Pagi itu, istana Antawirya bagaikan tempat sehabis kemarau. Kering, kosong, tak ada yang bisa diperbuat. Pagi itu juga, Pawon Ageng menutup diri mereka untuk beberapa hari kedepan. Tidak ada yang boleh mendatangi dan keluar dari Pawon Ageng. Alhasil, tidak ada sarapan pagi, makan siang, dan makan malam untuk tiga hari kedepan. Kabar duka itu dengan cepat merambat ke seisi istana dan sekitarnya. Pemimpin Pawon Ageng yang paling disegani telah tiada—Nyai Apsarini meninggal dunia dalam eksekusi hukuman gantung karena telah merencanakan pembunuhan terhadap ibu suri—Gusti Roosita.
Karena pemimpinnya telah tiada, Pawon Ageng ditutup sementara untuk pemilihan atau bahkan kedatangan pemimpin baru.
Semua pelayan disana berbela sungkawa dengan libur bekerja, tidak ada yang boleh bekerja, apalagi memasak untuk anggota kerajaan. Mereka semua tahu, mereka telah dikhianati, difitnah, dan direndahkan. Aksi ini akan membuat istana tahu, bahwa mereka bukan hanya pelayan semata, tetapi juga manusia.
Pagi itu, Gusti Tedjo berdiri di atas balkoni yang menghadap ke hamparan sawah. Balkoni yang sering diduduki ibunya setiap pagi untuk menyesap teh hangat. Tetapi, karena pagi ini tidak ada yang menghidangkannya, jadi ibu suri itu tidak ada disana.
Gusti Tedjo menatap sendu hamparan didepannya. Rasa sesak didadanya menjadi-jadi karena ia sadar, ialah orang yang telah membunuh cinta kasihnya. Dialah yang mematikan sendiri wanita dambaannya. Pria itu merenggut dadanya dengan kencang. Akh, sakit sekali rasanya. Ia tidak kuat menahan rasa bersalah, duka, dan cintanya yang menjadi satu. Sakit sekali Tuhan, ingin rasanya ia berteriak. Kenapa nasibnya buruk sekali, menjadi raja seharusnya menyenangkan karena semua kehendak yang kita inginkan terkehendaki. Namun, entah kenapa, salah dimana dan siapa yang berkehendak—saat ini seorang raja tidak hanya mementingkan dirinya sendiri, melainkan ia juga harus mementingkan kepentingan keluarga dan rakyatnya.
Ia pikir para tetua benar-benar menemukan dalang dibalik penyusupan kacang di makan malam keluarganya. Ternyata, mereka malah menemukan kembang kasih Sang Raja. Mana ia berpikir dalang dibalik tragedi itu adalah cinta kasihnya. Karena ia tahu, Nyai Apsarini tidak mungkin berbuat demikian, dan Nyai Apsarini tidak mungkin menukar jiwanya hanya demi tragedi kacang.
"Apa yang kamu sembunyikan dariku, Rini?" desir Sang Raja kepada langit. "Apa yang kamu pikirkan ketika meninggalkanku?"
"Daom?"
Tangisan Sang Raja semakin dalam. Ketika istrinya hadir di sana. Membuka tangannya dan mendekapnya dengan erat. "Aku disini, Daom. Aku disini."
Dalam diam itu, Sang Raja menangis dipelukan istrinya. Menangisi selir yang tak sampai ke pelukannya. Hati Tamira Widodo teriris, tersayat, dan remuk dalam bersamaan. Tetapi, mau bagaimanapun, ia tahu, cinta suaminya akan lebih besar kepada Nyai Apsarini daripada dirinya. Maka dari itu, dia akan berusaha sampai ia lelah mendampingi Daom nya.
"Aku tidak tahu, Rini yang akan berada disana, Mimi. Aku tidak tahu," lirihnya tersedu.
"Sssttt ... Tenanglah, Daom. Nyai sudah tenang sekarang. Penderitaannya sudah berakhir." Tamira tidak sanggup menahan tangisnya. Ia pun mengingat betapa ringkihnya tubuh Nyai Apsarini. Ia tahu semuanya, dan dia mengerti.
"Nyai akan selalu mengingat Daom adalah pria yang murah hati. Jadi, jangan salahkan dirimu, semuanya sudah terjadi dan jangan pikirkan lagi." Tamirah mengusap air mata suaminya dan memeluknya dengan erat berharap dekapannya dapat menenangkan suaminya yang tengah berduka itu.
—
Serra termenung di dalam kamarnya. Ia sama sekali tidak bersemangat bahkan untuk keluar dari kamarnya ia pun enggan. Ia terus menatap keluar jendela, dimana sinar matahari dengan terang memasuki kamarnya. Serra tidak memiliki niat sedikitpun untuk bergerak, ia hanya menatap kosong kesana. Entah apa yang sedang dipikirkannya, yang ia tahu ia sedang tidak ingin apa-apa.
Pintu kamarnya terbuka, dan Archie dengan khawatirnya berjalan mendekatinya. "Cherry? Cherry are you okay?" Baru saja Archie menyentuh bahunya, air mata wanita itu langsung keluar dan ia menatap Archie dengan kasih sayang. "Oh no, Cherry". Tanpa aba-aba, Archie tahu apa yang harus dia lakukan. Ia duduk disamping istrinya dan memeluknya dengan erat. "Semuanya akan baik-baik saja, Serra. Everything is gonna be okay."
Rasa sakit di dadanya begitu sakit, sampai ia bernapaspun sulit. Sakit itu menjalar di sekitar dada kanannya dan menusuk seakan kepedihan itu tidak ingin hilang dulu— ia ingin menetap dan meninggalkan bekas disana, meninggalkan kenangan bahwa orang yang baru saja pergi itu mempunyai arti dihidupnya.
"Archie ... Dia tidak salah ... Dia—"
"Sssttt ... Dia sudah tenang sekarang. Kita harus mengikhlaskannya, Nyai Apsarini pasti tidak ingin kamu menangisinya."
"Archie ... Ini terlalu ... Aku tidak bisa ... " Serra menggeleng lemah dan terus menangis. "Aku ingin pulang..."
Kepergian Nyai Apsarini tidak hanya melukai hati Pawon Ageng dan Gusti Raja, tapi juga orang-orang yang pernah bertemu dengannya, atau sekedar minum teh bersamanya bahkan bekerja sama dengannya. Nyai Apsarini sangat dihormati dan banyak yang mengenalnya. Begitu kematiannya, Sang Kasih milik Sang Raja, matahari terbenam kembali merenggut kebahagiaan manusia yang hanya bisa berharap.
—
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
SERCHIE
RomanceSERCHIE | © 2023, Ani Joy. All rights reserved. Ini adalah sebuah karya fiksi. Nama, karakter, insiden, dan Dialog adalah produk dari imajinasi penulis dan tidak akan dibangun sebagai nyata. Kemiripan apapun untuk peristiwa nyata atau orang-orang, h...