16.1 Tatapan itu

3 1 0
                                    


Tiap koridor penuh oleh ribuan siswa, silih keluar kelas dan silih merebutkan jalan koridor utama, satu-satunya jalan agar bisa menuju kantin. Semua serempak berjalan sesuai arus menuju lokasi yang sama. Istirahat pertama adalah waktunya kantin ramai dan berisik. Bila koridor utama telah sumpek seperti ini, lorong sempit adalah jalan terbaik. Akan tetapi lorong tersebut hanya bisa dilampaui orang-orang berani.

"Lo serius?" tanya Lily sangsi.

Sewaktu mereka berniat ke kantin yang mengharuskan berjalan berdempetan bersama murid lainnya, Linda dengan tidak sabarannya lantas menarik lengan Lily. Memotong jalan. Berbelok ke arah yang menyimpang dari jalur yang seharusnya. Melewati sekumpulan kelas sebelas yang sepi, kemudian sampai pada lorong sempit yang nantinya akan sampai ke kantin dengan cepat.

"Serius. Gue gak mau harus sikut-sikutan, bikin capek aja."

Koridor penuh bukan kejadian yang langka. Mengingat seluruh kelas memiliki jam istirahat yang sama. Tragedi Linda yang sekuat tenaga berdesak-desakan, menyikut, mendorong, menendang, berkata kasar kepada orang lain demi sampai kantin pernah Lily lihat ketika sedang bersama perempuan itu.

"Maksudnya, lo udah tau kan konsekuensinya?" tanya Lily sembari menarik seragam belakang perempuan itu agar jangan masuk lorong dulu.

"Ngga tau," sahut Linda enteng, ia mengedikkan bahu, "..., makanya mau nyoba lewat sini, siapa tau dapat konsekuensinya. Itu kan sebagian dari pengalaman."

Lily geleng-geleng kepala. Tidak mengerti dengan jalan pikiran Linda.

"Dah, ayok!"

Linda menarik Lily untuk mengikuti dirinya. Perempuan berkacamata itu tidak menolak. Mereka berdua memasuki lorong itu.

Setelah berjalan sekitar tiga meter, kegelapan mulai terasakan oleh mereka. Lily spontan menelan ludahnya sembari membenarkan kacamatanya yang merosot.

"Gelap juga ternyata," sahut Linda. Namun, pendengarannya masih menangkap suara berisik murid-murid di koridor. "Untung nggak sepi ya, Ly."

Lily menghela napasnya. "Lo gak bakal ke sini kalau tadi Kaze ikut ke kantin."

Memang benar, Kaze tidak akan pernah mengizinkannya masuk lorong gelap ini. Pasalnya lorong ini dikenal oleh laki-laki binal. Lorong sebagai jalan terbaik ketika ingin melarikan diri dari sekolah. Perkataan Lily tadi seolah-olah memberitahu pada Linda kalau dirinya yang sukarela menuruti kemauan Linda adalah hal yang patut disyukuri.

Linda tidak balas berbicara. Pemandangan di depannya lebih dulu mengusiknya. Netranya memancar kebahagiaan ketika lorong gelap itu sudah ditemukan cahaya. Semakin mendekati cahaya itu, mereka berdua dapat melihat langit biru pada siang itu. Bila lorong usai mereka lewati, lokasi kantin tidak jauh lagi ditempuh mereka berdua.

"Udah sampai, kah?" tanya Lily begitu Linda berhenti.

Lily yang sejak tadi menunduk, lantas menandak. Nyatanya lorong ini mempertemukan mereka dengan halaman luar sekolah. Terdapat sinar matahari masuk, menyinari mereka yang terdiam. Mereka telah mendekati cahaya, tetapi nyatanya lorong yang berada di lantai dua ini tidak memiliki tangga untuk bisa menuju kantin yang berada di lantai dasar.

Suasana kantin di bawah langsung terlihat dari atas lorong sempit itu. Harus dipercaya, ini merupakan jalan tersingkat yang pernah Lily rasakan selama tiga tahun sekolah di sini. Namun, nyatanya lorong tempat mereka berdiri adalah jalur buntu, terdapat pagar setingginya yang menutup lorong itu. Memang sudah seharusnya begitu, untuk menghindari manusia terjun bebas dari atas lorong ini menuju lantai dasar.

"Ternyata belum, Ly."

"Oke," Lily manggut-manggut, "..., jadi harus naik pagar, nih?"

"Iya, lah! Lorong ini adalah satu-satunya jalan pintas buat sampai ke kantin lebih cepet. Gue pokoknya gak mau kehabisan siomay mang Ojang!" cerocos Linda semangat. Mulai menaiki pagar yang hanya setinggi dagunya.

Lily Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang