Puberty?

1.8K 171 2
                                    

Syuuttt

Anak panah itu meluncur lurus ke arah target.

Jleb!

Tepat di kepala target, bahkan anak panah itu sampai tembus menghunus ke dalam papan yang dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai siluet manusia. 

Shaaahhhh

Angin berhembus menerbangkan dedaunan, juga helaian surai hitamku yang menerpa wajahku. 

Tap

"Ariel"

"WAAAGGH!" aku terperanjat kaget bukan main saat seseorang tiba-tiba memegang bahuku saat aku tengah fokus berlatih memanah. Aku berbalik dan langsung mendelik melihat siapa yang mengagetkanku saat tengah fokus, "Leon!" seruku kesal.

Sedang empunya nama hanya terkekeh, "Salahmu dari tadi kupanggil tidak menjawab, dari kecil kau sering sekali melamun, kurasa sudah waktunya aku memberi tahu ibu dan memeriksakanmu" ucap Leon berkacak pinggang.

Aku tidak menjawab, hanya menatapnya kesal dengan wajah cemberutku dan nafas terengah-engah. "Hmph!" aku berpaling seraya bersedekap dada dan berjalan menjauh.

Entah kenapa aku merasa kesal, padahal ucapan Leon tidak salah sama sekali. Kuakui aku memang kebiasaan melamun sejak dulu, karena terlalu larut dalam pikiranku sendiri. 

"Ariel! Kau marah padaku? Ariel!"

Aku mengabaikan suara Leon yang memanggil namaku dan tetap berjalan cepat menghentakkan kaki kembali ke dalam kastil, namun tentu Leon bisa dengan mudah menyusulku dengan kaki panjangnya itu.

"Ariel dengarkan aku dulu!" ucapnya masih mencoba mengajakku bicara. Namun aku hanya diam, menatap ke depan dengan wajah datarku, ya ini adalah wajah kesalku.

"Loh, kalian disini rupanya?" suara familiar itu menghentikan langkahku, kulihat Althea berdiri di koridor di depanku, sepertinya dia baru pulang dari istana.

Althea menatapku, "Ariel, ayahmu mencarimu sedari tadi" ucapnya.

Aku pun terdiam sejenak sebelum menoleh menatap Leon yang kini membalas tatapan datarku. "Kenapa tidak bilang dari tadi?" ucapku.

"Kau yang tidak mau mendengar, bodoh!" kesal Leon.

"Ariel akan segera menemui ayah, maaf membuat khawatir, bu" ucapku berjalan melewati Althea yang hanya tersenyum kecil padaku, "Tak apa nak, pergilah" ucapnya.

Aku pun berjalan menuju tempat yang biasa digunakan Raphael untuk bersantai.

Kastil Aquillio sangatlah luas, halaman depannya saja cukup untuk dipakai bermain golf. Di halaman belakang terdapat danau buatan yang bagiku lumayan besar, cukup untuk menggenangkan seluruh kastil di dalam air.

Dan ya, di sinilah Raphael biasa menghabiskan waktu sendirianya, duduk di tepi danau tanpa melakukan apa-apa. Hanya menatap air danau yang tidak terlalu jernih itu.

"Ayah" panggilku saat mendapati punggung lebarnya membelakangiku. Namun punggung itu segera berbalik, "Ariel, kemarilah" ucapnya. Kami berdua pun duduk di sebuah kursi kayu di pinggir danau itu.

Jujur Aku hanya diam menunggu Raphael membuka suara, hubunganku dan ayahku sendiri di kehidupan sebelumnya tidaklah hangat. Ayahku adalah sosok yang dingin dan patriarkis, aku bahkan masih sempat memakinya di dalam hati karena selalu saja merendahkan perempuan. Tapi meski begitu, aku tahu betul bahwa ayahku begitu menyayangiku.

Sedang Raphael, pria yang memang faktanya bukan ayah kandungku di dunia ini, memperlakukanku selayaknya seorang ayah memang harus dekat dengan putrinya. Namun rasa kasih itu terasa begitu asing bagiku.

I Wrote This StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang