelanya, Ra."

Ia tersenyum kepadaku dan mengangguk. Angin segar seketika menerpa pipiku lembut, wangi khas daerah pegunungan menyeruak ke permukaan. Dulu ketika masih menikah, kami sering pergi glamping di Bogor. Mirip camping, dekat dengan alam, tapi bedanya ada penginapan dengan tenda eksklusif dan juga bungalow yang bangunannya terbuat dari kayu, lebih mewah.

Zzt.. Zzzt..

Handphone yang aku letakkan di tripod mobil berdering. Aku melirik siapa yang memanggil, aduh dr. Mita. Batinku.

"Kok nggak diangkat?" Tanya Rara, ia sudah mengalihkan pandangannya dari luar jendela sekarang ke handphone-ku. "Dr. Mita yang telpon, mana tau penting?"

Aku mengangguk dan menerima panggilannya dengan loud speaker, "kenapa, dok?"

"Mas, Papa ngajak makan siang besok di rumah. Bisa nggak?" Tanyanya dari seberang sana.

"Wah, tolong bilang ke dr. Ridwan, makasih ajakannya tapi saya nggak bisa, masih di luar kota." Jelasku yang sesekali melirik Rara di sebelah. Ia masih menatap keluar jendela, sambil sesekali menggosok kedua tangannya karena kedinginan.

"Oh gitu, Mas? Acara apa? Sama keluarga?"

Aku malah salah fokus melihat Rara dan mencolek pundaknya, "tutup jendelanya kalau dingin."

Rahila menutup jendela tanpa menoleh padaku.

"Mas lagi nggak sendiri?" dr. Mita memastikan

"Iya, aku lagi sama Rara. Masih inget dia kan?" Tanyaku.

Desember lalu, setelah akad nikah Selvi, aku langsung menuju meja kambing guling karena sudah sangat lapar. Ketika asyik mengunyah, dari belakang kudengar dr. Mita menyapa, tentu saja aku terkejut, karena aku tidak mengundang teman-temanku sama sekali. Aku menganggap itu acara keluarga.

Tapi, Kak Silmi menghubunginya untuk datang. Setelah mengobrol beberapa saat, Ibu datang dengan Rara, beliau menegur, "Zidan, Ibu cariin. Di sini ternyata?"

Ibu tau kalau dr. Mita memang mendekatiku. Dengan sengaja beliau mengenalkan Rara kepadanya sebagai 'mantan istri Zidan.' Akhirnya Rara dan dr. Mita berkenalan, ya pakai adegan jabat tangan segala. Sejak saat itu aku merasa dr. Mita semakin berani mendekatiku, mulai dari chat, menelpon, mengajak makan siang bareng sampai puncaknya hari ini, mengundangku makan dengan keluarganya.

"Ra, aku bangun tenda dulu deh."

Kami sudah sampai setelah melalui perjalanan yang sempit dan lumayan berkelok. Tidak terlalu banyak yang membangun tenda di sini. Kurang paham juga, orang-orang memilih datang pagi atau sore?

Permintaan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang