4.3 Jaket Mungil

2 1 0
                                    

Lily membuka pintu kamar, tempat tidurnya waktu masih berdiam di Bandung. Tampak rapi dan berhasil mendorongnya untuk beranjak tidur. Namun, kakinya malah menghampiri sebuah lemari di saat ekor matanya mengarah ke situ. Seperti terhipnotis, ia membuka pintu lemari. Di sana terdapat laci kecil yang terkunci. Setelah membawa kunci di tempat persembunyian, Lily mulai membongkar isi laci itu; sebuah jaket bewarna merah jambu terlipat rapi di dalam.

Sambil tersenyum kecut, Lily meraih jaket itu. Membuka resletingnya dan terpampanglah sebuah nama seseorang di kain bagian punggung dalam. Nama itu ditulis oleh pensil semenjak dirinya duduk di bangku kelas tiga SD yang luar biasanya masih bertahan sampai sekarang. Meski menyamar, nama itu tetap setia menempel di jaket mungil itu: David Kusuma R.

Pikiran Lily melayang pada umur sepuluh tahun itu. Lily kecil selalu memakai jaket pink tersebut di mana pun berada. Sampai akhirnya jaket itu sudah tidak muat lagi, awalnya ingin ia buang atau disumbangkan, tetapi ... nama orang itu yang membuatnya selalu menyimpan jaket itu di laci lemarinya.

Dari dulu, Lily berusaha untuk mengubur nama itu dari benaknya, dari hatinya. Dahulu ia yakin, suatu saat ia akan melupakannya. Ternyata tidak begitu. Lily bukan orang pikun terhadap seseorang yang pernah menemaninya walau hanya beberapa tahun, itupun walau masih SD, masih bocah. Kedekatan yang berjalan bertahun-tahun dulu ternyata bisa membuat hati bocah melebar dan mengalami rasanya cinta monyet.

Hari ini. Lily belum yakin rasa cinta yang menghantuinya sampai sekarang adalah kemonyetan belaka. Ia rasa tidak ada yang namanya cinta monyet sejati. Tapi tidak pernah mendengar bocah ingusan bisa kenal apa itu cinta atau suka. Apa mungkin perasaan ini seperti pengharapan yang sia-sia tapi dirinya tetap bersikukuh bisa menjadikannya kenyataan, sampai sekarang.

Mamanya Lily membuka pintu kamar yang tidak dikunci. Dia menghampiri putri sulungnya yang sedang terburu-buru melipat jaket dan menyumpal secara asal ke dalam tas. "Lagi ngapain? Itu jaket pink kamu yang sudah kecil mau dibawa ke Jakarta besok?" tanyanya yang langsung diangguki oleh putrinya.

"Dan sekarang Lily mau tidur. Capek." Lily menyahut letih yang padahal ingin cepat-cepat menuntaskan percakapan. Mulai menyambar selimut ke tubuhnya.

"Kamu itu kelihatan kalau lagi bersandiwara. Mungkin mulut kamu bisa, tapi kalau muka masih kelihatan." Mama tertawa kecil. "Kamu kesal sama papa, ya?"

Lily menghela napasnya dengan berat. Hanya mamanya yang bisa membuat raga tegar Lily melepas, "Kalau Lily bilang ‘iya’ juga gak bakal bisa mengubah kemauan papa."

“Kita gak bakal pernah bisa mengubah cara pandang Papa,” setuju mamanya membuat Lily memandangnya getir. “Kecuali dia yang ingin peduli dan mengalah mengubah pandangannya.”

Lily terkekeh sedih. “Dan Papa gak bakal mungkin peduli.”

Mama manggut-manggut sembari tatapannya berlabuh pada jendela yang menampakkan gunung dan perumahan. “Cuma kamu yang harus peduli.”

Lily mengerutkan keningnya. “Peduli?”

“Iya. Peduli pada dirimu sendiri sama dengan kamu yakin pada diri sendiri,” Mama ikut duduk di kasur di samping anaknya. Satu tangannya menggenggam pundak Lily. “Gapapa orang lain gak peduli dan gak yakin sama hobi kamu yang suatu saat bisa berkembang menjadi keahlian. Tapi jangan sampai kamu juga ikut-ikutan menilai diri kamu rendah.”

Lily terdiam meresapi setiap kalimatnya. Ia jadi teringat dengan nasib dirinya di sekolah yang dirundung seolah dirinya paling rendah. Kali ini ia menjadi teryakinkan, sebanyak apapun orang lain menyakitinya, ia tak akan goyah.

"Mama yakin suatu saat bakatmu akan berguna tanpa dikejar susah-susah. Tapi tidak sekarang, terkadang hidup itu tidak selalu mengejar kemauan sendiri," tutur Mama lembut diiringi dengan senyum menenangkan.

Lily tersenyum, merasa lebih baik. Dirinya tidak lagi berniatan membenci papanya, maupun orang lain yang memandangnya rendah.

Untuk saat ini, hanya mamanya yang bisa membuat hidup ini berarti, hanya dia yang mampu membuatnya bertahan, salah satunya bertahan di penjara papanya. "Lily mengerti jalan papa ini adalah jalan kebaikan Lily sendiri juga. Ya ... walaupun semuanya gak sesuai seperti yang papa khawatirkan. Penyebab meninggalnya paman Yasim—"

"Teeeeh! Ada yang nelepooon!" Adik bungsunya berlari ke kamar kakaknya, menyerahkan ponsel Lily yang barusan dipinjam. Ade menunjukkan layar ponsel kakaknya itu agar terlihat nama kontak yang tertera sambil membaca ulang, "Dari Ryan tampan."

Lily gelagapan, buru-buru menolak panggilan. Dalam hati, ia memaki lelaki itu dan juga dirinya yang lupa untuk mengganti nama kontak dari Ryan Tampan (yang dulu sempat dinamai oleh iblis itu sendiri) menjadi Ryan. Ia juga merasa menyesal telah meminjamkan ponselnya kepada adiknya.

"Siapa Ryan?" Mama bertanya curiga. "Pakai tampan-tampan segala lagi. Dia siapanya kamu? Kamu pacaran?" Mama terus menginterogasi anaknya yang bungkam tak punya alasan.

Ponselnya kembali bergetar. Lily menolaknya kembali dan tanpa pikir panjang mem-blokir-nya. Kemudian Lily melirik mamanya yang menatapnya seakan membutuhkan penjelasan lebih.

Ade rupanya cepat mengerti. Jiwa-jiwa “cepunya” mulai terdeteksi. "Bilangin aaah ke papaaa ...."

Ade berlari keluar kamar dan berteriak heboh memberi informasi yang baru diduga-duga.

Tubuh Lily kaku seketika. Mendadak ia merasa prihatin pada dirinya sendiri, sebab ia tahu apa reaksi keluarganya apalagi orangtuanya yang mendengar anaknya pacaran. Sudah seperti pengatur waktu, Lily mengetahui apa selanjutnya yang akan terjadi. Pastinya bukan berita mengindahkan.

Lily Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang