🥀🍒21) HATTALA AL-HAIDER 🍒🥀

612 27 2
                                    

21• Pembicaraan Hattala dan Ahlan. Renal dan Ahmad.

Selesai acara tahlilan. Jam telah menunjukkan pukul 19.30 Wib. Yang artinya sudah memasuki jam setengah delapan dan sudah waktunya sholat. Hattala dan Renal sholat di rumah Kakeknya Ahlan.

Selesai sholat, Ahlan mengajak Hattala ke taman belakang rumah agar bisa berbicara dengan santai. Karena masih banyak orang di dalam rumah.

Mereka saling terdiam cukup lama hingga suara Ahlan memecahkan keheningan.

"Hattala berapa umur kamu?" tanya Ahlan yang penasaran dengan umur Hattala. Karena jika dilihat, Hattala seumuran dengannya.

"18 tahun," jawab Hattala singkat.

"Umur kita ternyata memang tidak jauh berbeda. Saya berusia 19 tahun tepat 10 hari yang lalu."

Hattala hanya mengangguk.

"Saya tanya, di mana kamu bertemu Kakak saya?" tanya Hattala tanpa menatap Ahlan.

"Dua bulan lalu saya kembali dari pesantren karena Kakek saya masuk rumah sakit. Saat saya di rumah sakit saya tak sengaja berpapasan dengan dia. Dia hampir menabrak saya waktu itu. Mulai dari situ, muncul ketertarikan dalam diri saya terhadap Kakak kamu. Hari demi hari jantung saya terus berpacu dengan cepat saat saya teringat akan wajah Kakak kamu yang saat itu seperti merasa bersalah. Saya tau ini salah, maka dari itu saya terus berusaha membuang bayangan wajah Kakak kamu. Hingga saya sadar jika saya mencintainya. Saya mencari tau tentangnya melalui sepupu saya. Kebetulan sepupu saya teman satu kampus Kakak kamu. Saya mendapatkan nomer Kakak kamu dari sepupu saya. Sepupu saya laki-laki."

"Apa yang bisa kamu berikan kepada kakak saya, secara kamu masih menempuh pendidikan di pesantren."

Ahlan menghela nafas sejenak. "Saya bekerja di perusahaan milik Ayah saya. Walau hanya sebagai karyawan biasa, tapi Insyaallah saya bisa menghidupi Kakak kamu."

Hattala mengangguk. "Bisa saya bertanya kembali?" tanya Hattala.

"Silahkan, saya siap menjawab segala pertanyaan yang kamu ajukan. Saya tau, kamu ingin yang terbaik untuk Kakak kamu."

"Saya sedikit kagum dengan jawaban-jawaban yang anda berikan."

"Terima kasih jika begitu."

"Apa yang bisa anda janjikan kepada Kakak saya, jika saya dan keluarga saya setuju anda menikah dengan Kakak saya?"

"Jujur, saya masih belum memiliki harta yang besar. Namun saya tau maksud dari pertanyaanmu bukanlah masalah harta. Saya bisa janjikan kasih sayang, cinta, rasa percaya, dukungan, dan kesabaran untuk Kakak kamu. Saya akan memberikan kasih sayang yang besar untuknya. Saya selalu akan mendahulukan dirinya terlebih dahulu dibanding dengan saya sendiri. Saya akan mencintainya dengan tulus dan insyaallah saya akan mencintai sampai surganya Allah. Rasa percaya, rasa percaya saya akan saya tanam begitu besar dalam diri saya. Dukungan, saya akan terus mendukungnya selagi itu baik baginya. Dan kesabaran, saya akan terus bersabar menghadapinya. Saya belum tau pasti bagaimana sikap dan sifat Kakak kamu. Namun saya sudah siap bagaimana pun sikap dan sifatnya. Saya akan selalu sabar menghadapinya. Saya mengucapkan semua ini bukan sekedar ucapan saja. Ini janji saya, kamu bisa pegang. Apabila saya melanggar, saya siap dihukum sekejam mungkin. Selain itu saya siap dicambuk lebih dari 200 kali. Boleh tambah dan tidak kurang." Ahlan berbicara sambil menatap Hattala. Terlihat jelas di mata Ahlan bahwa dia memang benar-benar serius dalam ucapannya.

Hattala merasa kagum dengan ucapan Ahlan. Dia merasa laki-laki ini baik untuk Kakaknya.

"Saya kagum dengan ucapan yang anda katakan. Terutama konsekuensi yang anda ajukan sendiri jika anda melanggar janji. Ingat, jika saja janji itu anda langgar, saya orang pertama yang akan mencambuk anda lebih dari 500 kali. Tidak peduli jika anda akan mati saat dicambuk. Dan jangan berharap, anda bisa bertemu dengan Kakak saya lagi. Buktikan janji yang anda buat. Saya butuh pembuktian. Dan saya mengizinkan anda datang ke rumah untuk melamar Kakak saya. Tapi sebelum itu, anda juga harus tanyakan kepada Abi saya."

Ahlan tersenyum mendengar penuturan Hattala. "Saya akan buktikan."

Ahlan memeluk Hattala. "Terima kasih sudah mengizinkan saya untuk masuk ke dalam kehidupan Kakak mu."

"Masalah itu biarkan Kakak saya yang menjawab. Dia ingin atau tidaknya menerimamu."

"Saat siap tanggung resiko jika ditolak. Jodoh itu ada di tangan Allah. Jika saja Kakak kamu menolak saya. Itu artinya dia bukan lauhul Mahfudz saya."

"Tapi tunggu dulu. Setelah acara lamaran dan semisal Kakak saya menerima anda. Pernikahan tidak bisa dilaksanakan terlalu cepat. Tunggu lima bulan setelahnya, baru anda bisa menikahi Kakak saya. Karena dia ingin menikah setelah kuliahnya lulus. Dia lulus 4 bulan lagi."

"Saya siap menunggu. Karena juga saya lulus dari pesantren 2 bulan lagi."

Hattala mengangguk. "Berapa juz hapalan Qur'an mu?" tanyanya.

"Saya sudah khatam Al-Qur'an. Saya telah menjadi Hafizh Qur'an 2 tahun lalu. Untuk urusan agama, insyaallah saya bisa."

Hattala mengangguk. "Tolong tuntun Kakak saya menjadi lebih baik jika kalian berjodoh."

Ahlan mengangguk.

Tiba-tiba suara Renal datang dari belakang. "Apa yang kamu janjikan kepada anak saya, anak muda?" tanya Renal tiba-tiba yang datang bersama Ahmad.

"Saya bisa janjikan kasih sayang, cinta, rasa percaya, dukungan, dan kesabaran untuk Putri, Paman. Saya akan memberikan kasih sayang yang besar untuknya. Saya selalu akan mendahulukan dirinya terlebih dahulu dibanding dengan saya sendiri. Saya akan mencintainya dengan tulus dan insyaallah saya akan mencintai sampai surganya Allah. Rasa percaya, rasa percaya saya akan saya tanam begitu besar dalam diri saya. Dukungan, saya akan terus mendukungnya selagi itu baik baginya. Dan kesabaran, saya akan terus bersabar menghadapinya. Saya belum tau pasti bagaimana sikap dan sifat putri, Paman. Namun saya sudah siap bagaimana pun sikap dan sifatnya. Saya akan selalu sabar menghadapinya. Saya mengucapkan semua ini bukan sekedar ucapan saja. Ini janji saya, kamu bisa pegang. Apabila saya melanggar, saya siap dihukum sekejam mungkin. Selain itu saya siap dicambuk lebih dari 200 kali. Boleh tambah dan tidak kurang."

Renal tersenyum mengangguk. "Saya pegang janji kamu. Apabila melanggar saya tidak segan-segan mencambuk lebih dari 790 kali."

"Saya akan buktikan jika janji saya tidak main-main."

Renal menoleh ke arah Ahmad. "Saya suka dengan putramu."

Ahmad tersenyum. "Terima kasih. Jika putra saya melanggar janjinya, saya juga akan mencambuknya lebih dari 800 kali. Tak peduli jika dia bisa mati di tangan Ayah kandungnya sendiri. Karena bagi kami, pantang seorang lelaki mengingkari janjinya."

"Saya percaya. Kalian bisa datang ke rumah saya kapan pun, pintu rumah saya terbuka menunggu kedatangan kalian." Renal memeluk Ahmad dengan tersenyum.

"Secepatnya kami akan datang."

"Kalau begitu, kami pamit pulang, sudah semakin larut."

"Hati-hati di jalan," ucap Ahmad.

Renal mengangguk. "Ayo Hata."

"Siapa namamu?" tanya Ahmad kepada Hattala.

"Hattala Al-Haider," jawab Hattala.

"Saya suka caramu menanyakan pertanyaan kepada putra saya. Kamu memenuhi tanggung jawab sebagai seorang Adik. Pertanyaan yang kamu ajukan begitu menjebak." Ahmad mengelus pelan kepala Hattala.

Hattala terkekeh pelan. "Saya juga suka cara putra paman menjawab pertanyaan yang saja ajukan. Kakak saya menyerahkan kepada saya untuk menilai bagaimana sifat dan sikap Ahlan. Dan saya rasa sudah cukup, karena saya sudah merasa jika Ahlan layak disandingkan dengan Kakak saya, Aili. Benar begitu Abi?"

Renal terkekeh pelan dan mengangguk. "Benar."

"Kami pamit, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Setelah Hattala dan Renal pergi, Ahmad menepuk pundak putranya. "Janji harus ditepati."

Ahlan mengangguk. "Aku buktikan, Ayah."

"Dan Ayah suka dengan keluarga gadis yang akan kamu lamar," lanjut Ahmad.

"Aku juga suka dengan mereka. Bagaimana cara Hattala mengajukan pertanyaan, tatapan yang tajam dan mengintimidasi dia berikan."

Bersambung...


HATTALA AL-HAIDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang