14.1 Kelinci

2 1 0
                                    

Lily menutup telinganya pura-pura tak mendengar suara pintu kosnya yang digedor bagaikan gorila hendak menagih hutang. Seram sekali. Maka dari itu ia berpura-pura menulikan diri seolah tidak ada seseorang di dalam, memberi kabar bagi orang yang ingin bertamu untuk pergi dari kosnya sesegera mungkin.

Jam bahkan sudah menunjukkan pukul tujuh lebih, matahari sudah menampakkan sinarnya, tetapi dirinya belum bisa pergi ke sekolah karena orang di luar yang menunggunya, atau mungkin lebih ke mendesaknya membuka pintu. Lily semakin berkeringat dingin ulah orang itu.

Tak mungkin dirinya memberikan celah kedekatan antar mereka terjalin. Lily masih takut oleh ancaman yang diberikan Nura dan pengintai, selebihnya pengintai yang diduganya adalah 'Nura' sangat kejam dalam mengancam.

"Gua tahu lo di dalam! Buka pintunya!!!" Seruan lelaki di luar tak henti-hentinya membuat gaduh. Bahkan orang yang melintasi halaman kos Lily merasa jengah atas perilaku ganas itu. Pagi-pagi sudah membuat keributan.

"Buka pintunya atau muka Kaze bonyok nanti!" Kepala lelaki itu mulai berdenyut nyeri karena terlalu lama berteriak. Sialnya, gadis berkacamata itu pun tak juga membuka pintu. "Gue hitung sampai tiga," nadanya berubah dingin.

"Satu ...."

"Dua ...!" Suaranya meninggi penuh penekanan tatkala pintu belum membuka.

"TIGA!!!" Ryan berteriak keras dengan mata melototnya.

Angin berembus bersama daun kering yang melambai ke arah Ryan di depan pintu yang tetap menutup. Lambaian dari mereka seolah mengejek dirinya.

Ryan kali ini benar-benar mengamuk. Mata emosinya lama-lama akan mengubah diri menjadi semburat api panas yang siap membakar kos milik gadis itu. "BUKA PINTUNYA!!! ATAU GUA DOBRAK INI PINTU!!!"

Lily menghela napasnya berat. Tak ada pilihan, dirinya pasrah membuka pintu. Ia berjanji untuk berjalan santai berniat pergi sekolah setelah bertanya ada apa gerangan lelaki itu kemari. Sangat-sangat tidak mengenakkan bagi para anak kos lain yang mendengar teriakkan jantan Ryan, memang iblis.

Pintu membuka. Lily menyapa dengan tersenyum simpul. "Ada apa, ya? Maaf nih kalau nunggu, tadi gua lagi dengarin lagu pakai earphone ...."

Ryan membuang napasnya kasar, tatapannya tertuju pada Lily yang sibuk mengunci pintu kos. "Dasar tuli!" geramnya mengepalkan kedua lengan sampai gemetar, dirinya tengah menaruh sabar yang ekstra.

Lily tak menanggapi geraman itu. Lily tersenyum dan balik menanyakan hal penting. "Lo mau apa ke sini?"

Ryan menarik lengan Lily, membawanya menuju mobil yang terparkir di luar pagar kos. "Gua butuh bantuan!" katanya dengan nada tinggi dan napas yang bergerumuh tak sabaran. Setelah Ryan berhasil menyalakan mobil dengan membawa Lily, lelaki itu kembali memberikan informasi kepada Lily yang bermimik kebingungan itu. "Raisa mau ketemu lo."

Dengan kalimat singkat tersebut, kebingungan Lily sudah jelas tertuju cepat. "Sekarang? Gua kan sekolah, lo pun sama. Ini sebentar lagi kita terlambat, lho."

"Kita?" Ryan mengangkat alisnya dengan seringai licik. "Lo harus temani adik gue."

Seringai Ryan yang penuh kecurangan membuat Lily menelan ludahnya berat. Tak masuk akal bila dirinya merelakan tidak masuk sekolah hanya karena adik seorang iblis.

"Lo jangan ...," elakkan Lily berhenti tatkala Ryan menatapnya tajam. Bukan takut ditatap seperti itu. Hanya saja, Lily mendadak lelah untuk berdebat. "Oke. Tapi tolong kirim surat izin ke kelas gue."

"Ogah ...." Tanpa beban lelaki itu mengeluarkan kata ketus.

Lily menggigit bibirnya, mulai gelisah. Papanya akan mengetahui dirinya tidak masuk sekolah tanpa keterangan yang jelas. Lily juga akan tertinggal ulangan harian yang dicetus guru akan dilaksanakan hari ini. "Ryan, kalau gue nggak—"

Lily Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang