Slave

2.3K 217 1
                                    

"Oh astaga!" seru Leon berlari ke arah 'sesuatu' yang barusan aku tunjuk. "IBU! AYAH!" teriak Leon menggelegar, aku pun berlari ke arah Leon untuk memastikan. Apa benar itu adalah manusia?

Mataku membelakak. Darah, darah dimana-mana. Tubuh anak itu dipenuhi dengan darah, aku bahkan tidak bisa melihat dengan jelas warna kulitnya. Entah berapa jumlah luka yang ada di tubuhnya, aku bahkan tak mampu lagi berkata-kata.

"Leon, ada apa?!"

Kudengar suara familiar dari arah sana, kulihat Althea, Raphael, dan Xavier berlari ke arah kami dengan tergesa-gesa.

"Ada budak lagi!" ucap Leon yang sedari tadi memangku anak itu, tanpa memedulikan darah yang mengotori tangan dan bajunya.

"Oh astaga, kasihan sekali. Dia masih hidup?" tanya Althea segera berjongkok dan memeriksa keadaan anak itu.

"Nadinya masih berdenyut, kita belum terlambat. Xavier, siapkan tenaga medis dan kamar, Leon dan aku akan membawanya. Raphael, bawa Ariel ke dalam, dia pasti syok" perintah Althea.

Xavier pun berlari kembali ke dalam, Althea dan Leon membawa anak itu dan menyusul Xavier. Raphael dengan sigap menggendong tubuhku dan berjalan kembali ke mansion. Ia mengelus punggungku lembut, seolah menyadari tubuhku yang sedari tadi kaku dan berkeringat dingin karena syok.

~~//~~

"Ariel? Apa perasaanmu sudah mendingan?" tanya Raphael lembut seraya mengusap tangan kecilku. Ia langsung memerintahkan para pelayan untuk menyiapkan beberapa makanan manis dan air hangat untuk aku mandi, sesaat setelah kami sampai di mansion.

Aku yang sudah mulai tenang pun mengangguk pelan seraya menyeruput coklat panas di depanku.

Raphael tersenyum lega, "Syukurlah, ayah janji tidak akan membiarkan Ariel melihat hal seperti tadi lagi" ucapnya menenangkanku.

Aku tersenyum padanya, "Terima kasih ayah" ucapku.

Aku dan teman-temanku di kehidupan sebelumnya sangat suka menonton film thriller, yang mana adegan-adegan dipenuhi darah dan kekejian bukanlah hal yang sulit ditemui.

Tapi melihat hal seperti itu di depan matamu sendiri, adalah hal yang sangat berbeda. Ah sebaiknya aku tidak mengingat-ingatnya lagi, demi bisa tidur nyenyak malam ini.

Tapi siapa anak itu tadi? Dari tubuhnya sepertinya dia sedikit lebih tua dariku. Karena banyak luka, aku jadi tidak bisa melihat jelas apakah dia laki-laki atau perempuan. Ditambah tubuhnya yang amat sangat kurus, jika dipikirkan aku jadi kasihan padanya.

Ah dan lagi, kenapa orang-orang ini berperilaku seolah ini bukanlah kali pertama. Dan apa yang Leon ucapkan tadi? Budak? Maksudnya anak itu budak?

"Riel... Ariel?"

"Ah, ya?!" aku terpecah dari pikiranku saat Raphael memanggil. Sudah sejak kapan ia memanggilku seperti itu?

"Kau melamun? Ada apa? Apa kejadian tadi masih menakutimu?" tanya Raphael khawatir.

Aku menggeleng pelan, "Ayah, siapa orang tadi?" tanyaku polos.

Raphael tersenyum kecil seraya menyandarkan punggungnya di sofa, "Kau yakin ingin tau?" tanya Raphael.

Akupun mengangguk mantap, "Iya! Jika hal ini terjadi di wilayah kita, bukankah kita harus bertanggung jawab?" ucapku.

Raphael tersenyum manis seraya mengusap kepalaku, "Hei, bicaralah seperti anak 5 tahun. Kau dan kakakmu sama saja, jika bicara sudah seperti orang dewasa" ucap Raphael.

Aku pun hanya terkekeh, "Hehehe"

"Kami menyebut mereka budak, entah mereka budak sungguhan atau bukan, dan entah darimana asal mereka tapi beberapa tahun terakhir kami sering menemukan manusia dalam keadaan mengenaskan di dekat kuil ibumu. Setidaknya dalam satu tahun akan ada 1 sampai 2 orang. Dan biasanya mereka ditemukan dalam keadaan sudah tidak bernyawa" jelas Raphael.

I Wrote This StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang