Nih, beneran...
44. Melupakan dan memperbaiki diri
Sebulan ini Defa benar-benar memperbaiki dirinya persis seperti nasehat yang diucapkan oleh Kazen. Ia tak pernah lupa untuk melaksanakan sholat lima waktu beserta sunnah-sunnahnya. Sholat dhuha, tahajud juga ia laksanakan. Sholat lima waktunya tak pernah telah. Setelah adzan di masjid berkumandang, segera mungkin dia langsung mengambil wudhu dan segera sholat.
Defa benar-benar berubah, aura yang ia pancarkan jauh lebih positif, apalagi setelah seminggu lalu Defa memutuskan untuk memakai cadar. Ya, Defa memutuskan untuk bercadar. Kajian-kajian yang dilaksanakan di berbagai masjid ia ikuti. Baik kajian ibu-ibu maupun campur antara ibu-ibu dan anak remaja.
Kazen melihat jelas perubahan yang benar-benar dilakukan oleh Kakaknya. Dia selalu menatap kagum dan bangga dengan sosok Kakaknya yang mampu berubah jauh lebih baik. Memutuskan untuk bercadar bukanlah hal yang mudah. Namun Kakaknya mampu.
Sejauh ini perubahan Kakaknya yang ini adalah yang benar-benar terbaik dari perubahan-perubahan sebelumnya.
"Kamu mau ke mana?" tanya Kazen yang tengah duduk di ruang tamu.
Pasalnya dia melihat Kakaknya itu memakai abaya lengkap dengan jilbab dan juga cadarnya. Ini juga sudah malam, mau ke mana Kakaknya itu.
"Kajian di masjid depan," jawab Defa dengan tersenyum lembut.
"Ayo ikut," ajaknya kepada Kazen.
"Emang ada laki-lakinya?"
"Kata Bu Rani kemarin ada. Ayo Zen, kamu harus sering-sering dengar ceramah. Sekalian temenin Kakak gitu."
Pada akhirnya Kazen mengangguk. "Yaudah. Zen ganti baju dulu."
**
Setelah Kazen berganti pakaian, dia dan Defa langsung ke luar rumah untuk segera menuju ke masjid. Mereka pergi ke masjid dengan berjalan kaki, karena jaraknya yang tidak terlalu jauh.
Di tengah perjalanan, Kazen tak henti-hentinya bertanya kepada Defa, membuat Defa memijat kepalanya pusing.
"Zen, bisa nggak jangan banyak tanya?" ucap Defa dengan tersenyum paksa di balik cadarnya.
Kazen menyengir. "Zen penasaran banget soalnya. Kenapa Kakak bisa mutusin bercadar?"
"Kakak sedang memperbaiki diri menjadi jauh lebih baik. Dan hati Kakak benar-benar menginginkan untuk bercadar. Intinya Kakak nyaman dengan cadar dan hidup Kakak yang sekarang. Jauh lebih tenang dari sebelumnya."
Kazen tersenyum. "Kalau Kazen numbuhin janggut gimana, Kak?"
Defa menggeleng pelan. Adiknya ini ada-ada saja. "Sejujurnya Kakak ngelarang sih, tapi kalau emang kamu mau, Kakak setuju-setuju aja."
"Jadinya gimana maksudnya Kakakku sayang?"
"Kakak nggak tau Adikku sayang," timbal Defa.
Setelahnya mereka terdiam dan kembali berjalan menuju masjid, sudah hampir sampai. Hingga mata Kazen terpaku pada satu objek. Di sana ada temannya, Jaiden. Ada juga Ganesa dan Naren. Tunggu, Ganesa? Kenapa Ganesa memakai sarung dan ada di teras masjid?
"Kak," panggil Kazen.
"Iya?"
"Zen duluan ya, di sana ada teman-teman Zen juga, Jaiden sama yang lainnya," pamit Kazen.
Defa menatap Adiknya dan mengangguk. Dia percaya dengan Adiknya. Tidak mungkin dia kabur.
"Jangan main-main. Dengerin ceramahnya dengan baik," peringat Defa.
"Zen udah gede, Kak."
"Ya kan siapa tau, kamu kan nakal."
Kazen melotot menatap Kakaknya, yang membuat Defa terkekeh pelan di balik cadarnya itu. "Yaudah, Zen duluan. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam," jawab Defa. Segera dia melanjutkan langkahnya menuju kumpulan ibu-ibu yang ada di sana, tanpa menoleh ke arah Kazen lagi.
Sedangkan Kazen sendiri sudah berlari menuju keberadaan teman-temannya. Sudah lama dia tidak bertemu dengan mereka. Bertemu Jaiden saja sudah sekitar 3 tahun yang lalu, apalagi Ganesa dan Naren.
"Assalamu'alaikum," ucapnya yang seketika membuat atensi Naren, Jaiden dan Ganesa teralihkan.
Dapat Kazen lihat raut wajah terkejut di wajah Ganesa, Jaiden, dan Naren.
"Wa'alaikumussalam!" jawab mereka semua dengan kompak.
"Udah lama nggak ketemu," ujar Kazen seraya menepuk pelan pundak Naren.
Naren tertawa pelan. "Baru pulang sebulan yang lalu. Diajak Jaiden kajian di sini. Lo sendiri? Kok bisa di sini?"
"Rumah gue nggak jauh dari sini," jawab Kazen.
"Gimana? Udah kecapai cita-citanya?" tanya Kazen dengan tersenyum menggoda.
"Gue nggak kecapai," jawab Jaiden dengan lirih.
"Gue kan mau jadi pengacara, tapi nggak kecapai, yaudah jadi bos sawit akhirnya," cerita Jaiden yang membuat Naren dan Ganesa tertawa pelan.
Rasanya Kazen dan yang lainnya sedikit merasa canggung karena sudah lama tidak bertemu.
"Lo kok bisa di sini Ges?" tanya Kazen menatap Ganesa.
"Ganesa mualaf, Zen. Udah dari 3 tahun lalu," timbal Naren yang membuat Kazen begitu terkejut.
"Lo makin keren, Zen," puji Ganesa seketika yang membuat Kazen tertawa pelan.
"Gue denger - denger ada yang mau nikah," ucap Kazen sambil menatap Ganesa, Naren dan Jaiden satu persatu.
"Jaiden yang mau nikah," jawab Naren.
Jaiden hanya tersenyum malu-malu. "Datang ya, Zen. Acaranya 4 bulan lagi sih. Gue udah nyari lo, tapi nggak ketemu-ketemu. Gue hubungin nomer ponsel lo, kayaknya udah ganti. Jadi gue belum sempat bilang. Berhubung sekarang udah ketemu, gue bilang aja. Jangan lupa datang, makan sapi kita," ujar Jaiden diiringi candaan.
Naren dan Ganesa tertawa begitu pun dengan Kazen.
"Santai."
"Hata di mana?" lanjut Kazen dengan sebuah pertanyaan.
"Kita juga nggak tau. Udah lama putus komunikasi."
Kazen mengangguk-angguk pelan. "Canggung banget rasanya."
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
HATTALA AL-HAIDER
Genç Kız EdebiyatıNote : NO PLAGIAT!! ⚠️Budayakan follow sebelum baca! ⚠️Budayakan votment setelah baca! 🔏Update = Sesuai mood author;) ☄️☄️☄️☄️☄️☄️☄️☄️☄️☄️☄️☄️☄️ Laki-laki yang memiliki ketampanan yang nyaris dikatakan sempurna. Namun tidak sempurna, kar...