19.2 Permintaan maaf

0 0 0
                                    

Pembagian raport selesai hingga pukul sembilan siang. Semua murid mendapat jatah libur selama dua minggu. Pasti mereka akan merencanakan tempat liburan, entah bersama teman, keluarga atau saudara dekat.

Tapi naasnya seorang Lily kini termenung di kos sendirian. Pipinya masih panas oleh satu tamparan yang dilayangkan seorang pria yang kini sudah pulang ke Bandung, tanpanya. Artinya, beliau tidak sudi anak bodohnya pulang ke rumah. Maka sudah jelas, beliau meninggalkannya dengan sebelah pipi yang masih terasa panas, sebuah hadiah yang didapatkannya di depan teman sekelas.

“Ngapain kamu selama ini? Skormu lebih rendah dari semester kemarin, sekarang beda tipis dengan skor Kaze,” bisik Remi dengan tatapan intimidasi. “Saya menyekolahkan kamu ke Jakarta agar kamu belajar, bukan bersenang-senang.”

Lily hanya bagian diam, tidak bisa menyanggah. Bukan karena dirinya tidak bisa membela diri, tetapi dengan situasi banyak orang yang menunggu pembagian raport bukan hal yang pas untuh jatahnya menyingkirkan kalimat papanya.

Kini Lily mengemban malu karena ditampar papanya. Hanya perkara skor dirinya dengan Kaze yang berbeda tipis, papanya sekonyong-konyong menamparnya di depan kelas.

Kosnya dibiarkan temaram dengan lampu kedip-kedip buatannya. Lalu beralih pada robot Zukee yang kini hanya terpajang satu buah di atas jendela. Dirinya yang merebahkan di ranjang tersenyum.

“Pa, Lily memang salah sudah mengecewakan. Tapi kalo Papa tau, selama ini diri yang Lily huni gak pernah merasa main, melainkan sedang meraih mimpinya.”

Di saat dirinya melamun, suara ketukan pintu kos terdengar. Ada orang yang datang. Jelas dia bukan papa yang ia tahu sudah pulang ke Bandung.

Lily segera membuka, tidak ingin orang tersebut menunggu. Namun, dirinya justru mendapatkan seorang lelaki berjaket kulit hitam dengan celana levis.

Ryan.

“Gue mau ngomong.”

Lily sempat terkejut lelaki itu berdiri tepat di depannya. Tak dapat dipungkiri jantungnya berdetak, entahlah, dirinya memikirkan tentang perjanjian di semester awal dengan lelaki itu. Sebuah persetejuan yang mengharuskan dirinya pura-pura bodoh untuk turun dari peringkat pertama. Namun sekarang dirinya mengingkari persetujuan tersebut. 

“Gimana kalo bicara di taman depan? Kos gue berantakan,” sahut Lily sambil tersenyum simpul, tetapi tangan kiri yang menganggur harus menggaruk pinggangnya karena gugup.

Ryan tak masalah. Akhirnya setelah Lily mengganti pakaiannya sebentar agar pantas digunakan keluar, mereka berdua berjalan berdampingan menuju taman dekat kos selama delapan menit. Dan bagi Lily, delapan menit seperti delapan jam, terasa sangat lama lantaran dirinya maupun Ryan tak ada yang membuka percakapan.

Pembicaraan benar-benar dibuka ketika mereka berdua sudah duduk di kursi panjang yang muat untuk tiga orang. Namun, sekarang kursi tersebut hanya muat untuk mereka berdua karena Lily membuat jarak sebagai pertahanan diri.

“Kenapa?” tanya Lily memulai agar keheningan lama yang canggung tadi cepat sirna. Ia lihat wajah lelaki itu yang nampak damai, hal itu juga membuat dirinya berani untuk memulai pembicaraan.

Ryan diam sebentar, seperti sedang menyusun kata-kata yang tepat. “Gua udah kelewatan batas sama lo, Ly,” tetapi kalimat sederhana itu yang keluar dari mulutnya.

Lily kebingungan, ini sungguh di luar prediksinya. Ia kira, wajah damai itu hanya sebuah bentuk topeng agar kemarahannya tidak terlalu nampak.

Wajah damai lelaki itu menoleh ke samping, di mana Lily berada. “Gua seharusnya gak berlebihan kepada lo, seharusnya gua milih mukulin Kaze yang numpahin kuah ke seragam sampai puas. Bukan ngebuat lo jadi pelayan gua.”

Lily mengerutkan kening.

“M-maksudnya lebih baik gue melampiaskan kekesalan itu sama hal yang gak ada hubungannya dengan diri lo,” Ryan gelagapan. Detik kemudian suasana menghening, merasa Lily tak akan merespon, ia melanjutkan, “gue juga seharusnya gak mengintimidasi lo karena kecemburuan gue terhadap peringkat yang lo dapet.”

“Kenapa?”

Ryan menoleh penuh. “Karena gue gak berhak mengekang lo.”

Lily terdiam. Bibirnya mengatup rapat. Berusaha ia palingkan tatapannya ke arah lain supaya tidak bertubrukan dengan tatapan Ryan, rasanya ia tidak bisa melihat penyesalan yang terpancar itu. Namun, tak urung ia memberanikan diri untuk berucap.

“Gue juga minta maaf,” pandangan Lily lurus ke depan. “Malam itu. Gue lagi capek banget. Gue gak bisa berpikir jernih. Sori, udah ngusir lo waktu itu, bahkan gue udah berkata kasar sama lo.”

“Lo gak perlu minta maaf tentang itu,” sela Ryan. “Itu murni salah gue. Seharusnya gue gak sebegitunya nyuruh lo nemenin Raisa.”

Tatapan Lily menoleh kembali kepada lelaki itu yang ternyata sedang menatapnya.

Sejenak, tatapan keduanya bertemu.

“Gua sadar gua udah keterlaluan,” suara berat Ryan terdengar serak. “Dan brengseknya, gua baru sadar sekarang. Selama enam bulan ini, gua dengan entengnya ngebuat pergerakan lo sama sekali gak bebas. Lo harus melangkah dengan susah karena gua yang selalu ada di belakang. Dan makanya kelihatan sekarang, gua gak bisa maju dan pertahanin peringkat dua gua. Tapi emang pantes gua turun; Kaze yang lebih berhak nempatin peringkat itu.”

Tatapan Ryan melengos, menjadi menunduk dalam. Sambil terkekeh, ia berucap, “Gua merasa cowok paling bejat, Ly. Entah dari mana sikap iblis ini hinggap, gua seolah lepas kendali demi mencapai tujuan gua terwujud. Kalo lo duga alasan gua ngejadiin lo pelayan karena ketidaksengajaan Kaze, lo salah, Ly.  Gua manfaatin kesalahan itu agar lo ada di dekat gua, berusaha mencari kebiasaan lo si peringkat pertama itu.”

Lily terdiam mendengarnya.

Lily Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang