"Serra!" seru Sekar Mirah dengan resah. "Kami mencari mu kemana-mana. Ayo, latihannya akan dimulai lagi."
Serra tersenyum kecil, kemudian mengikuti Sekar Mirah. "Kamu masih berhutang kepadaku, Surti," bisik Serra mengancam Surti. Sementara wanita itu menunduk dalam dan dengan cepat mengikuti majikannya.
—
"Archie, itu istrimu," bisik Roosita kepada cucunya.
"Ah, ya, Eyang. Dia sudah kembali," jawab Archie.
Sesampainya Serra di Pendopo Agung, ia sedikit terkejut dengan kemunculan Archie dan neneknya. "Archie? Bukankah kamu seharusnya berkebun hari ini?"
Eyang menatap Archie dengan penuh perhatian, ia menunggu cucunya untuk menjawab. "Hm, ya. Aku selesai lebih awal karena ingin melihat tarianmu," balasnya dengan senyum hangat.
"Oh, no. Don't, i'm a bad dancer," jawab Serra dan segera menyuruh Archie pergi. "Kamu lebih baik cari kesibukan lain. Jangan tonton aku."
"Tetapi aku ingin, aku ingin melihat istriku menari."
"Archie," rengek Serra yang membuat pria itu tertawa.
"Oke, iya. Eyang, kita diusir." Pria itu pun mengadu kepada neneknya.
Gusti Roos segera menyahut Archie. "Hm~ kurang ajar sekali."
Serra mendecak kesal dan memutar kedua bola matanya. "Bukankah Anda seharusnya istirahat? Kesehatan Anda nomor satu, ibu suri."
"Aku sudah sehat sekarang, terima kasih karena sudah peduli kepadaku, putri raja," ucap Roosita menyebalkan.
Serra tidak peduli dan segera bergabung dengan penari lain karena Sekar Mirah sudah kesal kepadanya.
"Archie, bukankah dia kurang ajar?" ucap Roosita memandang Serra dengan jijik.
"Eyang, lemah lembut. Eyang lupa?"
Roosita mendesah dan duduk di sofa untuk mengamati tarian para penari untuk menyambut Gusti Tedjo di acaranya nanti.
"Dia jelas cepat tangkap," ucap Roosita melihat tarian Serra.
"Ya, Eyang. Dia indah sekali."
"Bagus, ketukannya tepat."
"Aku suka, Eyang."
"Aku juga," ucap Roosita tidak sadar akan ucapannya. "Oh, maksudku tariannya bagus."
"Sekar!" ia memanggil anaknya. Seketika seluruh penari berhenti karena merasa diinterupsi.
"Ya, Gusti?" jawab Sekar Mirah sopan.
"Jadikan Raden Ayu sebagai pusat perhatian. Letak dia di tengah."
—
Serra baru saja selesai mandi setelah dari latihan narinya, Surti dengan buru-buru ingin pergi dari sana. Serra tentu saja tidak akan membiarkan pelayan itu pergi begitu saja tanpa oleh-oleh yang dia punya.
"Surti," panggil Serra yang membuat langkah wanita itu terhenti. Wanita itu menyeringai, "Iya, Raden Ayu."
Serra menepuk meja di depannya dan mengarahkan Surti untuk duduk bersamanya disana. "Ayo, ceritamu belum selesai."
Dengan seringai canggung nya Surti mau tidak mau menuruti perintah majikannya. "Raden Ayu ... Tapi ... ."
"Surti, cerita. Kalau kamu menutup mulut, aku yang akan membuka mulutku kepada Gusti Tedjo."
Mata Surti membulat dan segera memohon dibawah. Ia menunduk dan meminta ampun kepada Serra, yang membuat Serra memalingkan wajahnya dan segera menarik bahu wanita itu untuk segera berdiri. "Kamu tidak perlu berlutut untukku, Surti. Bangun, duduk disini. Kita bicara."
Surti dengan perlahan duduk di kursi jati beralasan bantalan mawar merah yang terbordir dari emas. Ia dengan lemas membuka mulutnya. "Kisah antara Gusti Tedjo dan Nyai Apsarini sudah tersebar sejak kedekatan mereka dahulu, Raden Ayu. Sampai sekarang pun mereka sering memiliki waktu bersama. Hanya saja, karena Gusti Roosita juga mengetahui hal ini, kedekatan mereka menjadi renggang dan sulit untuk saling bertemu seperti tadi."
"Apa tidak ada yang melihat mereka Surti?"
Surti menggeleng, "Tempat itu, hanya diketahui oleh pelayan Nyai Apsarini."
"Kamu?"
Surti mengangguk, "Sebelum ditetapkan menjadi pelayan pribadi Raden Ayu. Saya sudah terlebih dahulu melayani Nyai Apsarini. Sejak saya kecil, saya tinggal di Pawon Ageng dan selalu ikut kemanapun Nyai Apsarini pergi. Sampai Raden Ayu tiba, dan saya diminta untuk melamar menjadi pelayan pribadi Anda."
"Nyai Apsarini yang menyarankan saya, Raden Ayu. Saya awalnya takut melamar pekerjaan ini, tetapi ketika Nyai Apsarini sampaikan kepada saya bahwa Anda adalah keturunan Raja Portugis saya langsung mengiyakan. Kapan lagi saya akan berjumpa dengan bule yang fasih sekali berbahasa Indonesia," tawa Surti lepas dan membuatnya terdiam ketika Serra memberinya tatapan tajam. "Ah, iya. Gusti Tedjo dan Nyai Apsarini tidak bisa bersama karena alasan yang saya sebutkan disana, Raden Ayu. Cinta Gusti Tedjo terhadap Nyai Apsarini jauh lebih besar, daripada cintanya kepada Gusti Tamira. Hus, seharusnya saya tidak boleh berkata seperti itu."
"Bagaimana bisa kamu dan suamimu menjadikan Nyai Apsarini tumbal?"
"Ampun, Raden Ayu. Bukan seperti itu. Saya dan suami dipanggil oleh Nyai Apsarini. Nyai menyuruh suami saya untuk mengaku, jujur Raden Ayu, suami saya dipaksa."
Serra mengerutkan alisnya. "Ini salah saya, Raden Ayu. Seandainya saya lebih disiplin dan tegas kepada Raden Ayu, mungkin ini tidak akan terjadi. Gusti Ruumini mengetahui saya adalah istri dari Prayitno dan mengancam dia, jika dia tidak patuh. Maka saya yang akan mendapatkan hukumannya, Raden Ayu. Maafkan saya, Raden Ayu, maafkan saya." Surti berlutut dan menangis meraung. "Saya minta ampun, Raden Ayu, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya hanyalah pelayan biasa, saya tidak punya kuasa. Ampuni saya, Raden Ayu, ampuni saya."
Serra membuang wajahnya. "Surti," panggilnya bergetar.
"Ampuni saya Gusti!!!" Surti memohon ampun dengan tangan yang menyatu dan tatapan penuh pengharapan ke atas. Ia berharap dosa-dosanya dapat diampuni segera dan rasa penyesalannya dapat hilang segera. Dengan raungannya Surti berkata jujur, "Suami saya mendapatkan ancaman, Raden Ayu. Gusti Ruumini mengatur semuanya. Dia memberikan bubuk kacang kepada suami saya—yang harus dimasukkan ke dalam makanan milik Gusti Roosita. Sumpah demi Gusti Allah, saya tidak berbohong, Raden Ayu. Saya tidak tahu bagaimana lagi, ini sudah terjadi. Saya mohon ampun, Raden Ayu."
"Surti ... Apa yang menimpa kamu, itu salahku. Apa yang terjadi kepadamu, itu dimulai dari aku. Aku yang seharusnya meminta maa—"
Surti menggeleng kencang dan membekap mulut Serra. "Jangan Raden Ayu, jangan sebutkan kata itu. Raden Ayu tidak pantas menyebut kata itu. Saya abdi dalem, saya yang bertanggung jawab, saya yang minta maaf."
"Surti ... " lirih Serra dengan air matanya.
"Raden Ayu tidak salah, kami yang salah, kami terlalu takut."
"Surti ... Jangan—" Serra tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. "Aku yang akan menyelesaikan semua ini. Ini dimulai dariku, dan aku yang harus menghentikannya."
Surti menggeleng, "Tidak ada yang bisa dilakukan, Raden Ayu."
"Tapi Nyai Apsarini tidak bersalah, kita harus membebaskannya."
"Sudah terlambat, Raden Ayu," lirih Surti. "Pada saat matahari akan terbenam, eksekusi dilakukan."
Serra melihat ke arah jendela dan langit mulai menggelap dengan sedikit cahaya matahari yang masih bersinar. Artinya matahari akan terbenam. Serra mundur dari kursinya dengan cepat, ia akan berlari ke panggung gantung untuk menghentikan eksekusi itu.
"Tidak, jangan, Raden Ayu! Jangan! Raden Ayu!" Surti dengan cepat memeluk majikannya dengan erat dan takkan ia biarkan Raden Ayu nya untuk pergi. Jika Serra pergi dan tetua adat melihatnya ada di dekat panggung gantung, maka selanjutnya dialah yang akan digantung disana. Karena semua orang pantas dicurigai, semua orang bisa menjadi konspirasi dan membunuh satu sama lain, apalagi disebuah kerajaan. Dimana orang yang paling dekat denganmu bisa jadi musuh dalam selimutmu.
"Lepaskan aku Surti! Aku harus menghentikannya! Ini tidak adil! Lepaskan aku! Lepaskan aku!!!"
—
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
SERCHIE
RomanceSERCHIE | © 2023, Ani Joy. All rights reserved. Ini adalah sebuah karya fiksi. Nama, karakter, insiden, dan Dialog adalah produk dari imajinasi penulis dan tidak akan dibangun sebagai nyata. Kemiripan apapun untuk peristiwa nyata atau orang-orang, h...