Lily kembali duduk di kuburan tempat peristirahatan terakhir Kaze. Tidak ada air matanya yang bergulir, ia terlalu susah untuk melakukan itu. Sementara satu tangannya mengusap seorang Linda yang masih terisak-isak tidak menerima teman terlamanya meninggal secepat itu.
“Gue bahkan masih percaya lo orang baik, Ze. Gue kenal lo lebih lama. Tapi gue gak tau masalah lo sampai sekarang,” sesal Linda. “kalau gue tau masalah lo, mungkin lo gak bakal ambil rencana kejam kayak gini. Ini karena gue yang terlambat dan gak tau diri nyebut lo sahabat tapi gak tau masalah lo.”
Lily tidak membalas ataupun menenangkan. Ia sendiri tidak tahu perannya di sana untuk apa selain melihat jasad Kaze sampai benar-benar masuk ke liang lahat.
Lily tidak pernah menyalahkan Kaze dengan segala rencana busuknya. Lebih tepatnya ia tidak akan menyalahkan siapa-siapa. Dirinya terlalu lelah untuk sekedar mengetahui siapa yang salah. Karena di matanya, semuanya sama saja.
Lily akhirnya bangkit, bersama Linda yang akhirnya sudah mulai tenang. Melangkah mendekati mobil Ryan yang terparkir di luar wilayah pemakaman Jakarta.
Dan lalu, Aryo muncul dari balik mobil seolah semua itu sudah direncanakan.
Lily yang sudah malas, pura-pura tidak melihat saja. Ia sudah muak dengan tingkah laku papanya.
“Papa minta maaf.”
Perkataan itu membuat Lily menoleh. Pupilnya membesar seolah kehidupan yang awalnya redup kembali menemukan secercah cahaya.
Aryo mendekati Lily. Dengan cepat mendekapnya sangat erat. “Maaf Papa sudah mengekang kamu.”
Lily terdiam. Dalam hatinya ia mempertanyakan sosok pria itu papanya atau bukan, ia tak tega hatinya ditipu bila pria di depannya adalah orang yang menjelma menjadi papanya. Karena sikap papanya berbanding terbalik dengan sikap sebelumnya. Papanya yang dikenal keras kepala, pengekang, dan cenderung intimidatif kali ini menjelma menjadi seorang seperti mamanya.
Aryo melepas pelukannya. Wajahnya terlihat sangat rapuh. “Sekarang, Papa mau kamu pulang.”
Lily mencoba tersenyum. Salah satu beban dalam hatiya sedikit terlepas. “Lily pasti pulang, Pa.”
“Kapan?”
Lily terlihat berpikir. “Setelah masalah di sini selesai, Lily pulang.”
Aryo tersenyum dengan lega. “Mungkin ini gak seberapa,” ia merogoh sakunya, mengambil dompet dan membawa uang senilai lima juta lebih, “ini. Gantiin robot kamu yang rusak.”
Lily tertegun. Ia menatap papanya tak percaya. “Maksudnya, Pa?” ia berusaha menanyakan sikap papanya yang berbeda seratus persen.
Aryo menatap putrinya dengan lekat. “Selama ini Papa gak sadar, Ly. Bertahun-tahun Papa ngebuat kamu menjadi diri Papa. Menjadikan kamu robot, yang Papa kira kamu akan mampu karena kamu sama seperti Papa. Karena kamu anak Papa. Tapi ternyata Papa keliru, Papa salah memahami kamu.”
Sedari kecil Lily seolah tidak pernah merasakan namanya kebebasan. Setiap hari Minggu seharusnya ia pergi bermain bersama anak-anak lainnya, ia justru di rumah. Papa menyuruhnya melakukan hal yang berguna. Seperti belajar dengan rutin, membaca buku, menulis jurnal harian yang merupakan tugas yang akan diperiksa papanya.
Ketika hari berlibur, Lily hanya mendapat izin untuk pergi ke perpustakaan atau ke ruko-ruko kecil yang menjual buku-buku panduan belajar dengan benar. Pernah, bersama David dirinya melipir sebentar ke alun-alun Bandung. Duduk di sana dan baru itulah Lily merasakan sepoi angin yang menerpa wajahnya seolah mendefinisikan kebebasan. Ia tak mengerti waktu itu, tetapi kepala penat dan sumpek yang biasa dipakai belajar seolah merasa lega. Ia seperti burung yang baru mengenal terbang jauh dan mengenal dunia saat sudah lamanya diam di dalam sangkar.
![](https://img.wattpad.com/cover/275571838-288-k646264.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lily Kacamata [END]
RandomCover by Fisca @Choa Tentang Lily Kacamata yang selalu tegar menghadapi masalah di depannya. Namun semakin ia kuat bertahan, masalah semakin bermuculan. Mereka selalu mengganggunya. Seolah dirinya adalah manusia terkutuk yang pantas menjalankan kis...