5.2 Dihukum

4 1 0
                                    

Mereka bertiga membersihkan lantai toilet guru menggunakan sikat tanpa gagang membuat mereka harus berjongkok dan menunduk penuh pada lantai tersebut, sementara Pak Joy terus berceloteh di mulut pintu. "Bapak kaget, sikap kalian seperti anak tak mematuhi peraturan sekolah. Bukan cuma hukuman, nilai kalian pasti dikurangi, kecuali kamu," dia menatap Lily, "karena kamu berpura-pura sakit itu disuruh Ryan ...."

Leher Ryan terasa tercekik mendengarnya. Sungguh tak terima tapi mana mungkin ia menyanggah, yang ada dirinya kalah berdebat dan malu sendiri. Sambil berjongkok dan menyikat lantai, ia menatap tajam kepada gadis berwajah masa bodoh yang berjongkok di hadapannya. Hampir saja kesabarannya akan habis di saat gadis itu balik menatapnya dan sedikit tersenyum simpul. Tersirat senyuman penuh kemenangan.

Lily sedikit menantangnya akhir-akhir ini, seperti sekarang; menjebaknya tanpa persiapan.

Mata Pak Joy tertuju pada sebuah jam tangan di pergelangannya. "Kalian bersihkan hingga rapi toilet guru ini. Masih syukur Bapak tidak menyuruh kalian membersihkan toilet murid yang baunya minta digaplok," dia tersenyum karena wajah mereka berubah masam, terkecuali Lily, "Bapak ingin ke kantor guru sebentar, bila ada kekacauan di sini, jangan harap kalian berpikir akan mendapat nilai PJOK dari Bapak, paham?"

"Paham ...."

Seperginya Pak Joy, Ryan melempar sikat di tangannya dan berdiri dari jongkoknya. "Demi nilai, gue sabar," lirihnya mengatur napas. "Tapi kesabaran gua udah habis untuk lo!" Ryan berseru kepada Lily.

Lily mendongak santai. "Lebih baik kita cepet-cepet bersihin ini toilet, keburu Pak Joy suruh kita macam-macam lagi karena kelamaan," sarannya dan kembali menyikat lantai, tapi sikat yang digenggam Lily ditendang sampai terlepas oleh lelaki itu.

Rubay meringis kecil melihat Ryan sudah mengamuk di waktu yang tidak tepat.

"BERDIRI!"

Lily bangkit dari jongkoknya, matanya kali ini menyorot kesal ke arah Ryan. Ia tak paham, mengapa sangat susah untuk bersabar menghadapi lelaki berjiwa iblis itu, ribuan kali ia bersabar menghadapi teman-temannya yang suka menindasnya tapi kenapa kali ini gagal bila dengan lelaki itu. "Bisa gak sih jangan ganggu gue sekarang?"

"Lo yang ngusik gue! Dan gue pastiin lo gak bisa tenang dalam hidup!"

Ryan tambah menajamkan matanya. Mereka saling berpandangan seperti hendak menyambar satu sama lain.

"Memang lo siapa, sok ngatur! Iblis kayak lo seharusnya udah mati dibacok malaikat maut!" Lily mengeraskan suaranya. Emosinya yang telah lama memendam banyak masalah, kini keluar di depan lelaki itu.

Napas Ryan mulai terembus cepat. Dadanya naik turun tak tertahankan. Kalau di depannya adalah laki-laki, sudah memungkinkan Lily babak belur di tangannya. "Lo gak takut ngomong kayak gitu ke gua? Makin lama gua bacok lo duluan, mau?"

Mendengarnya, Lily merasa diremehkan. "Gue orangnya penyabar, lho. Gak pernah anggap para pem-bully, selalu mengalah agar waktu mahal gue gak terbuang sia-sia. Kayak gini! Hal yang paling gue benci!" Lily tersenyum kesal, "Tapi kenapa ya kesabaran gue habis karena lo? Mungkin beda kali, ya? Karena yang gue hadapin sekarang adalah cowok bersikap seperti cewek centil yang gak mau kalah."

Ryan melangkah maju dan dengan tangguh pula Lily maju sambil mendongak karena wajah Ryan yang lebih tinggi. Mereka menghiraukan kedekatan itu. Tak ada rasa canggung, yang ada hanyalah segala emosi yang menggebu-gebu.

"Bahkan lo berani ledek gua?"

"Kenapa? Memang itu kenyataannya! Masalah kecil aja dibesar-besarin."

"Suka-suka gua! Kemauan gua!"

"Tuh, kan? Bener! Berarti lo kayak cewek alay di luaran sana. Dasar bencong!"

"Sekali lagi-"

"Sekali lagi lo bilang gitu, gue bakal membuat lo sengsara," cibir Lily sambil memonyongkan bibir, menirukan ancaman Ryan. Tak mungkin Ryan mengancamnya lebih dari itu, ancaman banci dan basi. "Itu-itu aja? Gak ada ancaman lain?"

Hening. Ryan kehabisan kata-kata untuk melawan. "Lebih baik lo minta maaf daripada urusan semakin panjang," katanya dingin.

Sadar, Lily memijit pelipisnya sambil menutup mata. Menyalahkan diri sendiri karena sudah terlewat batas. Ia melangkah sedikit mundur, memberi arti pula bahwa dirinya mengalah.

Sedetik kemudian, ada seseorang mendorong punggung Ryan dari belakang yang membuat tubuhnya hilang keseimbangan dan menubruk tubuh mungil Lily, mustahil untuk menguasai keseimbangan karena lantainya masih berbuih busa. Lily terpleset ke belakang dan mereka spontan jatuh bersama. Sebelum itu, Ryan secara reflek melindungi kepala belakang Lily dari lantai keras dengan satu telapak tangannya. Namun, dapat merasakan bagaimana sakitnya punggung Lily menghantam permukaan lantai, belum lagi Ryan yang menindihnya dari atas.

Di posisi itu, mereka saling bertemu pandang. Tatapan jengah Lily berubah samar, matanya membeku di satu titik, memasuki jauh ke dalam tatapan lelaki itu. Lensa mata segelap malam itu membuat pola bundaran, terlihat seperti kubangan danau tinta hitam nun kelam. Lily menahan napasnya, seolah dirinya tenggelam di danau sana. Namun oksigen yang tersimpan di dadanya seakan bertambah, membuatnya tidak pengap sama sekali. Melainkan membuatnya tenang berada di sana lebih lama.

Ryan yang tadi menatapnya tajam, kali ini berganti menjadi tatapan terpaku memandangi wajah perempuan berkacamata itu di jarak yang sangat dekat. Di balik kacamata yang hampir merosot itu, kedua mata bulat sedang membalas tatapannya. Ryan menemukan sebuah pendaran cahaya yang meredup. Lewat kedua mata itu, Ryan dapat merasakan kesejukan yang hadir. Dirinya seolah dianggap penuh.

Detak jantung mereka terdengar berpacu cepat. Tatapan mereka berhasil meregut waktu untuk bertahan lebih lama, mereka tak menyadari akan posisi, seolah ada pikiran hampa yang masuk dan membuat mereka memilih diam pada pikiran yang entah ada di mana.

Saat mata Lily mengerjap satu kali, mereka berhasil tersadarkan tapi justru kembali terdiam. Bibir keduanya merasa ada yang menempel dengan benda lain. Beberapa detik kebingungan, akhirnya mereka memastikan ke bawah dan terlonjaklah dengan posisi mulut mereka.

Ryan cepat-cepat bangkit berdiri dan menengok ke belakang yang mendorongnya, tak ada Rubay, hanya ada ... seseorang di gagang pintu.

Lily pun berdiri dengan pipi bersemu merah dan terasa panas. Ia mencari Rubay yang sempat mendorong Ryan dengan tampang watados-nya tadi, dan ternyata dia sudah melarikan diri. Hanya bersisakan Ryan, dirinya dan ... Pak Joy yang berdiri di ambang pintu. Mereka bertiga kaget berjamaah dengan pikiran yang melanda masing-masing.

Lily mengusap bibirnya dengan kasar yang sempat bersatu dengan bibir si iblis gila tadi. "Eh-Ba..pak ...."

Ryan tersenyum canggung. "Bapak udah berdiri di situ ternyata, masih sehat kan matanya?" timpalnya.

"Kalian ...," dia geleng-geleng tak percaya. "Sekarang, ikut Bapak ke ruang BK!"

"Bapak jangan salah paham dulu. Tadi itu saya didorong Rubay, jadi saya jatuh." Lily berusaha memberikan penjelasan sebetulnya.

"Bapak tidak menyuruh menjelaskannya di sini! Mari ikut Bapak ke ruangan!"

Lily dan Ryan sempat bertemu pandang. Lily yang gelisah dengan pipi bersemu merah yang belum sirna, sementara Ryan yang masih menguasai tampang arogannya mendelik nyalang pada perempuan itu. Bila di sini terdapat CCTV, maka Rubay'lah yang salah. Tapi sekarang yang dapat membuktikan adalah sepasang mata seorang guru yang melihat kejadiannya walau baru-baru.

***

Lily Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang