BAB 29

98 9 1
                                    

"Raden Ayu," panggil Surti yang baru saja membuka jendela untuk membiarkan matahari masuk ke dalam kamar dan tentu saja tujuan utamanya adalah untuk membangunkan Raden Ayunya—Abraya Serra yang masih di dalam dunia tidurnya.

"Raden Ayu," panggil Surti sekali lagi seraya menarik selimut yang digunakan majikannya kemudian mulai melipatnya.

Serra masih bergeming, dan menunjukkan tanda-tanda akan bangun dari tidurnya.

"Putri Serra?" Mata Serra terbuka dan seketika ia duduk dan matanya menangkap Surti tengah melipat baju-bajunya yang berserakan dilantai.

"Surti!" Serra berteriak girang dan melompat dari tempat tidurnya hanya untuk memeluk pelayannya itu. "Surti kamu masih hidup?!"

"Ya, Raden Ayu, saya mohon lepaskan saya. Jika ada yang melihat saya mungkin akan dipecat, Raden Ayu," ucap Surti gelagapan karena kesusahan.

Serra segera melepas pelukannya dan berlayak tidak terjadi apa-apa. "Maaf, Surti."

"Maafkan aku," lirihnya dan menatap Surti iba. "Karena kesalahanku, kamu yang harus menanggung semuanya."

Surti tersenyum. "Tidak, Raden Ayu. Ini bukan salah Raden Ayu. Ini tanggung jawabku, karena sebelum ditentukan menjadi pelayan pribadimu, saya sudah siap, Raden Ayu. Saya siap dengan segala konsekuensinya, saya siap menerima segalanya. Apalagi ketika Cakra Limar mengatakan Raden Ayu adalah sebuah cangkir yang belum diisi, dan sebuah buku yang belum ditulis. Saya bersedia dengan senang dan sepenuh hati, saya akan mendampingi Raden Ayu dan menjadikan Raden Ayu orang paling dihormati di Akkadiamadjantara."

Bibit Serra mengerut, ia menggenggam tangan itu dengan lembut, "terima kasih, Surti," lirihnya hangat.

"Hari ini, ada latihan untuk acara jamuan bersama Gusti Tedjo. Sebaiknya, Raden Ayu bersiap dan kita Pendopo Agung setelah itu." Surti memanggil pelayan lain untuk masuk, dan segera menyiapkan kamar mandi untuk majikan mereka.

"Hari ini jangan membuat kerusuhan ya Raden Ayu, saya kapok."

Serra tertawa dan berkata, "Tadi kamu bilang kamu bersedia dan senang hati melayaniku. Kenapa kapok?"

Surti tertawa getir, "Saya kan juga mau sehari tidak dihukum, Raden Ayu. Berada di panggung gantung itu menyeramkan, Raden Ayu."

"Maafkan aku, Surti," ucap Serra tulus dan Surti membalasnya dengan tawa renyah kemudian membantu Serra menyiapkan pakaiannya untuk dipakai latihan tari hari ini.

"Chie," panggil Gusti Roos yang sudah sehat. Nenek tua itu melangkah perlahan dengan tongkatnya mendekati Archie yang tengah berkebun.

"Eyang? Eyang tidak perlu kemari, jangan repot-repot. Biar aku yang kesana," ucap Archie yang melepas sarung tangan dan dengan sepatu boot nya ia melangkahi genangan air yang terbendung di tengah kebun mereka.

Gusti Roos tersenyum melihat cucunya yang lebih aktif daripada kemarin. Jika kemarin Archie terus menerus menjenguknya, hariini pria itu membantu Cakar Limar berkebun.

"Kenapa Eyang? Kenapa Eyang repot-repot kemari?" tanya Archie yang memberikan isyarat kepada Cakra Limar untuk mengikutinya.

Gusti Roosita yang melihat Cakra Limar memberikan hormat kepadanya hanya bisa tersenyum. "Gimana Chie? Apa istrimu sudah siap untuk jamuan makan malam bersama Gusti Tedjo?"

Archie melihat Eyangnya sekilas dan berkata, "Ya, Eyang. Serra siap."

"Apa kamu yakin? Dia terlalu banyak membuat masalah disini," ucap Gusti Roosita mengadu.

Archie tertawa pelan, "Dia masih baru, Eyang. Dia tidak tahu apa-apa. Isi kepalanya hanya digunakan untuk mengurus kelas modelingnya, mana ada tempat untuk memproses ini semua disana."

"Archie!" sergah Roosita ikut tertawa. "Kamu keterlaluan, dia istrimu."

Archie tertawa lepas. "Ya, dia istriku.
— istri yang lucu, Eyang."

Roosita tersenyum melihat rawit bahagia yang tercetak jelas di wajah cucunya. Sambil berjalan menuju Pendopo Agung, Roosita kembali bertanya. "Kamu cinta kepadanya?"

Archie menatap neneknya dengan heran. Alisnya sampai bertaut dan Roosita mengibas tangannya mengisyaratkan Archie untuk melupakan saja kalimat bodohnya.

"Sangat, Eyang."

"Tapi kamu tahu dia tidak memiliki perasaan yang sama kan?"

Archie tersenyum getir dan menjawab dengan polosnya, "Tidak."

Sekarang Roosita yang terheran. Wajahnya sangat jelas menunjukkan keterkejutannya. "Tidak?"

Archie kembali tertawa. "Yang aku tahu, Eyang. Serra selalu mempunyai tempat kecil dihatinya untukku."

Dengan percaya diri Dasarata Archie Mallory berkata, "Jika bukan aku, siapa lagi yang tahan dengan sikap angkuh dan princess syndrome-nya itu Eyang?"

Roosita kembali tertawa. "Kamu benar-benar cinta mati dengannya, Chie. Padahal dia begitu gengsi untuk mengungkapkan semuanya, kenapa dia begitu sombong dan seakan bisa sendiri? Padahal jika dia butuh bantuan, dia tinggal katakan saja. Kita bisa membantunya."

"Eyang, didikan yang diajarkan kepada Serra berbeda dengan didikan Eyang kepadaku. Ratu Regina mungkin terlalu keras dan secara tiba-tiba mengembankan tugas terlalu berat. Sehingga istriku belum sempat mencerna kehidupan mudanya, sudah dilimpahkan kehidupan lainnya. Bukankah tidak adil untuk istriku karena dia sangat menderita selama ini, dan sampai disini dia juga diuji dengan didikan Eyang?"

Roosita menghela napas. "Tetapi dia kurang ajar Archie, Eyang tidak bisa mentolerir sikapnya. Dia keras kepala, suka seenaknya, dan lihat? Tidak ada senyuman ditariannya dia seakan mengatakan pada semua orang dia adalah penguasa yang kejam."

"Eyang," ucap Archie lembut dengan memegang kedua bahu neneknya. Ditatap mata itu dengan dalam dan dia berkata, "Cara Eyang mendidik Serra terlalu keras, atau bahkan sama seperti Ratu Regina mendidiknya. Terlalu buru-buru—tidak mau menunggu dia memproses apa yang sedang terjadi. Cara terbaik adalah dengan lemah lembut kepadanya."

"Lihat, aku tidak pernah menekannya, aku tidak pernah memaksakan kehendak ku atas dirinya. Lemah lembut, Eyang. Tenang, dia akan menurutimu."

TBC

SERCHIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang