BAB 23

92 11 1
                                    

Malam itu, makan malam kerajaan dihadiri oleh keluarga inti kerajaan. Suasana yang intim menemani makan malam Gusti Tedjo dan sanak saudaranya. Disepanjang meja makan duduk orang-orang paling berkuasa di Akkadiamdjantara. Disamping Gusti Tedjo dari kanannya, duduk istri tercinta–Sekar Thamirah Widodo. Diikuti dengan anak angkatnya– Asmara Lalitha Sanggadyatmadja yang terus berbicara kepada Ariya Rukayah di sisi kirinya.

Sementara itu, Sekar Mirah hadir sembari membantu ibunya, menuntunnya untuk dapat duduk di kursi. Asmara Lalitha yang sigap-pun ikut membantu Sekar Mirah, yang mana langsung diberi tatapan tajam oleh Sekar Mirah, dan Lalitha tidak memperdulikannya.

"Eyang terlihat cukup sehat malam ini, bagaimana perasaan Eyang hari ini? Lebih baik?" Lalitha bertanya sembari memberikan piring dan nasi untuk Gusti Roosita, sementara Sekar Mirah menuangkan air di dalam gelas.

Gusti Roosita tersenyum tipis. "Terima kasih, Lalitha sayang. Kamu tidak perlu repot-repot." Ia kemudian meminum airnya dan mengisyaratkan Lalitha untuk dapat kembali ke kursinya.

Gusti Tedjo terlihat khawatir dengan kondisi ibunya, ia juga sesekali melirik kesana untuk memastikan ibunya makan dengan baik.

"Mbak, jangan memaksakan diri. Kalau masih sakit istirahat saja," ucap Gusti Ruumini yang sedang mengambil porsi kedua ayam tangkapnya.

"Tidak ada yang sakit, Ruum. Aku sudah sehat, lihat aku bisa mengangkat piringku sendiri tanpa bergetar." Roosita mengangkat piringnya dan menurunkannya kembali sesaat dia rasa tangannya tidak mampu mengangkat piring itu lama-lama.

"Hati-hati, Mbak," sergah Rakanansatya dengan uluran tangannya.

"Aku baik-baik saja, habiskan makanan kalian. Jangan memperhatikanku, aku malu."

Sekar Mirah tersenyum dan matanya melirik ke arah Prabawa yang baru saja masuk ke ruang makan keluarga. Pria itu mengambil tempat dan segera mengambil lauk pauknya. "Dimana Archie dan istrinya?" tanya Sekar Mirah kepada Prabawa.

"Dalam perjalan, Bu," jawabnya tanpa peduli dengan tatapan orang-orang.

Gusti Ruumini segera menjatuhkan sendoknya. "Dia akan satu meja dengan kita?" Pandangannya kini jatuh kepada Gusti Roosita yang terlihat tidak peduli.

"Bagus kalau begitu, sudah lama sekali Archie tidak bergabung dengan kita," jawab Gusti Tedjo menyambut gembira.

"Memangnya dia berani?" sahut Matteo sinis dan tertawa, diikuti oleh Ariya yang menyambung, "bertemu dengan kita di pendopo saja tidak. Nyalinya sudah ciut duluan, sepertinya."

Gusti Ruumini tersenyum puas. "Jangan asal bicara Prabawa, dia tidak diizinkan di meja makan ini."

"Tapi aku diizinkan bukan?" Serra masuk kedalam dan segera duduk disisi lainnya. Dia menatap tajam ke arah Gusti Ruumini yang terkejut melihatnya. "Tidak ada yang menyebut namaku, berarti aku diizinkan disini."

"Beraninya kamu bergabung bersama kami?" decih Gusti Ruumini. "Bisa-bisa kami semua akan tertular kesialan," sambungnya melempar sendok makannya dengan kesal.

"Dimana sopan santunmu Nona? Duduk sembarangan bersama keluarga inti kerajaan?" nyalang Rakanansatya yang ikut berdiri menghadap Serra.

Serra bukannya takut, ia malah tersenyum kepada Gusti Roosita yang tetap tenang memakan makan malamnya. Sementara Gusti Tedjo kebingungan dengan situasinya.

"Oh, lupa? Aku bagian inti keluarga ini. Mungkin suamiku tidak memperkenalkanku kepada kalian, kasihan." Serra mendengus dan mengambil ayam tangkap yang berada di prasmanan. Namun, belum sempat ia ambil, tangannya ditepis oleh Ariya yang berada disampingnya.

"Sopan santunmu, Nona," desis Ariya.

Serra memutar kedua bola matanya. "Ah, menyebalkan sekali. Aku bahkan tidak bisa makan dengan tenang."

"Siapa yang memberimu izin makan disini?"

"Aku, Matteo. Sekarang berhenti kekanakan dan lanjutkan makan malamnya," ucap Gusti Tedjo mendesah berat.

Sementara Lalitha sedari tadi menyaksikan dan matanya terus mencari dimana pria itu.

"Baiklah, satu-satunya cara mengusir kalian dari sini." Mata Serra melirik ke arah pintu. "Archie, kenapa masih menunggu? Bukankah perutmu sudah berbunyi sedari tadi?" Serra melirik kesamping dimana Archie sedari tadi berdiri dan menunduk. "Naikkan wajahmu Archie sayang, biarkan mereka melihat kesialan agar mereka terus sial," desis Serra tak tertahankan. Ia benar-benar marah dan muak akan kerabat Archie itu.

"Archie? Ambil kursimu, ayo, mari makan bersama kami," ajak Gusti Tedjo kepada Archie.

Perlahan kaki pria itu memasuki ruangan. Seketika Ruumini, Rakanansatya berserta yang lainnya  meninggalkan ruang makan dengan tatapan jijik.

"Kalian benar-benar sakit jiwa, menyatukan kita dengan anak sial ini? Ariya! Ikut aku, cepat!" Ariya buru-buru bangkit dari kursinya dan mengekori ibunya, ia berjalan ketakutan dan keluar dari ruang makan seraya sudut matanya menangkap Archie tengah memperhatikannya.

Serra memutar kedua bola matanya, malas. Ia pun hanya memandang piring didepannya.  Kini Archie sudah duduk bersama keluarga intinya, dan Serra rasa dia tidak perlu ada disana. Bersama kepergian kerabat Archie lainnya, Serra pun mengikuti mereka tanpa melihat kebelakang. Ia kembali ke kamarnya dan mengunci pintu, malam ini ia akan tidur nyenyak tanpa harus berpikir apapun. Serra merindukan Ajuda, ia merindukan ibunya, ia juga merindukan neneknya. Entah kenapa jauh dari mereka justru menyakitkan, sementara didekat mereka Serra merasa terkekang. Siatuasi yang serba salah.

TBC

SERCHIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang