Enam

1.9K 152 1
                                    

Zidan

Mahasiswa kedokteran mungkin bisa lulus ujian, tapi ada dua hal yang berat menurutku yaitu mengembangkan ilmu dan menambah pengalaman ketika sudah menjadi seorang dokter.

Aku teringat pengalaman pertama ketika disuruh mengambil keputusan oleh seorang Supervisor, beliau bertanya, 'apa yang akan kamu lakukan pada pasien ini?' 'apa yang akan terjadi sama pasien ini setelah kamu mengambil tindakan tersebut?'

Seketika aku merasa gugup dan berpikir, hah? Secepat itu? Padahal aku mengikuti pendidikan dokter sampai akhirnya Spesialis itu menghabiskan waktu 15 tahun. Tapi perasaan tidak siap dan takut selalu ada.

Oleh karena itu, setahun yang lalu, seorang Supervisor mengkritik habis-habisan, "kamu belum terlihat memiliki passion di pekerjaanmu. Kamu juga nggak banyak bertanya kepada saya. Jangan sampai kamu cuma pintar teori tapi nggak kritis terhadap keadaan pasien."

Lalu aku berdiskusi dengannya. Beliau menyarankan aku untuk sering ikut konferensi dan Practice-Oriented Courses (POC).

POC ini misalnya kayak kalian ikutan kelas masaknya Chef Juna yang menyajikan tiga resep masakan; kalian daftar kelasnya, melakukan pembayaran, mencatat resepnya dan melihat Chef Juna mempraktekannya. Di dunia kedokteran juga ada yang seperti itu.

Perjalananku masih panjang, sepanjang kelas hari ini yang baru selesai jam lima sore.

"Dr. Zidan, jom lepak." Ajak dr. Yusuf dengan Bahasa Melayu yang artinya, yuk nongkrong.

Minggu ketiga berada di Malaysia, aku sudah terbiasa mendengar Bahasa Melayu sehari-hari.

Ada beberapa kata yang mirip Bahasa Indonesia jadi nggak butuh waktu lama untuk paham.

Beliau adalah Dokter Spesialis Paru yang tentu saja sudah berkeluarga. Istrinya sama sibuknya dengan beliau, anaknya dititipkan dengan neneknya dan dia memilih makan denganku.

"Banyak teman-teman yang iri karena istri membebaskan saya bergaul." ucapnya ketika kami sudah berada di Pokok KL. Sebuah Cafe yang mengusung tema rumah kaca lalu dikelilingi pokok, yang artinya tanaman.

Aku tersenyum mendengarnya, "oh gitu, dok?"

"Yes. Bagi saya, pernikahan nggak ada ilmu pasti seperti kedokteran. Jadi saya inisiatif, sebelum balik ke rumah untuk bermain sama anak dan ngobrol sama istri, sebisa mungkin saya harus sudah merasa rileks dan tenang."

Aku mengangguk karena nggak tau harus berkata apa? Secara aku seorang duda, nggak ada yang menunggu ketika aku pulang.

"Maaf saya tanya ini, kamu sudah menikah?" Tanya dr. Yusuf hati-hati.

"Sudah bercerai lebih tepatnya." Jawabku pendek.

Dr. Yusuf terbatuk, "eh maaf."

Aku tersenyum supaya suasana nggak canggung, "no worries, udah tiga tahun yang lalu."

"Ya udah kalau lagi nggak sibuk, main ke rumah saya akhir pekan ini. Istri selalu membolehkan saya mengundang teman bahkan pasien ke rumah."

"Boleh, rumah dokter di mana? Saya juga belum punya teman di sini kecuali dr. Abi sama dr. Riko yang memang dari RS saya di Indo."

"Damansara. Benar ya? Weekend ini saya tunggu di rumah."

Sebenarnya lumayan kaget atas keramahan beliau karena teman-teman dokter dari Indonesia yang berangkat denganku, satu pun belum ada yang pernah mengajak pergi bareng apalagi mengundang ke rumah mereka.

"Kenapa Epidemiologi, Dan?" tanya dr. Yusuf

"Saya butuh ilmu biostatistik untuk penelitian dan menulis jurnal. Kalau dr. Yusuf?"

"Sama, saya bahkan punya Klub Journal, anggotanya Spesialis Pulmonologi. Kita ketemuan seminggu sekali untuk presentasi dan diskusi info terbaru. Seperti yang kamu tau lah, journal kedokteran banyak yang terbaru bahkan dua bulan sekali"

Aku mengangguk mendengar penjelasannya, "wah ide yang bagus punya klub journal. Di Indonesia, supervisor saya juga bilang harus punya tekad sebagai spesialis."

Dr. Yusuf meminum kopinya, lalu melanjutkan, "bener. Saya banyak belajar justru karena berkenalan dengan dokter yang bidangnya sama, tapi dari rumah sakit yang berbeda."

"Kenapa bisa gitu, dok?" tanyaku ingin tau.

"Karena kita udah tau orang-orang terbaik di rumah sakit, nah kalau bertemu dokter terbaik dari rumah sakit lain, pasti ada hal baru juga yang bisa dipelajari dari mereka. Selain ilmu kedokteran itu sendiri, dokter juga butuh orang-orang baru untuk terus mengasah kemampuan berpikirnya"

Ayah menentang keinginanku untuk sekolah kedokteran yang katanya menghabiskan banyak waktu dan biaya. Beliau ingin anak laki-lakinya menjadi seorang TNI, seperti dirinya.

Tapi aku tidak menyesal, walaupun menjadi seorang dokter memang banyak konsekuensinya.

Aku harus rela membawa buku ketika liburan keluarga. Waktu senang-senang diatur hanya dua jam sehari.

Ayah tambah marah ketika tau spesialisasiku adalah Kanker, karena selain lelah secara pikiran, aku akan lelah secara emosi.

Beliau seorang yatim piatu sejak usia sekolah, mendiang nenekku meninggal karena leukimia dan kakekku karena kanker paru-paru.

Ketika merawat orang tuanya dulu, ayah melihat bagaimana Dokter-dokter Spesialis kanker betul-betul peduli secara emosional kepada keluarga pasien. Mereka bisa membangun hubungan dan ikatan yang kuat dan penuh arti.

Makanya dr. Yusuf tadi bilang, sebelum masuk ke rumah, lebih baik rileks dulu di kafe dan ngobrol sama teman karena udah capek di kampus dan Rumah Sakit.

Terkadang, kita memang butuh ruang dan pasangan harus mengerti akan hal itu.

Cara tersebut nggak pernah aku lakukan ketika masih menikah. Aku memang bisa membangun hubungan yang baik dengan pasien-pasienku, tapi tidak dengan istriku dulu.

Sial, kenapa harus Rahila lagi yang kuingat?

***

Duh ilmu kedokteran doang nih bab 6? Hahaha habisnya dr. Zidan kan kuliah dan hidup sendiri di Malaysia.

Chapter 7, soon!!

Permintaan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang