Pulang ke Bandung adalah misi Lily yang wajib dipatuhi. Senangnya melihat adik-adiknya menyongsong dirinya dan main merebut oleh-oleh di kedua tangannya, dengan alasan; "Biar kami bantu, takut Teteh capek." Sepersekian detik dirinya berpeluk rindu bersama Mama dan Papa, oleh-oleh itu sudah ludes. Bersisakan buku belajar tapi tetap saja berebut ingin membaca.
Lily punya tiga adik. Berry dan Lerin adalah dua adiknya yang kembar dan adik bungsunya yang ramah dipanggil Ade karena memiliki nama terumit bila diucapkan. Sulit pula memberi panggilan, jadi sekeluarga berpatisipasi untuk memanggilnya ‘Ade’ karena merupakan anak paling kecil. Panggilan itu langsung menyebar ke tetangga dan sekolah adiknya.
Biasanya, satu keluarga itu akan berkumpul di meja makan kala Lily datang. Menyediakan macamnya makanan dan tak melupakan buku tulis Lily yang akan dibaca oleh papanya. Dan itu yang membuat Lily gundah sedari tadi. Ia sudah menduga suasana semarak ini akan berubah sebentar lagi.
Papanya membanting buku Lily yang baru dilihat ke meja makan. Permukaan berbahan dasar kayu yang bersentuhan dengan buku itu menghasilkan bunyi bising. Membuat segala ucapan yang tersalur saat itu terhenti. Semuanya mendadak bungkam.
"Nilai-nilai kamu mulai menurun, Ly. Di sana kamu ngapain aja? Gak belajar? Masa pelajaran yang dulu sempat Papa kasih buku khususnya, sekarang Papa masih melihat angka delapan puluhan? Terus ini ...," bicara Papa tertahan sambil membuka buku fisika kembali, "... walaupun soal ini gak dinilai, tapi Papa tahu betul jawaban kamu itu banyak yang ngaco!"
Lily menatap papanya. Bagaimana mungkin ia bercerita pasal Ryan menyuruhnya untuk mundur soal belajar.
"Di sana kamu ngapain?"
Lily sedikit menunduk lalu menjawab pelan, "Belajar ...."
"Lantas ke mana nilai sempurna yang kamu dapat semester kemarin!?" Nada Papa mulai meninggi. "Bisa tidak kamu bedakan mana waktu belajar dan mana waktu bermain!?"
Lily bersitatap, berusaha untuk memberi senyuman simpul kepada papanya. "Pa, aku gak pernah main, cuma belajar, mungkin aku lagi stres."
"Jangan cari alasan!"
"Pa, sudah ...." Istrinya memohon agar suasana mencekam ini disudahi. "Biar nanti—"
"Tidak ada nanti-nanti!" Suaminya menyambar sangar tanpa membuang muka ke arah Lily di pojokan meja. "Sekarang kamu harus pahami pelajaran itu. Papa bebaskan kamu ke Jakarta bukan untuk leha-leha tapi belajar! Mengerti?"
"Mengerti, Pa," jawab Lily mengangguk, tersenyum simpul yang terlihat memaksa. Kemudian tatapannya jatuh kepada bawah meja lagi, menatap kosong.
Arti bebas yang diartikan papanya lain dari bebas dan puas. Tapi bebas dan terkurung secara bersamaan. Lily tidak tahu apa istilahnya. Mungkin didefinisikan seperti manusia yang berada di dunia lepas, tetapi seluruh tubuhnya dikurung. Manusia itu hanya dapat melihat kebebasan itu, tapi tidak bisa ikut merasakan arti bebas sebenarnya.
Dan Papa rupanya pelaku yang membuatnya sulit mengartikan kebebasan itu.
"Papa ingatkan lagi. Kamu harus belajar sungguh-sungguh. Lupakan bakatmu seperti bakat almarhum paman Yasim. Papa gak mau dengar kalau kamu merancang barang tak jelas yang hanya buang-buang waktu. Dan pasti berakhir di tempat rongsokan." Papa menurunkan nada ganasnya, berganti menjadi datar dan santai. Pernyataannya keluar tanpa beban.
Perkataan itu berhasil menusuk Lily. Napasnya tertahan sebentar dan matanya memejam dalam, ia mencoba mencari kesabaran. Namun, nyatanya ia tidak bisa, terbukti ketika pejaman mata itu beralih menjadi menatap papanya tidak terima. "Pa, tolong, Lily aja yang terpaksa belajar gak pernah protes apalagi hina-hina, tapi kenapa Papa hina hobiku?"
Papa geleng-geleng. "Jadi selama ini kamu belajar karena terpaksa?" tanyanya balik tanpa terusik ketidakterimaan anaknya.
Raut Lily nampak tidak senang. Rahangnya mengeras tetapi kemudian kembali ditahan. "Pa, Lily udah berusaha untuk mengabulkan keinginan besar Papa. Dan keterpaksaan Lily ... gak ada hubungannya sama pertanyaan Lily," balas Lily menekan setiap kalimat yang keluar. Jemari kanannya yang berada di bawah meja naik ke permukaan, jari telunjuknya mengetuk satu kali. “Sekali lagi. Kenapa Papa hina kesenangan Lily?”
Papa lagi-lagi menggeleng kecil. Merasa lucu dengan ketidakterimaan anaknya."Papa gak mau kamu berakhir menjadi paman Yasim yang—“
"Jadi pengusaha bengkel?” Lily meneruskan.
“Jadi tukang bengkel.”
“Apapun pekerjaan Paman Yasim itu bagus. Karena itu hobinya." Lily menyahut tajam, tak suka pamannya dibawa-bawa apalagi direndahkan seperti itu. "Orang yang menuruti keinginan diri sendiri itu keren. Sedangkan mematuhi kemauan orang lain, itu yang paling hina daripada pekerjaan paman Yasim dan hobiku."
"Cukup!" Kali ini Mama bersuara ketika suaminya hendak berseru lebih tajam dari anaknya. "Lebih baik kita ngobrol yang asik-asik."
Saran mamanya turut dipatuhi oleh adik-adiknya Lily, mereka terus lempar celoteh. Namun, mau Lily dan papanya tak ada yang membuka suara, banyak ribuan emosi yang terpaksa ditutup dan tak mungkin dibuka di tengah semaraknya keluarga yang menyadari adanya awan mendung di sekitar pelangi, tetapi berusaha untuk pura-pura tidak menyadarinya.
Dan Lily jadi tak berselera melanjutkan makan siang. Rasanya tiba-tiba manis sekali tak seperti kopi yang menyejajarkan kepahitan hidupnya, tapi kopi itu tidak hadir sekarang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Lily Kacamata [END]
De TodoCover by Fisca @Choa Tentang Lily Kacamata yang selalu tegar menghadapi masalah di depannya. Namun semakin ia kuat bertahan, masalah semakin bermuculan. Mereka selalu mengganggunya. Seolah dirinya adalah manusia terkutuk yang pantas menjalankan kis...