26 tahun yang lalu, gran duke Aquillio mengorbankan dirinya sendiri untuk menyelamatkan putranya yang meninggal saat lahir. Sejak saat itu, gran duke yang terkenal dengan kekuatan sihirnya yang luar biasa seantero Eleino pun tidak pernah terlihat menggunakan sihirnya lagi.
Bukan tanpa alasan, mantra terlarang yang Althea gunakan saat itu sudah menyedot habis mana sihirnya. Kalaupun ia bisa menggunakan sihirnya, maka itu mungkin hanya 0,005 persen dari total mana sihirnya semula.
Sakit? Tentu, butuh penyesuaian yang berat bagi Althea untuk menjalani hidupnya seperti sedia kala. Namun semua seolah terobati saat ia melihat putranya tumbuh dengan baik, ditambah kehadiran Ariel yang menjadi pelengkap keluarga kecil mereka.
Menyesal? Tidak, Althea tidak pernah menyesali perbuatannya. Ia pernah menjalani hidup yang hina sebagai Aleeyah dan kali ini setidaknya jika ia mati, ia mati karena telah menyelamatkan nyawa orang lain. Sekalipun ada yang memutar kembali waktu, tanpa ragu Althea tetap akan melakukan hal yang sama berulang kali.
"Tidak! Ibu tidak boleh- hiks jangan pergi hiks, aku tidak mampu jika harus tanpa ibu" isak tangis Leon bergema di kamar mewah yang terasa begitu suram.
Raphael, yang sudah mengetahui hal ini sejak lama, awalnya memang memberontak dan seolah tidak mampu menerima. Namun seiring berjalannya waktu, Raphael akhirnya mengerti dengan perasaan sang istri. Dan ia sudah siap jika hari ini tiba, hari dimana Althea, istri tercintanya, dunianya, hidup dan matinya, harus terbaring lemah di atas kasur menanti ajal yang semakin dekat.
Tangan kurus itu membalas genggaman tangan kekar Leon, ah rasanya baru kemarin tangan kekar ini begitu kecil menggenggam jemarinya. Putranya tumbuh menjadi pria kuat, pemberani dan bertanggung jawab, "Jadilah pemimpin yang baik, nak. Aquillio adalah amanah dari nenek moyang kita. Jaga tanah ini bahkan jika harus menumpahkan darahmu sekalipun" ucap Althea dengan lemahnya.
Leon menarik lengan kurus ibunya dan meletakkan tangan itu di dadanya, ia menggeleng pelan dalam isak tangisnya seolah benar-benar tak mampu jika harus kehilangan Althea. Ia sudah kehilangan orang tuanya di kehidupan sebelumnya, haruskah ia kehilangan Althea juga?
"Yang mulia, gran duke Aquillio, tegarlah, berdiri tegap dan kendalikan emosimu. Jadilah pemimpin, pelindung dan penjaga tanah ini" ucap Althea kini dengan nada seriusnya.
Masih dengan air mata yang berlinang, Leon menegapkan punggung lebar itu. Ibunya benar, ia harus kuat, ia harus bisa menjadi pelindung tanah Aquillio dan Eleino, ia adalah gran duke yang terpilih, ia ditakdirkan untuk ini.
Melihat reaksi sang putra yang nampak mencoba tegar, Althea tersenyum lembut. Ia pun menoleh ke sisi lain kamar itu, ke arah gadis yang masih diam berdiri di sudut sana.
"Putriku, kemarilah" ucap Althea memberi isyarat untuk Ariel mendekat.
Sedang Ariel, dengan air mata yang mengaliri wajahnya, hanya diam seolah tak mampu mendengar suara sang ibunda. Pikirannya kalut, bertanya-tanya apakah semua ini salahnya? Ia yang menulis adegan dimana Althea mengorbankan dirinya, ia yang menulis takdir Althea sebelum ini semua. Sungguh tak ada niatan bagi Ariel untuk membunuh Althea-tunggu, 'Apa aku yang membunuhnya?' batin Ariel kalut.
Menyadari ekspresi syok sang putri, seolah baru saja tertangkap basah membunuh seseorang, seolah ini pertama kalinya ia menghabisi nyawa orang lain. Itu semua terlihat di wajah Ariel, "Nak, kemarilah. Tidakkah kau ingin memeluk ibu?" ucap Althea lembut.
Deg
Ariel tersadar dari pikirannya, tangisnya pecah seraya ia berhambur ke pelukan Althea. Tidak satu kata pun keluar dari bibirnya, kendati pun ia mampu, Ariel tidak tahu harus berkata apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Wrote This Story
Fantasy[Spin off of I Was The Evil Witch] [HIATUS] Tidak mungkin! Aku bergegas keluar dari kamar mewah itu, kaki kecilku berlari tanpa arah dan tujuan, mencari jawaban dari spekulasi gilaku. Tidak mungkin, kau pasti berbohong. "Ah, Ariel? Putri kecilku sud...