Empat

2.6K 158 1
                                    

Zidan

Tidak ada "apa kabar" yang keluar dari mulut kami setelah tiga tahun berlalu. Tidak ada senyum ramah yang terlempar ketika mata kembali beradu.
Yang ada hanyalah teriakan dan sumpah serapah seperti yang sudah-sudah.

Dia pernah berujar, aku lihai menyulut amarah. Memang benar, aku bangga menyalakan api murka melalui sorot matanya.

Hening yang panjang menemani perjalanan kami. Kaca mata hitam sengaja dipakainya setiap ingin membangun jarak dengan orang yang paling dia benci.

Aku memilih diam karena kepala sudah mulai berisik. Dadaku terasa sesak. Tiga tahun terakhir, aku selalu diingatkan bahwa September lah yang membuat aku dan dia menjadi dua orang asing.

Kita yang memilih berhenti mengupayakan. Kita yang gagal menepati janji di hadapan Tuhan.

Setelah perpisahan itu, menata hidup menjadi pekerjaan rumah untukku. Tidak ada satu hari yang aku lewatkan tanpa bertanya-tanya, "apakah aku gagal menjadi sosok pemimpin dan pendamping hidupnya?"

Kuala Lumpur, yang aku pikir akan menjadi permulaan. Yang aku pikir adalah tempat untuk memulihkan. Kini menjadi tempat aku dan dia kembali bersinggungan: di mana dia datang dengan tiba-tiba tanpa aku pernah mencarinya.

"Dah arrived dah ni." Ucap driver dengan logat Melayu.

"Ra, bangun, udah sampai kantor kamu nih." Aku mengguncang pundaknya lalu memilih keluar taksi terlebih dahulu untuk menurunkan koper kami.

Dari belakang bagasi, aku melihatnya merapikan blazer, kemudian turun dari taksi, menggeret dua koper dan mengucapkan terima kasih kepada supir taksi.

"Klinik terdekat di mana?" Tanyaku cepat, ketika ia berjalan memasuki lobi gedung kantornya.

Ia menjawab dengan suara meninggi, "lo masih aja nyari-nyari klinik? Kenapa sih? Gue nggak ada waktu!"

"Ya udah aku ikut ke kantor kamu." Ucapku mengalah.

Dia berhenti dan menengok ke arahku yang sedari tadi mengikutinya, "kantor gue gak bisa dibuat nunggu lama-lama. Lo cuma bisa stay 10-20 menit."

"Kenapa?"

"Itu aturannya. Percuma juga, lo nggak bisa masuk ke ruang kerja tanpa access card."

"Kalo nggak diliatin kamu gak akan mau istirahat soalnya."

Kami sudah berada di meja front office, "bisa nggak sih lo urus urusan lo aja?" Ia membuang muka lalu tersenyum ramah kepada perempuan berwajah India yang duduk di balik meja, "hello, he is my guest and gonna stay here for around 10-20 minutes."

Aku memberikan passport, mengisi sebuah form dan menandatanganinya. Setelah itu mereka memberi secarik kertas bertuliskan durasi waktu 15:20-15:40 PM.

Hmm dia nggak bohong. Batinku

Terus aku mengikutinya sambil tetap membawa koper yang sebenarnya udah ribet banget. Tapi mau gimana lagi? Rahila paling susah disuruh pergi ke dokter dan beristirahat.

Kami menunggu lift. Dia sedang sibuk mengeluarkan access card kantornya.

Kenapa nggak pernah rapih sih kalau menyimpan sesuatu? Pikirku sambil memperhatikannya.

"Nggak usah nge-judge gue." Ujarnya tiba-tiba masih sambil merogoh tasnya

Ups, dia sadar rupanya. Aku berkilah "siapa yang nge-judge? Aku ngomong apaan emang? Aku cuma diem aja."

Dia mendongak, "emang gue nggak tau lo dari tadi liatin gue yang sibuk..."

Ting

Setengah berloncat, aku masuk terlebih dahulu ke dalam lift menghindari temperamennya, lalu disusul oleh dirinya. Hanya ada kami berdua dan empat koper menuju lantai 27.

Permintaan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang