Durian

2.8K 244 3
                                    

"Leon kita mau kemana?" tanyaku terengah-engah mengejar langkah lebar Leon. Kami saat ini berada di tengah hutan, namun hutan ini bukanlah hutan belantara. Ini adalah hutan Antex, hutan yang dirawat langsung oleh Aquillio. Bahkan mereka membuat jalan setapak dan menanam beberapa tumbuhan buah yang bisa dimakan oleh siapapun dan kapapnpun.

Tapi, tidak bisakah anak ini pelan-pelan sedikit? Apa dia tidak tau sulitnya berkaki pendek? 

Seolah menyadari kesulitanku, Leon pun menghentikan langkahnya dan berbalik, "Cepatlah" ucapnya santai.

Huh! Bintang satu untukmu karena tidak ramah. Namun semua impresi itu seolah menghilang saat aku melihat Leon berlutut membelakangiku.

"Cepat naik" ucapnya dengan nada kesal. Namun aku tersenyum lembut melihat perlakuannya. Ternyata Leon tidak seburuk itu.

Hup

Aku menarikki punggung Leon dan ia pun mengangkat tubuhku dengan mudahnya. Kemudian kami melanjutka perjalanan.

"Apa Ariel tidak berat?" tanyaku karena tidak enak.

"Kau sangat berat sampai punggungku rasanya mau patah" jawab Leon yang selalu saja tidak ramah. Hei bagaimana kau nanti bisa menjerat hati wanita jika perkataanmu saja tidak akan bisa menjerat seekor burung.

Hah yasudahlah. Lagipula setidaknya perlakuan Leon tidak kasar maupun kurang ajar. Leon ini baik hanya saja mulutnya terlalu pedas seperti gacoan level 5. Aku bahkan tidak kuat di level 1.

Kurang lebih lima belas menit kemudian, Leon pun berhenti melangkah. "Kita sudah sampai" ucap Leon perlahan menurunkanku yang entah sejak kapan tertidur di gendongannya.

Aku mengucek kedua mataku seraya menguap kecil, sayup kudengar kekehan kecil dari Leon namun aku tidak menghiraukannya. Apanya yang lucu dengan anak kecil yang mengucek matanya sembari menguap?

"Ini adalah tempat dimana aku sering bermeditasi atau jika aku sedang ingin sendirian" ucap Leon berjalan ke depan.

Aku berkedip perlahan setelah mengucek mataku, namun sepersekian detik kemudian mulutku termanga karena terpukau dengan pemandangan di hadapanku.

"Waaahhhh" ucapku spontan.

Air terjun kecil, bunga dan dedaunan yang berwarna warni alami di sekitarnya. Sebuah pohon apel yang berbuah lebat namun batangnya tidak terlalu tinggi. Pohon itu rindang sehingga membuatnya cocok untuk dijadikan tempat berteduh atau bahkan untuk tidur di bawahnya.

"Kemarilah" ucap Leon mengajakku mendekati pohon apel itu.

Aku pun berjalan ke arahnya, Leon memetik sebuah apel dan mengelap apel itu dengan kemejanya. Kemudian tangannya terulur memberikan apel merah matang dan mengkilap itu padaku.

"Ini, cobalah" ucap Leon dengan ekspresi yang sedikit lebih lembut dari biasanya.

Aku pun menerima apel yang nampak menggiurkan itu, "Terima kasih!" ucapku senang. Entah karena tanganku yang kecil atau memang apel ini terlihat begitu besar.

Aku pun tanpa ragu langsung menggigit apel itu dan mengunyahnya. Crunch, mataku berbinar kala merasakan sensasi manis dan menyegarkan dari apel ini.

Aku adalah jenis orang yang tidak suka dengan apel yang bertekstur lembut dan kering. Jadi saat merasakan tekstur renyah dan air yang keluar dari apel ini, rasanya begitu menyegarkan. Oh astaga aku terdengar berlebihan, tapi sungguh ini apel terenak yang pernah aku makan.

"Apakah seenak itu?" tanya Leon yang sudah duduk bersantai dengan kedua tangan di belakang kepalanya di bawah pohon apel tadi.

Aku mengangguk cepat, "Enak sekali!" ucapku antusias. "Terima kasih Leon!" lanjutku seraya tersenyum lebar menampilkan sederet gigi susuku.

I Wrote This StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang