BAB 25

90 11 0
                                    

Lalitha Sanggadiatmadja, malam itu sengaja tidak tidur karena dia ingin menyelesaikan jahitan renda yang akan ia pakai pada hari penyambutan kembalinya Sang Raja. Renda bewarna biru muda itu menjuntai dilantai dengan pait-pait yang belum siap dikait. Karena kamarnya paling dekat dengan kamar tidur milik Gusti Roosita, maka dia akan cepat mendengar apapun yang terjadi di sana.

Pada saat dentingan piring bersentuhan dengan lantai. Asmara Lalitha segera mendatangi sumber suara. Ia membuka kamar Gusti Roosita yang sudah ia anggap seperti neneknya sendiri dan mendapati orang tua itu terjatuh di lantai dengan mulut yang berbusa. Lalitha berteriak dengan kencang karena syok melihat orang terkasihnya tak berdaya di lantai.

"Tolong!!!" perempuan itu berteriak kencang seraya menopang kepala Gusti Roosita dan bertanya-tanya apa yang terjadi kepadanya.

"Tolong!!!" teriaknya lagi. "Eyang, Eyang! Eyang kenapa?! Eyang sadarlah!!!"

Sekar Mirah berlari dan matanya membulat menyaksikan kejadian di depannya. Ia segera menarik bel dan membangunkan para pelayan. Kemudian menyuruh dokter keluarga untuk segera datang. Archie ikut terkejut ketika sampai dan segera menghampiri Eyangnya yang terkulai lemah.

"Eyang kenapa, Mas Archie?! Eyang kenapa?" Lalitha terus merengek ketakutan. Anggota kerajaan lainnya juga ikut khawatir dengan kejadian itu.

Sampai Abrata Serra ikut menerobos kerumunan dan dengan impulsif mengubah posisi tangan Lalitha yang sedang menangkup kepala Gusti Roos menjadi memiringkannya. "Jangan menengadahkan kepalanya, ia bisa tersedak. Sebaiknya miringkan seperti ini sampai dokter tiba."

Serra kemudian mengambil kain dan menyeka busa yang keluar dari  mulut nenek suaminya. Napas Gusti Roosita yang memendek, membuat Serra harus berinisiatif lebih daripada anggota keluarga yang lain. Ia mengambil tabung oksigen dan mendekatkannya, lalu memasangkan selang itu kepada Gusti Roosita.

"Eyang? Eyang, apa Eyang bisa mendengarku?" Serra mencoba membuka mata Gusti Roosita. Ia juga menyenter kedua bola Gusti Roosita dengan ponselnya untuk melihat reflek pupil.

Serra menghela pelan, karena reflek pupilnya belum dilatasi. Serra melirik semua anggota keluarga yang keheranan melihatnya. Tanpa takut Serra seakan menjawab semua pertanyaan yang ada di kepala mereka. "Aku sering melakukan ini untuk kakakku, jadi berdoalah jika kalian tidak akan melakukan apapun."

Ia pun keluar dari kamar tersebut dan tepat sedetik kemudian dokter keluarga kerajaan hadir disana lengkap dengan perawatnya.

"Gusti Roosita saat ini sudah stabil. Kejadian tadi bisa terjadi karena alergi yang mungkin di derita oleh Gusti Roos. Apa dia sempat tidak sengaja makan kacang-kacangan? Kita semua tahu bahwa Gusti Roos alergi kacang," ucap dokter Muh khawatir.

Semuanya menggeleng dan saling melirik. Malam itu juga, kepala pelayan Pawon dipanggil ke istana untuk menghadap Raja Tedjo. Wanita yang umurnya sudah tidak lagi muda itu menunduk hormat kepada Sang Raja, dan penghormatannya ternyata diinisiasi oleh dua pelayan wanita lainnya yang bekerja di istana Antawirya untuk membuatnya membungkuk lebih dalam—bahkan terduduk dengan paksa.

Wanita itu meringis, karena diusianya yang semakin menua tubuhnya tidaklah sama seperti dulu. Namun, tubuh indahnya tetap terawat sampai detik ia direndahkan dihadapan Sang Raja.  Wanita itu enggan melirik ke atas. Walaupun ia tahu, kini semua mata anggota kerajaan ada disana menghakiminya.

"Sebutkan olahan apa saja yang tadi kamu hidangkan untuk makan malam kami? Apa ada kacang disana?!" Bentak Raja Tedjo dengan keras sehingga membuat beberapa anggota kerajaan tersentak. Lalitha dan Armaya misalnya. Keduanya reflek sedikit berteriak ketika mendengar amarah Raja Tedjo.

SERCHIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang