"Senyum, Raden Ayu," bisik Sekar Mirah ketika melihat wajah Serra yang masam.
Serra mendengar itu dan berusaha tersenyum. Senyum yang ia paksakn membuat Sekar Mirah mendesah berat. Ia kemudian menghitung tempo tarian mereka dan mencoba membuat mereka selaras. Sekar Mirah akan terus tersenyum ketika melihat Serra dan akan terus memerintahkan putri raja itu untuk tersenyum.
Serra mendesah berat ketika latihan diberhentikan untuk istirahat. Ia mengipas dirinya sendiri untuk karena lelah, kakinya serasa ingin copot karena ia lebih banyak menekuk hari ini daripada sebelum-sebelumnya. Serra mengambil air mineral yang diberikan Surti kepadanya. Ia juga dipaksa senyum oleh Surti tetapi tetap saja senyum paksa yang tercetak dari bibir tipisnya.
"Senyum, Raden Ayu. Senyum tidak membuat Raden Ayu cepat tua. Jadi tersenyumlah," ucap Surti yang sedang membenarkan selendang yang sedang dipakai majikannya.
"Tidak bisa Surti, aku tidak senang."
"Kenapa toh? Siapa yang membuat perasaan Raden Ayu ku hari ini tidak bagus?"
Serra mendesah berat dan menyandarkan tubuhnya dengan kedua tangannya sebagai penopang. "Aku memikirkan nasib Nyai Apsarini, Sur."
Surti dengan cepat menyelesaikan ikatan selendang majikannya dan pergi secepat mungkin, sebelum Serra penasaran dengan apa yang baru saja ia ucapkan.
"Surti," panggil Serra tegas. Ia seperti tahu sesuatu.
Surti dengan gemetar berbalik dan menunduk kepada Raden Ayu nya. "I-i-ya, Raden Ayu."
Serra melirik kanan dan kirinya sebelum bertanya lebih lanjut kepada Surti. "Apa benar, Nyai Apsarini—"
"Ampun, Raden Ayu, saya tidak tahu apa-apa."
Serra mendesah sekali lagi. "Jika kamu tidak tahu apa-apa, kenapa takut?"
Surti gelagapan dan mengutuk dirinya sendiri. "Anu, Raden Ayu.."
"Sur, bukankah kamu pelayan setiaku? Bukankah seharusnya kamu melayaniku?" Surti mengangguk. "Jawab pertanyaan ku kalau begitu."
Dengan lemas, Surti menjawab, "Nyai Apsarini mendapatkan hukuman, Raden Ayu."
"Hukuman? Hukuman apa?"
"Pawon Ageng dituduh sebagai dalang utama penyebab sakitnya Gusti Roosita. Mereka juga bertanggung jawab atas kejadian yang hampir merenggut nyawa Gusti Roos. Jadi..."
"Dari mana kamu tahu itu?"
"Para pelayan Pawon Ageng terus membicarakannya, Raden Ayu."
"Terus? Apa Nyai Apsarini mengaku?" Surti mengangguk. "Tapi itu bukan salahnya!" desis Serra geram. Ia melirik kiri kanan untuk memastikan kembali tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka.
"Tapi beliau adalah pemimpin Pawon Ageng, beliau bertanggung jawab penuh atas kejadian yang mengatasnamakan Pawon Ageng, Raden Ayu."
"Tidak, ini tidak adil," desis Serra tertahan. "Aku harus ke Pawon Ageng."
Surti segera menahan majikannya, ia menggeleng kencang. "Jangan, Raden Ayu. Jangan, saya mohon untuk tidak ke Pawon. Seluruh anggota kerajaan dilarang kesana. Jangan, Raden Ayu."
"Surti, ada orang yang tidak bersalah sedang terancam. Kamu mau melihat ketidak adilan terus meraja lela?"
Surti menggeleng, "Niat Raden Ayu memang baik. Saya tidak menyangkal, bahwa Raden Ayu memiliki hati yang besar. Tetapi, Raden Ayu perlu pahami—bahwa tidak semua hal memerlukan keadilan, terutama untuk kita yang tinggal di lingkungan kerajaan. Tidak ada namanya keadilan, Raden Ayu. Yang ada adalah bertahan hidup dan tidak mencari masalah."
"Apa yang akan terjadi kepada Nyai Apsarini?"
"Saya tidak tahu, Raden Ayu," gelengnya pelan.
"Surti?" tegas Serra sekali lagi, dan Surti menggeleng untuk kedua kalinya.
"Apa hukuman yang bisa dilakukan untuk menghukum orang-orang seperti itu Sur?"
"Hukuman gantung, Raden Ayu." Serra menutup mulutnya dan menggeleng kencang. Di jaman modern ini mereka masih menerapkan hukuman seperti itu? Dimana hak asasi manusia yang selama ini digembar gemborkan oleh masa? Serra menggeleng kencang dan tidak mengerti dengan aturan kerajaan ini.
"Raden Ayu tidak boleh memberitahu hal ini kepada orang lain."
"Kenapa?"
"Karena Gusti Tedjo tidak tau, orang yang akan di eksekusi adalah Nyai Apsarini. Jika ia tahu, maka akan terjadi pergolakan." Surti menatap Serra bersungguh-sungguh. Ia begitu takut dan tidak berani melirik sekelilingnya.
"Darimana kamu tahu tentang Nyai Apsarini?"
Surti dengan parahnya kembali menjawab, "Pak Prayitno. Kemarin setelah Raden Ayu mengunjunginya. Pak Prayitno datang kesana dan berbicara dengannya."
"Pak Prayitno?"
Surti kembali berlutut dan memohon ampun dan meringis ia berkata, "Ampuni saya, Raden Ayu. Ampuni saya. Pak Prayitno adalah suami saya, dia adalah bapak dari ketiga anak saya. Aku tidak bisa hidup tanpanya, Raden Ayu, anak kami masih kecil dan masih membutuhkan sosok bapak dihidup mereka. Dan aku masih membutuhkan suami untuk melindungiku, jika aku jadi janda mungkin aku akan dinikahkan lagi, aku tidak mau Raden Ayu. Aku tidak mau, aku mohon ampunanmu."
Perasaan Serra campur aduk, antara kesal, marah, dan iba menjadi satu. Apa yang Surti lakukan mungkin untuk melindunginya, tetapi perbuatan Surti dan suaminya itu tidak benar dan merugikan orang lain, dan orang itu tidak bersalah.
"Kamu? Rencanamu dan suamimu itu membuat orang yang tidak bersalah dihukum, Surti!" desis Serra tertahan. Lagi-lagi ia harus menahan amarahnya. "Aku tidak mengerti, kamu keterlaluan," geleng Serra kecewa.
"Aku tidak punya jalan lain, lagipula Nyai Apsarini menyetujuinya. Ia sudah tidak punya waktu lagi untuk melanjutkan hidupnya, kisah cintanya pupus, anak yang didambakannya gugur, dan tubuhnya dirogoti penyakit. Tidak ada yang tersisa dari Nyai Apsarini kecuali kebaikan hatinya, Raden Ayu," lirih Surti menangis.
Serra menggeleng dan tanpa ia sadari air matanya juga ikut menetes. Surti membawa Serra segera menjauh dari sana. Mereka kemudian pergi ke pendopo belakang dan melihat Nyai Apsarini sedang menjamu Gusti Tedjo, hanya mereka berdua tanpa pengawal dan tanpa permaisurinya.
"Lihat, kisah cinta itu yang didambakannya, Raden Ayu."
"Gusti Tedjo dan Nyai Apsarini?"
"Gusti Tedjo sangat mencintai Nyai Apsarini, begitupun sebaliknya. Dua puluh tahun yang lalu, Gusti Tedjo akan menjadikan Nyai Apsarini sebagai selirnya. Tetapi, Gusti Roosita menentang mereka. Karena syarat menjadi selir adalah, kamu tidak cacat dan sehat secara jiwa dan raga. Nyai Apsarini memiliki luka bakar ditangannya, luka itu terpaksa ia lakukan karena Gusti Roosita memintanya. Gusti Roos tahu, bahwa Nyai Apsarini memiliki penyakit sakit perut kronis, sehingga itu akan mengancam pondasi kerajaan jika ia menjadi selir atau bahkan posisi Gusti Amirah bisa digantikannya."
"Tapi, semua itu terlambat, Nyai Apsarini telah hamil anak Sang Raja dan karena penyakitnya anak itu tidak sempat lahir kedunia ini. Kegugurannya membuat sakit perut yang diderita Nyai Apsarini semakin parah setiap tahunnya."
"Siapa yang akan menggantikannya, Surti?"
"Tidak tahu Raden Ayu. Biasanya pemimpin Pawon Ageng adalah keturunan turun temurun, karena begitu kerahasiaan kerajaan akan terjaga. Tetapi, karena Nyai Apsarini tidak mempunyai anak, mungkin pihak istana akan meminta orang yang berpengalaman dibidangnya." Surti masih menatap ke arah kedua orang yang seperti pasangan suami istri yang sedang menyesap teh mereka di pendopo.
Nyai Apsarini juga terlihat memberikan pijatan kepada Sang Raja. Surti memutar wajahnya. "Raden Ayu, sepertinya kita tidak boleh lama-lama disini." Di detik itu juga Surti menarik lengan Serra untuk pergi dari sana.
"Surti, tunggu! Surti!" Serra yang tertatih untuk menyamakan langkahnya dengan Surti menyentak lengan wanita itu. "Surti!"
"Maaf, Raden Ayu," tunduknya hormat dan meminta maaf.
"Tolong jelaskan kepadaku darimana kamu bisa tahu?"
"Serra!"
—
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
SERCHIE
RomanceSERCHIE | © 2023, Ani Joy. All rights reserved. Ini adalah sebuah karya fiksi. Nama, karakter, insiden, dan Dialog adalah produk dari imajinasi penulis dan tidak akan dibangun sebagai nyata. Kemiripan apapun untuk peristiwa nyata atau orang-orang, h...