23.1 Awal dengan Masalah

1 0 0
                                    

Sudah jalan satu minggu semenjak insiden mamanya meninggal yang membuat Lily total tidak diperbolehkan untuk pulang. Sementara ia sudah mulai tidak peduli dengan itu. Pulang ke Bandung hanya akan membuatnya semakin sakit karena kehadiran papa yang selalu tajam dalam berbicara. Tanpa ada orang yang berani menengahi seperti peran mama seperti dulu.

Lily di kos sendiri duduk di meja belajar dengan jendela membuka. Di sampingnya terdapat segelas kopi yang tinggal ampasnya dan buku desain robot yang sedang dirinya sibuki.

Kemudian tanpa permisi, pintu kos yang sengaja tidak ia kunci membuka dari luar.

“Sudah kuduga, sedang apa kau di sini?!”

Lily berdiri dari duduknya, membalik ke arah pintu. Ia menghampiri cepat, memaksa untuk tersenyum simpul meski berat. “Papa? Kenapa ada di sini?”

“Kenapa? Kamu tidak senang?” Wajah tegasnya sangat marah. Kemudian dengan cepat ia menghampiri kotak besar yang terdapat di pojok kamar. Membukanya dan membawa sebuah Zukee yang sudah terbungkus oleh kardus kecil. “Saya paling tidak suka kamu di sini. Kamu lebih baik di Bandung.”

Jantung Lily berdegup tak karuan. Papanya seolah sudah tahu lebih awal dengan keberadaan robot Zukee di sana. Tak urung, dengan nada pelan ia berucap, “Lily mau di sini. Dan bukannya Papa gak ngebolehin Lily pulang? Papa bilang Lily anak pembawa sial, jadi sangat baik—“

Brak!

“Papa!”

Kardus besar itu dibanting ke sembarang arah hingga isi kardus primer yang berisi Zukee berjatuhan.

Lily dengan cepat membawa kardus yang berserakan itu. Benar-benar ia tidak ingin produk yang akan dikirim ke om Hans terdapat kerusakan seinci-pun.

“Ngapain kamu bikin yang kayak gini, ha?”

Lily tersulut. “Lebih baik Papa pulang. Aku benci dikekang.”

“Berani kamu bilang begitu?!”

Lily berdiri dengan dua tangan menggenggam kardus primer Zukee. Wajahnya tegas. “Aku gak mau pulang. Mau Papa larang, mau tidak, Lily gak bakal ke Bandung. Lily betah di sini. Menjadi diri sendiri.”

“Begitu, ya?” Aryo terkekeh dengan raut kesal.

Kemudian waktu serasa berhenti begitu saja ketika papanya melangkah mendekat, Lily yang hilang keseimbangan terjatuh dengan bokongnya mengenai lantai terlebih dahulu membuatnya meringis.

Dan pria pengekang itu dengan brutal membawa satu kardus dan beberapanya, melempar dan menghancurkannya dengan membagi dua kepala Zukee dengan badannya.

Secara singkat, semuanya menjadi berantakan. Lily tak bisa mendapat kekuatan untuk mencegah itu. Tubuhnya melemah, seolah tersihir oleh gerakan papanya yang brutal.

Selesai semuanya berantakan, Aryo mengembuskan napasnya kasar. Menatap anaknya yang terduduk menatap kosong lantai yang penuh robot Zukee yang berserakan.

“Saya mengizinkan kamu di sini. Tapi berhenti membuat benda sampah seperti ini,” katanya sambil melangkah hendak keluar ruangan. “Saya tak pernah setuju kamu seperti Yasim—“

“Dan aku lebih gak setuju aku menjadi orang seperti Papa. Yang mengekang anaknya seolah robot berjalan.” Lily dengan tegas membalas. Tatapan kosongnya menandak tajam kepada Aryo yang memunggunginya. “Aku benci dikekang.”

Punggung pria itu seperti hendak berbalik lagi, tetapi rupanya hanya kepalanya saja yang menoleh ke samping. “Kamu tidak tahu seinti pun tentang hidup,” katanya lalu pergi keluar.

Setelah itu, Aryo benar-benar tidak datang lagi kemari.

Lily bangkit. Mengemasi robotnya. Bibirnya bergetar tatkala melihat beberapa robotnya tidak bisa menyala. Bahkan ada kabel yang copot di bagian leher yang sedari tadi papanya tarik kencang.

Tangan Lily bergetar. Lalu mengepal. Kemudian terkekeh kesal, kekehannya persis seperti papanya terkekeh. Terdengar meredam emosi dengan cara yang salah. “Tujuh belas tahun. Gue awali dengan masalah. Gue muak.”

Lily kemudian menuju dapur. Tangannya yang sedikit bergetar memilih menyeduh kopi.

Selesai diseduh, ia teguk dengan sekali tandak.

“Ly ....”

Lily membalik. Menemukan Ryan dengan menenteng satu kresek hitam yang entah isinya apa.

Ryan sempat melihat lantai yang terdapat beberapa benda yang seharusnya tidak berserakan di sana. “Kayaknya ada hal—“

“Pergi.”

Ryan menatap balik kepada perempuan berkacamata itu yang datar. “Gue cuma mau—“

“Nyokap gue meninggal gara-gara lo!” seru Lily tajam. Telunjuk tangannya tegas ke arah pintu luar. “Pergi. Jangan sampai gue benci juga sama lo.”

Ryan terdiam. Menatap lekat sebentar lalu kemudian menyimpan satu kresek ke meja belajar yang terdapat buku terbuka penuh desain robot. “Gue pulang.”

Tak banyak bicara, lelaki itu pergi.

Lily kembali sendiri. Lagi.

Kumudian ia menutup pintu dan menguncinya. Memungut robot-robot yang tersisa dan menata benda yang tadi terjatuh pada tempatnya lagi.

Kembali, Lily duduk di meja belajar. Menatap kresek hitam besar di samping mejanya sebentar.

Melihat kresek itu membuatnya mengingat Ryan. Ia berdecak, meraih kresek itu yang akan disimpan di bawah meja. Namun, ketika matanya menangkap sedikit isinya, membuatnya membawa kresek itu ke pangkuannya.

Ia membongkar isi kresek itu. Terdapat segala macam ciki-cikian, sebotol susu cokelat dan dua kemasan bergambar kucing.

Ia membawa salah satu kemasan bergambar kucing itu. Matanya mengerjap. “Puku ....”

Segera, ia berlari keluar kosnya. Mencari keberadaan Puku di halaman kosnya yang sedari kemarin ia anggurkan. Tidak ada. Ia berjalan mengitari indekos, barangkali kucing tersebut masih berada di wilayah indekos yang luas ini.

Tidak ada.

Lily merasakan kehilangan untuk kedua kalinya. Terseret-seret ia melangkah mendekati kosnya lagi.

Meong...

Suara itu membuat Lily menandakkan kepalanya ke atas atap kosnya. Nampak, seekor kucing tengah berbaring malas di sana.

“Puku!”

Pendengaran Puku yang tajam lantas membuka matanya. Melihat ke bawah. Puku bangun dari rebahannya, dengan lincah turun dari atap dan menghampiri majikannya.

Lily berjongkok, mengusap-usap kepala Puku. Lalu mulai merobek ujung kemasan makanan kucing tersebut dan menaburnya di telapak tangan kirinya.

Puku dengan semangat mendekati telapak tangan Lily, memakan sereal tersebut dengan lahap.

Lily tersenyum. Melihat Puku bersamanya tidak membuatnya merasa sendirian.

Sementara itu, sosok Ryan rupanya belum pulang. Lelaki itu masih setia memandangi Lily yang berhasil tersenyum cerah karena Puku dari kejauhan.

“Puku itu singkatan dari nama kita berdua, Ly,” monolog Ryan. “Putri dan Kusuma.”

Lily Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang