BAB 37

64 9 1
                                    

"Selamat bertambah umur, Gusti Tedjo," ucap Serra memeluk dan mencium hangat pipi kiri rajanya. Pria itu tersenyum dan memberkati Serra dan Archie dengan tepukan di kedua pundak mereka masing-masing.

"Terima kasih Raden Ayu," kata Gusti Tedjo. Kemudian pandangannya jatuh kepada Archie yang tersenyum lebar. "Seingatku, kamu tidak tersenyum sama sekali diruangan tadi," ucapnya heran dan menatap Archie seksama.

"Benar, Gusti. Suasana hatiku sedikit buruk tadi dan kembali meningkat ketika istriku bisa memuaskan aku—dengan tariannya, tentu saja," sambung Archie cepat-cepat.

"Ah, ya benar. Sambutan tadi, kamu memimpin grup tari dengan sangat baik, Raden Ayu. Aku tidak menyangka kamu pintar menari rupanya," tuturnya sambil tertawa.

"Terima kasih atas pujiannya, Gusti." Serra menunduk dalam untuk menghormati rajanya.

"Sekarang kita kedepan, ya. Ada pertunjukan kuda lumping dan kesenian daerah lainnya. Aku juga mempersiapkan pesta kembang api, untuk penutupnya," ucap Gusti Tedjo bersemangat. Disampingnya Thamirah Widodo terlihat khawatir dan terus menggandeng lengan suaminya—takut tiba-tiba pria itu akan terjatuh lagi.

Seperginya kedua pasangan muda itu. Gusti Tedjo menggenggam erat jemari Thamirah. "Aku baik-baik saja, Mimi. Tetap disampingku, ya."

Thamirah mengangguk dan membantu Gusti Raja Tedjo berjalan bersama arak-arakannya ke pendopo agung untuk melihat acara kesenian yang sedang berlangsung.

"Mbakyu, bagaimana? Diruangan tadi apa mereka ada menyinggung mengenai penerus tahta?" tanya Rakanansatya kepada kakaknya.

Gusti Ruumini dengan cemberut menjawab, "Anak sial itu kembali di sarankan naih tahta. Aku tidak sudi." Ia meludah dan mengambil daun sirih, mengambil pinang muda, dan mengoleskan kapur sebelum ia balut dan masukkan kedalam mulutnya. Sambil mengunyah ia juga berceloteh, "Persiapkan Matteo, jika kamu tidak ingin kerajaan ini jatuh kepada si sial itu. Maka Matteo yang harus menjadi raja selanjutnya, bagaimanapun caranya."

"Nggih, Mbakyu," kata Rakanansatya patuh. Ia juga terpaksa tunduk karena jika tidak, maka dia tidak akan bisa bertahan di lingkungan kerajaan yang memiliki hak warisan yang banyak untuknya kelak.

"Sekar, Sekar Mirah," panggil Roosita kepada anak perempuan bungsunya yang hilang dari pasangannya.

"Nduk," panggilnya lagi. Namun wanita yang selalu bersama ibunya itu tidak menghampirinya.

Di tengah acara pergelaran seni yang ditujukan kepada Sang Raja, ibu dari tiga anak itu kebingungan dan merasa aneh berada di tengah orang-orang. Padahal, disebalah kanannya berdiri perempuan yang sudah dianggap cucu—Lalitha Sanggadiatmadja yang sedari tadi membicarakan atraksi yang sedang dilakukan oleh pelaku seni di pendopo.

"Sekar Mirah!" serunya yang membuat Lalitha menoleh dan terlihat khawatir.

"Eyang? Kenapa, Eyang?" tanyanya dengan memegang bahu Roosita.

"Sekar Mirah, dimana?" tanyanya sedikit kesal dengan intonasi merajuk.

"Tante Sekar sedang mengambil kursi, Eyang. Tunggu sebentar yah," kata Lalitha menenangkan.

Roosita terlihat resah dan tidak nyaman. "Ramai sekali orang," ucapnya berbisik kepada Lalitha.

"Tentu ramai, Eyang. Malam ini acara spesial Gusti Tedjo. Semua masyarakat di pelantara istana Antawirya sedang merapat kemari, Eyang. Bukankah ini menyenangkan, Eyang?" ucap Lalitha bersemangat.

"Ya, menyenangkan, Lalitha sayang." Roosita masih kebingungan dan ketika dia melihat anaknya dia segera menyuruh Sekar Mirah untuk mendekat.

"Nduk, ibu merasa tidak enak. Jangan kemana-mana, tetap disampingku." Roosita menegaskan dan duduk dikursinya yang baru saja diletakkan oleh salah seorang pelayan yang diminta tolong oleh Sekar Mirah untuk diambilkan.

"Iya, Ibu. Aku akan disini, Ibu jangan khawatir."

Lalitha menatap Gusti Roosita dengan alis yang merapat. Pikirannya berkecamuk dengan hal-hal aneh. Namun, ia berusaha melupakannya dan mendekati Tidjil Maharaka yang sedang mengambil jagung bakar bersama Armaya Ruhaya.

"Kalian dari mana saja?" tanya Lalitha mengintimidasi.

"Makan bakso, makan sate," balas Tidjil kemudian menunjukkan jagung bakarnya. "Makan jagung bakar."

"Berduaan saja?"

"Terus mau bertiga sama kamu?" balas Ariya sinis.

"Kalian terlihat mencurigakan berdua, jangan-jangan kalian pacaran?" tembak Lalitha yang sudah curiga dari lama.

"Lalitha," ucap Tidjil yang terlihat menyeramkan dimata Lalitha saat ini. "Kamu memang perempuan yang aku hormati. Apalagi koneksimu dengan Gusti Tedjo membuatmu semakin suka seenaknya. Tapi, untuk kali ini, perkataanmu itu tidak lebih dari sebuah fitnah. Dikerajaan, fitnah itu melebihi pembunuhan. Berhati-hatilah."

Ariya tersenyum sinis memandang Lalitha. Perempuan itu meremas jemarinya dengan kuat agar tidak membalas ucapan Tidjil yang menyakiti hatinya. Ia juga memandang sinis kepada Ariya ketika mereka berlalu dihadapannya.

Lalitha memang memiliki koneksi istimewa di kerajaan. Tetapi, untuk menjadi bagian dari keluarga besar, dia sama sekali belum bisa. Sepupu-sepupu Archie juga membencinya, banyak dari mereka yang tidak suka dengan keangkuhan dan kesoktahuannya. Bahkan banyak dari mereka menyebutkan sebagai Putri Ikut Campur.

"Aku muak sekali melihat Asmara Lalitha Sanggadiatmadja yang selalu dipuja oleh Eyang itu suka seenaknya. Putri Ikut Campur itu pantas mendapat pelajaran. Terima kasih, Tidjil, mulutmu ini senjata yang bagus," tunjuk Ariya sambil tertawa dan menggandeng Tidjil.

"Kamu juga tidak jauh berbeda dengan dia, Mbak Aya. Kalian sama-sama menyebalkan."

Ariya mendecak dan melepaskan gandengan tangannya.

Ditengah keasikan memakan jagung bakar. Ariya dan Tidjil merasa terganggu dengan kehadiran Matteo Pusaka Djati yang membawa Lalitha bersamanya. Dengan senyum sinisnya Matteo menggandeng Lalitha dengan hangat.

"Mereka yang mengganggumu, Lalitha sayang?" tanya Matteo dengan penuh perhatian. Perhatian palsu.

Lalitha tidak mengangguk dan hanya ikut dalam skenario Matteo.

"Jika kalian menganggu Lalitha lagi, aku tidak segan melakukan hal yang tidak pernah kalian pikirkan." Matteo memperingatkan. "Aku adalah calon raja berikutnya, jadi, berhati-hatilah. Mbakyu, Mas Tidjil." Tatapan Matteo terlihat mengerikan dan gandengan tangannya bersama Lalitha semakin diperlihatkan. Seakan dia bisa mendapatkan semuanya mulai dari sekarang.

"Apa maksudmu, Matteo?" tanya Tidjil geram dengan menarik lengan Matteo yang akan pergi meninggalkan mereka.

"Kurang jelas, Mas Tidjil? Sebentar lagi juga kamu akan tahu."

Rahang Tidjil Maharaka mengeras, tangannya terkepal kuat dan tatapannua tidak putus dari adik tirinya yang dengan angkuh menyapa para tamu.

"Matteo akan menjadi raja?" tanya Ariya dengan heran. "Bukankah seharusnya—"

"Diam, Mbak. Semua yang akan terjadi di Antawirya nantinya, adalah karena Matteo menjadi raja."

TBC

SERCHIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang