BAB 34

76 9 0
                                    

Dasarata Omkara Tedjo, menyambut tamu undangannya dengan penuh kehangatan dan kasih sayang. Ia mengucapkan banyak terima kasih karena mereka mau meluangkan waktunya sebentar untuk acara jamuan makan malamnya. Setelah jamuan selesai, Gusti Tedjo akan  membawa para petinggi kerajaan lainnya masuk ke dalam ruang pertemuan yang lebih intim dan privasi karena akan membahas tujuan-tujuan mereka bersama.

Ditengah ia memberikan penyambutan, ia merasakan pusing berputar dan tiba-tiba saja ia akan jatuh. Namun, Cakra Limar dengan cepat berdiri disampingnya berpura-pura membenarkan pengeras suara yang sedang ia gunakan.

"Gusti, baik-baik saja?"

Omkara Tedjo mengangguk dengan susah payah. "Mari kita bicara lebih serius di ruang pertemuan selanjutnya." Setelah kalimat terakhirnya Omkara Tedjo tidak sanggup menahan rasa sakit di kepalanya. Cakra Limar sebagai ketua pelayan segera mendudukkannya dan memberitahu kepada petinggi kerajaan lain untuk membawa tamu undangan ke ruangan yang telah disediakan.

"Bagaimana bisa Anda menyembunyikan sakit Anda, Gusti Tedjo?" tanya Dayita yang sedang membersihkan luka diabetes rajanya.

Omkara Tedjo, pria yang senang dipanggil Daom oleh istrinya itu tertawa renyah. "Aku tidak menyembunyikannya dari istriku, Dayita."

Dayita menengadah dan menatap Gusti Rajanya dengan tidak percaya. "Anda mengenal saya? Anda tahu nama saya?"

"Bagaimana aku tidak kenal dengan pemimpin Pawon Ageng, dapur itu milikku dan tentu saja aku harus mengenal siapa orang yang mengelolanya."

Dayita menunduk dalam dan meminta maaf. "Saya mohon ampun, Gusti. Saya tidak bermaksud."

Gusti Tedjo tertawa dan mengangkat dagu Dayita yang menunduk dalam. "Nyai Apsarini, banyak bercerita tentangmu. Makanya aku mengusulkan untuk menjadikanmu sebagai penerusnya. Aku tahu, kamu banyak belajar darinya jadi tidak salah ternyata."

Dayita menunduk lagi. "Luka Anda semakin dalam, Gusti. Nanahnya juga semakin banyak. Saya sarankan untuk pergi ke rumah sakit setelah ini. Saya takut ... "

"Kakiku, diamputasi?"

Dayita diam.

Gusti Tedjo tersenyum dan menunjukkan kaki sebelahnya yang ditutupi kaos kaki. Ia membuka kaos kaki itu dan menunjukkan jari kaki kelingking dan jari manisnya yang telah hilang. "Aku sudah menghilangkan dua, dan sepertinya jika harus menghilang lagi, aku sudah siap."

"Gusti," sergah Dayita yang khawatir yang menimbulkan senyum tipis di bibir pria itu.

"Untuk apa aku berumur panjang, Dayita? Jika didunia ini tidak ada lagi orang yang bisa aku percaya."

"Anda akan berumur panjang, Gusti.Tedjo.  Anda akan hidup lebih lama dari aku. Aku pastikan itu," ucap Dayita menyelesaikan balutan kasanya. "Jangan hanya karena seseorang yang kamu cintai telah pergi, kamu juga akan merelakan hidupmu untuknya. Ingatlah, ada orang yang juga cinta kepadamu, yang perasannya juga harus di akui."

Thamira Widodo datang dengan panik dan langsung lemas, ketika melihat suaminya yang tidak berdaya menatapnya dengan lemah. "Daom!" serunya dan langsung memeluk suaminya. "Cakra bilang kamu tidak baik-baik saja, apa yang terjadi? Baru saja aku meninggalkanmu sebentar untuk buang air kecil dan lihatlah kamu sekarang. Oh, Daomku."

Dayita segera berbenah dan pergi dari sana ketika melihat interaksi keduanya.

Gusti Tedjo tersenyum hangat dan memeluk istrinya. Ia mengusap rambut Tamirah yang disanggul dengan lembut. "Aku baik-baik saja, Mimi. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Thamira menggeleng. "Kita akan ke rumah sakit setelah jamuannya selesai. Tidak ada penolakan, ini perintah dari istrimu, ratumu, Daom."

Thamira terlihat sangat khawatir dan sayang sekali kepada suaminya. Disaat dia mengetahui suaminya masih menyimpan rasa bersama masa lalunya, dia masih sangat sangat menyayangi suaminya itu. Entah itu karena janjinya kepada Sang Ibu Suri, atau memang karena dia tulus mencintai Dasarata Omkara Tedjo.

"Bolehkah kami duduk disini?" tanya Tidjil setelah mereka berdiri lama karena Ariya tidak berani menyapa putri raja yang sedang kepanasan itu.

Serra dengan acuh, tanpa menjawab iya menggeser kursinya. Menandakan bahwa dia menyambut sepupu suaminya itu.

"Maaf menganggu waktunya, Raden Ayu," ucap Tidjil dan menyuapkan kuah bakso itu ke dalam mulutnya.

"Mbak Ariya, apa yang kamu tunggu, duduk," ajak Tidjil ketika melihat Ariya masih berdiri dengan tatapan tidak enak.

Serra yang menyadari kehadiran Ariya, segera berdiri. "Aku bisa pergi, kalian makan saja."

"Oh, tidak. Tidak perlu, kami yang seharusnya pergi," sergah Tidjil dengan cepat. "Kami menganggu waktumu."

"Tidak, tidak seperti itu. Aku tidak ingin menganggu waktu makan kalian. Dan aku tidak ingin kalian ikut sial karena aku adalah istri dari orang sial yang sering kalian sebut. Namanya Archie by the way, dia seorang manusia biasa. Tidak perlu takut." Sesudah mengucapkan itu, Serra beranjak dan pergi menemui Surti yang berada di pojok ruangan menunggunya.

"Ada yang perlu saya bantu, Raden Ayu?" Serra mengangguk dan menunjuk pakaiannya. Ia ingin mengganti pakaian. "Baik,
Raden Ayu."

Serra sampai di kamarnya dan segera bergegas. Ia berdiri di depan cermin dan mengamati tubuhnya yang kemerahan akibat gesekan perhiasan dan ikatan pakaian tari yang ketat. Surti memberikannya pelembab dan mengolesinya ke setiap titik merah itu.

"Ternyata kulit Raden Ayu sensitif yah ... Saya jadi tidak enak jika harus membangunkan Raden Ayu untuk latihan nari." Surti sangat khawatir dan mengolesinya dengan hati-hati.

Serra hanya dapat tersenyum, sampai pintu kamarnya terbuka dan pelayan lainnya terlihat kesal karena tidak bisa menahan seseorang yang dengan paksa masuk ke sana.

"Aku suaminya, aku berhak menemuinya saat ini."

"Tetapi, Raden Ayu sedang berganti pakaian, Raden Mas."

"Archie?"

TBC

SERCHIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang