"Terima kasih Hannah" ucapku pada Hannah yang sudah memberikan sekeranjang penuh buah padaku.
Pagi ini kami mendapat kabar bahwa anak itu sudah siuman, dokter memeriksanya namun ia hanya diam seolah raga kosong tidak bernyawa. Saat ditanya pun ia tidak menjawab apapun.
Mengingat tugas yang diberikan Marianne untukku, untuk aku menjadi teman anak itu, mulai hari ini aku berniat untuk mendekati anak itu. Namun tentu secara perlahan.
"Ah biar aku masuk sendiri Hannah" ucapku.
Hannah menatapku khawatir, "Anda yakin putri?"
Aku pun tersenyum mengangguk mantap, "Un! Hannah menunggu disini saja, jika ada apa-apa aku akan teriak" ucapku.
"Baik putri" balas Hannah.
Aku pun menarik nafas panjang sebelum membuka pintu kamar itu.
Ceklek
Aku mengintip dari sisi pintu yang sedikit terbuka untuk melihat keadaan, aku pun memberanikan diri untuk melangkah masuk perlahan karena tidak ingin membuat sura. Kuperhatikan tubuh anak itu dipenuhi perban jadi aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas.
Aku mengibas-ngibaskan tanganku di depan wajahnya, matanya hanya menatap kosong ke langit-langit tanpa berkedip. Anak ini, sebenarnya apa yang terjadi?
"Halo?" sapaku membuka suara, namun tentu tidak ada balasan. "Apa kau sudah makan?" tanyaku, dan masih tidak ada jawaban. "Aku membawa beberapa buah untukmu, buah yang tumbuh disini sangat segar dan ini juga baru dipetik tadi pagi" lanjutku seraya meletakkan keranjang buah itu di atas kasur.
"Makanlah walau hanya sedikit, agar kau bisa cepat sembuh nanti" tukasku seraya berbalik hendak keluar dari kamar itu.
Aku tidak mengharapkan anak itu untuk bisa langsung menerimaku, aku yakin dia sudah melewati banyak hal. Maka dari itu, aku hanya akan menunjukkan kepadanya bahwa kebaikan itu masih ada.
Begitulah kegiatanku setiap pagi, membawakan sekeranjang buah-buahan ke kamar anak itu. Sesekali aku mengajaknya bicara walau tidak sekalipun digubris. Aku memang pada dasarnya talkative dan akan membicarakan apapun, apalagi saat ini anak itu tidak meladeniku. Jadi rasanya hanya seperti bicara pada diri sendiri, dan aku tidak keberatan sama sekali.
Karena aku tidak tahan selalu memanggilnya 'anak itu', mulai sekarang aku akan memberinya nama, Dion.
Ya, jika dia sudah punya nama tinggal diganti saja nanti. Hitung-hitung untuk memancingnya bicara.
"Dion, kau tau? Aku sebenarnya tidak berasal dari dunia ini. Seluruh makhluk yang ada di sini berada di dalam novel yang aku tulis. Dan entah kenapa aku bisa masuk kesini" aku mulai mengoceh sembari memakan apel yang ada di dalam keranjang buah yang kubawa.
"Kau tidak tau betapa terkejutnya aku saat terbangun di dalam kamar yang bukanlah kamarku. Dengan para maid yang begitu asing dan bahasa yang anehnya bisa kumengerti" lanjutku masih menyeloteh.
"Dan aku masih tidak percaya bahwa sekarang aku adalah keluarga dari tokoh-tokoh yang kutulis sendiri. Mereka yang awalnya hanya ada di dalam kepalaku, sebuah nama tanpa raga, hanya karakter dan jiwa. Tiba-tiba hidup dan ada di depan mataku"
"Dan sekarang aku sedang berbicara pada bocah yang tidak bisa membalas satupun ucapanku, huft" aku memanyunkan bibirku pura-pura kesal.
"Riel"
Tubuhku membeku, apa aku berhalusinasi? Apa telingaku rusak? Barusan, barusan Dion-
"Dion, kau. Kau barusan mengatakan sesuatu kan? Cepat jawab aku" ucapku menatap Dion penuh selidik.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Wrote This Story
Fantasi[Spin off of I Was The Evil Witch] [HIATUS] Tidak mungkin! Aku bergegas keluar dari kamar mewah itu, kaki kecilku berlari tanpa arah dan tujuan, mencari jawaban dari spekulasi gilaku. Tidak mungkin, kau pasti berbohong. "Ah, Ariel? Putri kecilku sud...