10.2 Mama

2 1 0
                                    

Bila dunia memiliki mulut, mungkin bukan suara omelan yang keluar tetapi ringisan dengan wajah menaruh kasihan untuk menyamakan rasa sakit Lily yang membaringkan tubuh di kasur setelah lamanya duduk di kursi mobil milik Ryan. Lelaki itu tidak hanya membawanya ke toko kacamata, tetapi lelaki itu sempat melipir ke suatu tempat lainnya tanpa mengajak Lily. Menjadikan dirinya harus berlama-lama bosan duduk di mobil.

Tidur manis Lily terampas karena suara dering telepon keras samping bantalnya. Masih berbaring dan setengah malas ia mengangkat tanpa membaca nama kontak yang meneleponnya. "Halo?"

"Lily, kamu baik-baik saja di sana?"

Mata Lily membulat kaget, saking kagetnya ia duduk dari berbaring. Suara itu, suara yang sangat Lily rindukan. "Mama sehat?"

Terdengar mamanya terisak, isakkan pelan yang tertekan. "Kenapa tidak pernah bilang kamu diganggu satu sekolah? Mama bener-bener gak rela!" suaranya berubah histeris, "kamu pindah sekolah ke Bandung, ya? Mama takut kamu kenapa-kenapa."

Lily tertawa yang terdengar ceria. "Diganggu gimana sih, Ma?"

Sunyi sebentar di ujung sana seperti sedang memberi sahutan ‘garing’ untuk Lily yang tertawa tak tahu suasana.

"Mama dapat laporan dari sekolah kalau kamu di-bully satu sekolah. Maafin Mama ... kalau saja papamu tidak ngotot menyekolahkan kamu ke Jakarta, kamu tidak akan ...." Terdengar Mama menangis, kali ini sampai terisak seperti sedang melapangkan dada yang sesak. Orang tua mana yang akan diam dan berkata ‘oh’ saja ketika mendapat kabar tentang anaknya yang di-bully, bahkan serba salah antara mengunjungi anaknya atau mematuhi apa kata suaminya untuk tidak berkomunikasi selama satu tahun dengan anaknya. Ia menelepon Lily sekarang pun perlu waspada ekstra agar tidak ketahuan.

"Ma ... sudah ...," Lily tersenyum nanar, "aku gapapa. Ngomong-ngomong Papa tahu soal ini?"

Mama menyurutkan tangisannya, suara Lily yang normal tanpa menangis seolah menenangkannya. "Belum, nanti kalau papa pulang kerja Mama langsung kasih tahu. Besok Mama sama papa menjemputmu pulang, sembari menyiapkan surat keluar sekolah."

"Ma ... sudah ... gak usah diperpanjang. Cuma dipukul cemen doang. Nanti kalau keluar aku malu diketawain dan dikatain lemah. Oh iya, jangan kasih tau papa, nanti kalau papa gak terima gimana? Aku nggak mau masalah jadi panjang, udah cukup Linda sama Kaze yang jadi pahlawan aku selama sekolah di Jakarta. Bukan cuma mereka, ada Ryan sama Rubay juga. Dan Mama harus tau mereka kuat banget, mereka orangnya bertanggungjawab. Pokoknya waw deh." Lily sengaja membeberkan teman-temannya yang menurutnya perlu diceritakan untuk memantapkan mamanya agar tutup mulut dalam masalah ini kepada papanya, meski terdengar dilebih-lebihkan. “Dan Lily gak butuh pindah sekolah. Lagian sayang banget, satu tahun lagi mau lulus.”

Lebih tepatnya, Lily tidak mau pindah. Ia cukup nyaman tinggal di sini, sendiri.

"Kalau begitu, kenapa mereka tidak menjaga kamu sampai terluka parah seperti di foto?"

Ternyata sekolah memberi kabar buruk kepada mamanya bersamaan dengan foto keadaan dirinya yang malang. Lily mengatupkan bibirnya kesal. "Kaze sama Linda lagi sibuk. Tapi kalau nggak sibuk mereka jagain aku, kok. Itu alasannya mereka berdua rela sekolah ke Jakarta bereng aku, walau gak satu perkosan sih, tapi kalau di sekolah kita suka bareng-bareng, kok."

Terdengar grasak-grusuk di sana dan suara mamanya berubah ngos-ngosan. "Jangan sekolah dulu, ya. Tunggu sampai badanmu agak mendingan. Sudah dulu, Papa sudah pulang."

Telepon dimatikan. Namun, tangan Lily yang menggenggam ponsel tak kunjung dijauhkan dari kuping. Seolah ada magnet dari keduanya yang memiliki elemen saling mengunci. Matanya mengosong dan tak lama mengalirlah air yang menyakiti luka di pipinya tapi aliran itu tak terganggu, terus bergulir tanpa ditahan. Entah untuk apa Lily menangis. Entah apa penyebabnya. Mentalnya seperti menguap, tersisa hanyalah rasa letihnya.

Untungnya, Lily berniat bangkit dari tempat tidur, menuju kulkas dan menemukan segelas kopi di sana. Tangisan bisunya sudah tergantikan dengan santapan lezat yang mungkin dapat menurunkan lelah hidupnya.

***

Wanita itu menutup pintu kamarnya kala anak-anaknya sudah tertidur pulas. Malam itu dia berkeinginan bercakap-cakap dengan suaminya di kamar soal Lily, anak pertamanya yang seperti ditelantarkan di Jakarta.

Wanita itu mendapati suaminya sedang duduk membelakanginya di meja. Pria itu sedang sibuk membaca buku dengan kacamata yang setia menempel. "Aryo? Kirain sudah tidur ...."

Mendengar suara istrinya, Aryo menoleh. "Belum. Kamu tidur duluan, saya masih banyak kerjaan," katanya lalu kembali kepada buku dengan tatapan mengoreksi, "sepertinya besok saya tidak akan pulang ke rumah. Banyak kolega yang ingin bertemu, ditambah pasti saya bakal lembur. Tidak apa-apa, kan?"

Mata istrinya kontras berbinar cerah seakan mendapat sesuatu dalam rencananya. Awal akan memberitahu tentang kondisi anaknya ia urungkan. Entah kenapa sangat tidak pas suaminya mendengar informasi yang jelas-jelas akan memperletih pikiran beliau. Mungkin besok atau entah kapan ia akan memberitahu.

"Ista, saya tanya kamu, tidak apa-apa kan besok saya tidak dulu pulang ke rumah sampai kerjaan tuntas?" Rupanya Aryo mengulangi pertanyaannya penuh penekanan seperti memerintah istrinya untuk menjawab.

Ista segera menguasai kekagetannya. "Ya, nggak apa-apa. Yang penting jaga pola makan kamu di sana, aku gak mau lihat kamu sakit karena kecapekan."

***

Wanita itu mengusap pipi anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. Dari yang terbesar hingga terkecil lalu tersenyum sembari memeluk ketiga anaknya. Pelukan yang jarang diberikan untuk Lily karena jarak yang memisahkan. Tapi Ista tetap yakin, setiap doa yang selalu dilantunkan untuk anak pertamanya sudah sama seperti pelukan.

Menyadari anak pertamanya sedang tak baik keadaannya, Ista bertekad ke Jakarta sendiri sekarang yang menjadi waktu pas sebab suaminya akan pulang keesokkan hari karena memiliki banyaknya tugas yang perlu dikerjakan sesuai dikatakan kemarin malam. Rupanya Tuhan memberinya kesempatan untuk menjumpai Lily yang sangat ia rindukan.

Selepas memberi amanat kepada anak-anaknya dan memberi pesan kepada pelayan rumah untuk menjaga ketiga anaknya, Ista bergegas pergi dan menutup pintu. Wanita itu mendadak waswas sebab baru pertama kali melanggar perintah suaminya yang melarang tegas mengunjungi dan menelepon Lily selama setahun sebagai hukuman anaknya berani pura-pura sakit di sekolah. Akan bagaimana perlakuan suaminya bila mengetahui dirinya pergi ke Jakarta menemui Lily saat ini.

**

Lily Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang