6.3 Bangunan tua

1 1 0
                                    

Bangunan tanpa warna itu berdiri kukuh bertemankan fasilitas urut untuk bersantai; ada sofa butut, TV berdebu yang pasti tidak berfungsi, bahkan tempat tidur pun ada di sana. Biasanya cowok nakal atau cewek tomboi pun pernah mengambil niat buruk, yakni bolos sekolah. Yang berhasil lolos dari mata predator OSIS, mereka akan santai-santai di bangunan itu yang berdampingan dengan dinding sekolah. Triknya, tinggal memanjat dari dinding sekolah, bila berhasil akan masuk ke bangunan tak terpakai ini, seperti sebuah portal yang memperbandingkan tempat indah peraturan dengan tempat penuh kebebasan. Tak diduga-duga, bangunan itu dirajai oleh Ryan di saat menduduki dari kelas satu SMA sampai sekarang.

Mata Lily memicing. Mencari-cari batang hidung manusia yang menyuruhnya kemari. Ketemu. "Ryan!"

Ryan mendongak. Walau jauh dari penglihatan Lily, lelaki itu terlihat balas menatapnya tajam dengan memberi senyum miring, sebuah sapaan balasan yang menyebalkan atas kedatangannya.

Hanya waktu sebentar Ryan menyadari seragam putih Lily hampir dipenuhi noda cokelat tanah. Lelaki itu spontan bergidik. "Lo main tanah?"

"Ini bukan tanah tapi kopi," tutur Lily membetulkan. Kopi pemberian Nura.

Ryan sempat mengerutkan keningnya, tetapi begitu ia dapat mencium bau kopi yang khas membuatnya  melepas jaketnya dan melemparkannya ke wajah Lily. "Tuh, pake jaketnya. Bikin sakit mata aja ...."

Lily mengangguk. Walau merasa terhina, ia justru berterima kasih kepada lelaki itu karena jaket peminjaman ini berhasil menyelimuti seragam basahnya plus membuang hawa dingin. "Buat apa gue disuruh ke sini? Pijit kaki?" tanyanya seraya menyimpan ransel di tanah.

"Pijit kaki? Memang gua kakek-kakek yang harus dipijit setiap saat?" Nadanya meninggi, tak terima.

Lah? Memang benar, kan? pikir Lily sambil tersenyum simpul. Bahkan ia sempat menduga ada yang salah pada kaki Ryan karena selalu menyuruhnya pijit kaki. Hanya pijit kaki. Sampai-sampai telapak tangannya ada bau kaus kaki khas Ryan yang minta digaplok, lebih bau dari bau kentutnya. "Jadi ...? Gue ke sini buat apa?"

Pipi Ryan memerah, sesekali melirik teman-temannya di ujung bangunan yang sedang main gadget, Rubay juga berada di sana dengan wajah babak belur karena dirinya. Sementara ia yang duduk di sofa hanya ditemani Lily yang menatapnya, menunggu perintah. Awal-awal dia berdeham malu. "Lo jangan ketawa, ya? Kalau ketawa gua bunuh!"

Lily mengangguk setuju.

Ryan mangap-mangap tanpa suara yang membuat siapa saja jengkel melihatnya. Terlihat tak cocok dengan sikap gagahnya, dia seperti singa yang mendadak menjadi kucing, atau ular yang dikutuk jadi cacing. Dan untungnya cukup sampai di detik ke sepuluh. "Ajarin gua tentang rumus fisika."

Lily mengangkat alis. "Lho? Bukannya—"

"Gua udah bilang jangan ketawa!" bentak Ryan emosi.

"Siapa yang ketawa?" Lily mengernyit heran.

Pipi Ryan memanas. Malu semakin bertambah. "O-oke," dia menyimpan buku paket fisika serta buku tulis ke meja, "ajarin gue ...."

Samar, Lily tersenyum. "Tumben-tumbenan lo gak paham pelajaran fisika."

"Gua gak bego! Cuma gak paham! Awal-awal gua juga najis minta ajarin ke lo, tapi mau gimana lagi ...." Ryan berdecih, kehabisan kata-kata.

"Oke, oke," Lily membuka lembaran buku paket fisika yang asing baginya, "ngomong-ngomong, buku setebal ini beli di toko mana?"

"Gak tau. Pemberian ayah tiri gua dari Belanda."

Lily mangut-mangut. Tak lama ia mulai mengajari Ryan secara perlahan-lahan. Seperti anak SD pemalu, Ryan mengangguk-angguk kecil ketika Lily menerangkan. Kadang-kadang juga ia menukas dengki, "Ternyata pinter juga lo." Atau kadang-kadang berdecih menganggap penjelasan Lily sangat bertele-tele. Dan sempat-sempatnya di akhir penjelasan Lily, Ryan meremehi, "Gua juga bisa kali ...." Perkataan yang dapat menjerumuskan seseorang ke lobang rasa malu karena remehan itu terdengar basi.

Lily Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang