3.2 Rumah Ryan

4 1 0
                                    

Mereka masuk ke rumah milik orangtua Ryan sekaligus tempat tinggalnya dan adiknya. Rumahnya cenderung sederhana, di luarnya terdapat bagasi mobil dan motor, teras yang ditemani vas keramik besar dengan tumbuhan langka, tadi Lily sempat berceletuk, "Aneh. Tumbuhan langka begini kok disimpan di luar?" Namun sayangnya hanya dijawab dengan ketukan jari Ryan pada pintu yang dikunci. Di dekat pagar hitam nan tinggi terdapat pohon mangga cukup besar dan belum berbuah, tapi Lily yakin satu saat akan ada yang mencuri mangga ketika berbuah karena saking mudahnya untuk dipetik dari luar halaman.

Pintu dibuka dari dalam, menampakkan sosok perempuan hampir sepantar dengan tinggi badan Lily, itu adiknya Ryan. Lelaki itu sempat memberitahu Lily kalau adiknya pingsan malam-malam dan baru sadar ketika dia meneleponnya di basecamp. Namun, wajah adiknya tidak pucat seperti orang sakit, justru terlihat sehat, tapi bila diamati lekat-lekat, mata adiknya sedang kosong ketika mendapati dua manusia di depannya.

"Sa, lo udah sadar?" Ryan masih khawatir.

"Udah. Makanya bisa buka pintu juga," balas Lily seraya tersenyum simpul. "Hai?" sapanya kepada adik Ryan.

Adiknya yang semula melihat kakaknya itu langsung menatap Lily. "Hai," dia tersenyum sekenanya, "kenalin Kak, namaku Raisa."

"Lily ...."

Ryan langsung menggandeng lengan adiknya masuk ke dalam rumah, seolah sangat anti untuk memperkenalkan Lily lebih-lebih, seperti siapa dia, hubungannya apa dengannya, yang pasti ingin diketahui oleh Raisa.

Lily berdiri di teras rumah karena tak disuruh masuk. Tak lama, Ryan keluar dengan tampang arogannya. "Ly. Lo jaga Raisa, temenin dia, dan awas! Awas kalau adik gue pingsan lagi. Lo yang bakal gua sikat! Paham!?" Lelaki itu memerintah dengan gelora ancaman.

Lily mengangkat alis mendengar ucapan lelaki itu, tak ada bulu kuduk yang berdiri, tak ada rasa takut, yang ada hanyalah kepatuhan. "Oke. Lo mau ke mana?" tanyanya basa-basi seraya merogoh ponsel, takutnya ada pesan dari temannya yang menyuruhnya memberi kunci jawaban soal lewat pesan.

"Gua gak main-main sekarang!" seru Ryan merasa dihiraukan oleh gadis itu.

Lily menyimpan ponselnya karena tidak ada yang memberi pesan. "Oke. Gue bakal jagain dia," katanya serius.

Ryan menatap Lily lama, wajahnya mendekat ke arah telinga Lily dan berbisik, "Hidup itu bukan permainan. Nyata. Sekalinya lo main-main dengan hidup gua, lo bakal rasain bagaimana rasanya pembalasan. Tunggu gua. Dan buktikan kalau lo gak bakal macam-macam di sini, hanya menjaga."

Lily mematung, meneguk ludahnya dengan susah payah. Lagi-lagi bisikan seperti bisikan suatu syarat kemarin terulang kembali, dan kali ini nyawanya seperti dipertaruhkan. "I-iya, gue bakal jaga dia. Serius!" Lily meyakinkan.

Ryan tersenyum sinis. Sepertinya ia tahu apa kelemahan gadis itu. Ia mulai beranjak untuk pergi ke warung terdekat, berniat membeli jajanan untuk adiknya.

Seperginya Ryan, Lily menghampiri Raisa yang katanya berada di kamar lantai atas. Setelah sampai, ia mengetuk pintu setengah terbuka itu. "Raisa, gue boleh masuk?"

"Masuk aja, Kak."

Lily memasuki ruang kamar serba Hello Kitty. Mendapatkan Raisa tengah menonton TV pribadi, tatapan kosong gadis itu masih melanda walau memudar sedikit. Entah karena apa yang membuatnya seperti itu. Perlahan, Lily menghampiri Raisa yang duduk di kursi panjang bergambar Hello Kitty. Tatapan kosongnya sedang tertuju pada layar TV yang mempertontonkan film Hello Kitty sedang menusuk seseorang, eh? Ini film Hello devil! Lily tersentak.

"Lo suka film beginian?" tanya Lily hati-hati. Cukup Ryan saja yang memiliki jiwa iblis, jangan adiknya.

Raisa tertawa. "Nggak suka sama sekali. Aku cuma heran, kok ada yang coba-coba buat sekenario film anak-anak menjadi horor begini. Aku itu penggemar film Hello Kitty makanya ruangan ini serba gambarnya, dan aku gak terima kalau Hello Kitty-ku jadi pemeran psikopat di film aneh ini." Raisa cemberut seketika.

Lily hanya terkekeh. "Kamu ... betulan adiknya Ryan?"

Raisa mengangguk. "Adik tiri. Ayah kandungku dan ibu kak Ryan nikah. Waktu aku kelas satu SD. Waktu kak Ryan lulus SD. Umur kami cuma beda lima tahun. Karena pernikahan itu, kami pindah dari Bandung ke Jakarta." Tak ada kesedihan kala dia bercerita. "Dan sekarang aku udah naik kelas SMP. Aku jadi cewek famous di sana. Banyak cowok-cowok ganteng. Tapi sayang, gak boleh pacaran sama ayah."

Lily menjadi pendengar yang baik. Dan kali ini terpaksa ia balas, "Kamu masih kecil. Gak boleh pacaran."

"Iya. Tahu gak, Kak?" Raisa mulai bercerita antusias, mata kosongnya mendadak lenyap.

Raisa bercerita dimulai dari sekolahnya yang mengadakan perlombaan seluruh sekolah dan dia diikutsertakan, lalu mencibir kakak kelasnya yang berpakaian seperti lonte kesasar. Dan telinga Lily terus dimasukkan cerita-cerita Raisa yang panjang dan penuh emosi yang kuat, sesekali pula membalas "Oh, gitu? ... Gila! Gila! ... Itu boleh, sih ... Asiik! ... Wah?" dan banyak lagi.

Lily akhirnya tersadar, kakaknya dan adiknya sama saja. Sama-sama sombong, terbukti Raisa bercerita tentang prestasi dan angkuh-angkuh sendiri. Sama-sama memiliki iri, terbukti ketika Raisa tak terima ada cowok yang mengalahkan kepintaran di kelasnya. Akan tetapi, Raisa bersifat lebih lembut dan penyuka membicarakan orang lain dari belakang seperti sekarang, tidak seperti kakaknya yang memiliki hati iblis tidak punya perasaan.

"Lagi ngomongin apa, nih?" Tiba-tiba Ryan memunculkan diri bagaikan titisan hero yang dapat memindahkan diri ke suatu tempat.

Raisa paling kaget atas kedatangan Ryan yang tiba-tiba, sementara Lily sudah menyadarinya walau baru-baru. Raisa berhenti bercerita, ia langsung merebut kresek yang digenggam oleh kakaknya, membongkar isinya secara ganas.

"Lo udah mendingan, Sa?" tanya Ryan masih cemas. "Malem-malem apa yang terjadi?"

Raisa tersenyum kikuk. "Gak tau," katanya sambil melirik Lily sekilas, memberi tanda kepada kakaknya untuk paham karena kehadiran gadis asing itu, dan untungnya Ryan cepat memahami.

Lily sedikit peka oleh keadaan yang mendadak canggung seperti ini. Lily merogoh ponsel untuk melihat waktu sekarang; pukul lima sore lewat. "Ryan, gue balik dulu, ya? Masih banyak tugas," usulnya seraya berdiri dan kembali menyimpan ponsel ke dalam tas.

Ketiganya menuju pintu luar. Sebetulnya Ryan ingin menolak untuk mengikuti mereka ke gagang pintu, tapi Raisa yang mau mengantar Lily keluar plus sedang berceloteh kepada kakaknya tentang bagaimana sikap Lily kepadanya tadi. Ryan manggut-manggut saja, sedangkan Lily senyum-senyum saja ketika dipuji baik.

"Jadi ... kalian itu punya hubungan apa?" Penutupan Raisa membuat keduanya terlonjak.

Semuanya kehilangan alur percakapan ketika seorang gadis muncul di mulut pintu.

Mendadak suasana berubah sunyi.

Lily melirik ke arah Ryan, ia tak paham mengapa wajah Ryan berubah tajam seperti iblis yang nyata di saat hadirnya gadis itu. Ia melirik adik Ryan di sampingnya, mimik Raisa mengalami kekosongannya kembali.

Sejujurnya, Lily kenal siapa gadis itu. Dia penindas di sekolah, dan Lily termasuk korbannya. Dialah orang yang paling beruntung karena belum pernah masuk BK atas perlakuan liciknya. Tapi sisi lain, dia terkesan biasa saja, terdengar baik walau berlagak cantik sedunia, dia termasuk orang yang sering menyuruhnya mengerjakan tugas pelajaran. Tak heran nilai raport-nya di atas rata-rata.

Namun, apa yang dideskripsikannya tidak ada cerminan yang pas saat ini. Wajah gadis itu terus tersenyum manis, matanya terus menjelajah kepadanya, Raisa, dan Ryan. Lily pastikan sekali lagi untuk melihat siapa orang itu, barangkali dirinya salah melihat, tapi memang benar dia adalah Nura. Benar-benar Nura, teman sekolahnya.

Nura mematrikan senyuman manis yang berbeda.

Wajah anggun yang suka ditebarkan banyak orang kini tidak terpatri di sana. Mimik wajahnya sangat berbeda sekarang, apalagi ketika dia melirik dirinya dengan tatapan iba tanpa membuang senyumnya. Lily mencoba mengerti, mungkin saja dia kasihan kepadanya karena berdiri di sini, di samping sang iblis yang patut ditakuti. Namun, kenapa berasa ada kegelapan yang berhasil mendirikan bulu kuduknya.

Lily Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang