Guest

1.6K 142 0
                                    

Pagi hari yang dingin seperti biasa di Aquillio,

Pagi ini, kami melakukan sarapan bersama di ruang makan. Aku, Leon, —dan tamu tak terduga semalam—Dion.

Leon dan Dion memakan sarapan mereka dengan tenang seolah tidak ada apa-apa. Sedang aku hanya memainkan sup daging di piringku tidak selera. Semalam aku tidak bisa tidur karena perkataan Dion kian terngiang di kepalaku.

Sungguh, aku takut. Bagaimana jika Dion berlaku jahat dan membeberkan semuanya?

"...riel? Ariel!"

"Ah! Ya?!" sahutku kaget.

Leon menatapku lama sebelum bersuara kembali, "Aku rasa kita benar-benar harus memeriksakanmu Ariel. Kebiasaan melamunmu itu sudah masuk tahap aneh" ucap Leon menautkan kedua tangannya dan mendagu, memicing menatapku.

"Enak saja! Aku sehat!" ucapku tidak terima.

Leon pun memutar bola matanya malas, "Aku akan rapat dengan para penanggung jawab distrik, kau ajak Dion berkeliling kota" ucap Leon enteng melanjutkan sarapannya.

Aku membelalak, oh ayolah kakakku yang tampan rupawan nan dermawan, jangan masukkan aku ke dalam situasi merepotkan seperti ini.

"T-tapi, aku ada janji bersama Yuki. Kami akan membordir bersama hari ini, iya kan Yuki?" tanyaku pada Yuki yang berdiri di belakang Dion yang duduk di sebrangku. Perhatian pun tiba-tiba tertuju pada Yuki.

Sedang Yuki menatapku dan Leon bergantian, "Benar, nona" jawabnya. Bagus! Aku mencintaimu Yuki!

Leon menaikkan sebelah alisnya menatapku dan Yuki bergantian, kemudian menyuap potongan terakhir dari roti yang ia celupkan pada sup daging di piringnya. "Kalau begitu ajak Dion membordir juga" tukasnya mengelap bibirnya dengan serbet dan beranjak dari meja makan.

Meninggalkanku dengan wajah termanga tidak percaya akan apa yang ia baru saja katakan. Mengajak Dion membordir? Yang benar saja!

"Kakak gila" gumamku pelan seraya melanjutkan sarapanku. Kulirik Dion yang ternyata sudah sedari tadi menatapku dengan senyum miringnya. Menyebalkan!

Dan disinilah kami bertiga, ruang keluarga dimana perapian berada. Duduk di atas permadani, ditemani beberapa perlengkapan untuk membordir.

Aku masih menggerutu kesal di dalam hati, tapi karena sudah terlanjur, aku tetap menyelesaikan bordiranku. Tidak terlalu bagus, hanya namaku yang kubordir di atas sebuah sapu tangan.

"Bordiranmu indah sekali"

"Akh!" aku yang tengah fokus pun terkejut dan menusuk jariku dengan jarum saat suara itu tiba-tiba berhembus di telingaku.

"Oh ya ampun" Dion dengan sigap meraih jari telunjukku yang tertusuk, wajahku memerah sempurna saat ia memasukkan jariku ke dalam mulutnya dan menghisap darahku.

Namun anehnya, sesaat setelah ia mengeluarkan jariku, rasa sakit dan darahnya berhenti keluar. Seolah luka itu tidak pernah ada.

Cup

Wajahku kembali memerah saat Dion tiba-tiba mencium lembut jemariku. "Maaf" ucapnya menatapku dengan mata indah memelah itu.

Tanpa menjawab, dengan cepat aku menarik tanganku dari genggaman Dion. Aku berputar duduk memebelakangi Dion, aku tidak ingin menatapnya—tidak, aku tidak ingin Dion melihat wajah meronaku.

Sedang kulirik Yuki yang menatapku datar sembari masih melakukan bordiran miliknya. Tatapannya itu seolah mengatakan, 'Sebenarnya kita ini sedang apa?'. Sedang aku hanya menghela nafas panjang, jujur Yuki, aku pun tak tahu.

Tok tok tok

Kami bertiga menoleh saat pintu ruangan ini diketuk, menampilkan Thomas yang membungkuk memberi hormat.

I Wrote This StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang