17.2 Sesal

0 0 0
                                    

Ujian pertengahan semester dimulai dengan serius. Seluruh murid tak banyak menghasilkan pergerakan di bangkunya; hanya menulis dan berpikir. Mereka tak ingin memberi kesan buruk terhadap nilai akhir yang dapat melihat hasilnya dari peringkat yang didapat.

Sementara Lily? Sejak tadi dirinya memainkan pensilnya. Pikirannya tidak berlabuh pada kertas ulangan, melainkan sibuk memikirkan hal lain. Sementara di samping kertas ulangannya, terdapat buku berisi gambar desain robot yang belum jadi.

“Zukee kan kepalanya kecil,” gumam Lily nampak berpikir sembari menelisik desain robot buatannya. “Kalo ini kepalanya gede kayak helm astronot. Hm.. kira-kira namanya siapa, ya?”

Ujian menjadi terbengkalai. Lily sibuk melamun sembari mengetuk pelan ujung pensilnya ke meja. Hingga bu Sanja yang merupakan pengawas merasa jengah dengan siswi yang dikenal pintar dan peraih peringkat pertama justru tidak mempokusi ulangan yang sedang berlangsung.

“Lily … sedang memikirkan apa?” tanya Bu Sanja mengguliti siswi tersebut yang tertangkap basah sedang berpangku tangan.

Lily memantapkan jarinya untuk bersiap mengisi lembar jawaban. Pensil yang tadi dimainkan mulai digerakkan untuk menulis. Meski begitu wajahnya dengan sopan balas menatap bu Sanja, tatapan jengah itu seperti hendak menyumpah serapahinya.

“Gak lagi mikirin apa-apa, Bu.”

“Sudah bagian mana?”

Lily melirik lembar jawabannya yang baru menginjak nomor tujuh belas bagian satu. “OTW bagian dua, Bu ….”

Bu Sanja hanya mengangguk saja. Tidak banyak berkomentar meski mulut julidnya ingin melontarkan sebuah kata-kata menyakitkan yang biasanya diberikan kepada murid pemalas.

Karena Lily merupakan murid pintar, Bu Sanja mudah memakluminya.

***

Tidak ada pembelajaran di saat ulangan membuat jam pulang lebih cepat dari hari biasa. Lily sudah menyampirkan tasnya hendak pulang meski harus terhambat oleh teman kelas biadabnya yang tak bosan menjahilinya.

Jadilah kaki yang disengaja dibuat terkilir itu harus dibuat kuat berjalan.

“Lily!”

Kaze datang dari arah belakang. Dia juga sudah siap pulang.

Lily menengok ke belakang. “Gimana ulangan di lab komputer?” tanyanya sekaligus menyapa.

Kaze merupakan perwakilan murid yang kedapatan melaksanakan ujian dengan komputer sekolah. Ujian online yang akan dilihat oleh ahli pendidikan sebagai bentuk evaluasi tahunan. Kebetulan Kaze yang terpilih oleh sistem untuk mewakili kelas XII-IPA.

“Lancar,” jawab Kaze sambil ikut berjalan bersampingan dengan Lily. “Lo keren ….”

Lily mengangkat alisnya. Bingung apa yang harus disebut keren.

“Selamat robot lo terjual,” Kaze tersenyum tenang. “Gue ikut seneng….”

Lily membalasnya dengan senyuman simpul. “Kok lo tau?”

“Dari Menay, kemarin dia koar-koar di status ada pengusaha  yang beli robot Zukee.”

Sejak Menay dan Naufal dinyatakan resmi menjadi rekan kerjanya, sejak itulah Kaze dan Linda mengenal mereka sampai saling bertukar nomor. Sementara itu, dirinya baru memberitahu rekannya prihal robot yang terjual. Niatnya ingin sekarang atau nanti sahabatnya diberitahu. Tetapi nyatanya harus keduluan oleh Menay yang apa-apa selalu mengirim status. Linda pasti sudah tahu juga.

“Linda di mana, ya?” Lily bertanya pada Kaze di sampingnya, tiba-tiba teringat saja karena hari ini Linda tidak bersama.

“Dia pasti lagi sibuk latihan basket sama timnya. Pertandingan basket putri bakal diselenggarain nanti selesai ulangan sama sekolah Adiwarna.”

Lily mengangguk, baru tahu dengan informasi tersebut. “Pingin liat dia latihan ….”

“Jangan diliat dia, mah. Gue yakin yang ada dia malah ngobrol sama lo di lapangan.”

Lily terkekeh geli. Mengurungkan niatnya untuk ke lapangan, berniat langsung saja pulang.

Mereka berdua berjalan berbarengan menuju luar sekolah. Lily mau-mau saja ketika ditawari Kaze tumpangan sembari mengkol dulu ke perpustakaan Jakarta, karena menurutnya itu tidak ada salahnya.

Tetapi dilihat Kaze yang bersikap kalem seperti biasa membuatnya kembali mengingat pada malam itu ketika Kaze menyatakan perasaannya. Ada pikiran yang masuk pada kepalanya bahwa kebaikan Kaze selama ini merupakan intuisi orang jatuh cinta. Merupakan sebuah tindakan reflek laki-laki untuk berbuat lebih baik untuk perempuan yang disukanya.

Bila Kaze tidak menyukainya, mungkin lelaki itu tidak akan pernah memberi tawaran pulang bersama dengannya.

Lily menggeleng pelan, tak mau ambil pusing, tak mau terlalu percaya diri dengan dugaan yang muncul.

Ia dan Kaze berjalan menuju parkiran sekolah yang terletak sebelum gerbang berada. Lily diminta Kaze untuk berdiri di dekat gerbang sementara Kaze akan membawa motornya di parkiran.

Sementara itu matanya menangkap sosok Ryan di parkiran.

Kejadian dirinya yang mengusir Ryan minggu lalu terlintas kembali.

Lily mengatupkan bibirnya.

Lo jahat sama orang yang udah buat lo berani kejar mimpi, Ly. Lo harus minta maaf.

Lily mengangguk, menyetujui kata hatinya. Ia melangkah hendak mendekat, tetapi hanya dua langkah yang ia dapat hasilkan. Kedua kaki itu justru mematung di tempat.

Ryan rupanya tidak sendiri, dia berada di parkiran bersama seorang perempuan.

Tunggu. Ryan? Dengan Nura?

Lily melihat sekali lagi. Seorang Ryan tengah menyalakan motornya dengan Nura yang duduk manis sambil memeluknya dari belakang. Lily mengerjapkan matanya sekali, seolah tidak yakin dengan penglihatannya. Tetapi semakin dirinya memastikan, pandangan itu semakin jelas.

Pemandangan itu membuatnya urung untuk menghampiri. Hatinya seolah tidak siap.

Lily sebenarnya tak peduli. Diyakinkan ketidakpedulian itu dengan tidak menatap kepergian mereka dari parkiran. Memilih sibuk dengan ponselnya ketika motor itu melewatinya saat berjalan menuju gerbang yang tiga meter lagi akan sampai.

Ini bukan masalah mencoba tidak peduli. Hanya saja Lily jadi mempertanyakan mengapa kemarin-kemarin lelaki itu sangat dekat dengannya bahkan Lily yang menghindar pun seperti dikejar. Lelaki itu pernah jahat dan baik padanya, tetapi sikapnya yang gentleman terhadap para orang yang menindasnya membuat Lily mempertanyakan lagi sekarang.

Kenapa?

Apa karena dirinya pelayan sehingga dirinya pantas dilindungi. Tetapi apa itu tidak berlebihan? Lily merasa Ryan memiliki maksud lain untuk menolongnya.

“Gak jelas lo, Ly,” ia bermonolog pelan. Pikirannya tentang Ryan menjadi kusut.

Namun, melihat Ryan bersama Nura cukup membuatnya kembali mengingat sosok lelaki itu kala bersamanya. Membuat hatinya mencelos karena sekarang merasa dipukul kenyataan bahwa Ryan tidak akan pernah lagi bersamanya seperti dulu, mengingat usiran tegas yang dibuat Lily sendiri.

"... kedepannya, lo gak berhak ikut campur urusan gue lagi. Termasuk pelajaran. Gua bener-bener muak dikekang."

Lily menunduk.

Harusnya ia senang, harusnya ia merasa bebas.

Ia kembali meluruskan pandangannya, memilih untuk melupakan perasaan aneh yang tiba-tiba hinggap.

Namun, perasaan menyesal dalam hatinya masih merebak.

Lily Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang