2.3 Dia

2 1 0
                                    

Lily mengusap keringat di dahinya. Kali pertama merasakan bahagia karena telah berhasil membersihkan ruangan sepenuhnya. Ia hirup lagi ruangan itu, bau pewangi lantai rasa jeruk yang santai memenuhi penciumannya.

Entah berapa kali ia menatap jam tangannya. Sekarang, sudah menunjukkan pukul lima sore lewat. Pantas saja di luar gelap. Sudah tiga jam lebih dirinya menyapu, mengepel, dan bermacam hal yang dilakukannya di sini. Tanpa istirahat. Dan sekarang ia berniat pulang, ia berharap masih ada bus atau angkutan umum yang bisa ditumpangi.

Lily mengembuskan napasnya, lega. Dengan mantap, ia melangkah keluar ruangan. Tapi langkahnya terhenti di ambang pintu begitu sepuluh motor berdatangan dan berhenti di halaman rumah kosong milik Ryan. Dilihat dari tubuhnya yang berotot dan berseragam gangster, mereka bukan anak SMA, bukan anak punk, tapi seperti ... preman. Mereka menatap Lily terheran-heran.

"Ngapain di sini!?"

Bukannya menggoda Lily, justru sebaliknya. Mereka seperti sudah kenyang perempuan atau yang dihadapinya hanyalah gadis biasa.

"Ada laki-laki yang suruh saya bersihkan rumah ini," kata Lily santai dan perkataannya membuat mereka melongo, seperti butuh penjelasan. "Namanya Ryan, dia yang suruh-"

"WOY ANJING!!"

Lily melirik ke sumber suara, terdapat sebuah mobil hitam, diikuti segerombolan motor ninja. Ia terperangah karena sebagian dari mereka adalah teman satu sekolahnya, Rubay termasuk. Ia terkagetkan bila yang mengendarai mobil hitam itu adalah Ryan seorang.

Para preman disibukkan dengan melihat puluhan anak nakal. Salah satu tertawa lepas dan mulai turun dari motor. "Bocah tengil!" makinya kencang.

Mobil Ryan berhenti tepat di depan motor para preman. Keluarlah lelaki itu yang masih berseragam, sebelum melakukan penyerangan dia sempatkan menatap tajam kepada Lily, memerintah gadis itu untuk pergi.

Lily cepat memahami. Ia mengambil langkah seribu sebelum para preman menatap dirinya. Jantungnya dag-dig-dug seperti sedang kabur dari para polisi yang ingin menangkapnya. Padahal dirinya tidak melakukan kesalahan apa-apa.

Hal yang sangat mudah untuk melarikan diri. Tapi tidaklah mudah untuk melupakan kejadian itu. Lily saat ini sudah menaiki angkot dengan pikiran yang masih berada di rumah kosong milik Ryan. Ia ingin tahu bagaimana kelanjutan kejadian tadi, sebuah peristiwa yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.

Telinga Lily menajam, mendengar samar suara gebukkan dari arah jalan yang jadi pertemuan preman dan anak SMA. Mendadak orang-orang yang duduk nyaman di dalam angkot berceloteh dengan tema yang ia pikirkan sekarang. Dan mendadak pula, dirinya mencemaskan teman-teman satu sekolahnya, terutama Ryan.

***
Ryan keluar mobil begitu sudah diparkir di dalam garasi miliknya. Wajahnya banyak sekali bengkak dengan darah kering di mana-mana, sepertinya cairan merah itu sudah diangin-anginkan dengan sengaja selama perjalanan pulang.

Luka memar oleh pukulan kencang para preman tak ada apa-apa baginya. Tapi tetap saja, ringisan pelan masih terdengar dalam sunyinya malam itu. Langit sudah gelap total, tatapannya tertuju pada bintang-bintang yang berserakan. Ujung mulutnya terangkat, para bintang seakan memberinya sebuah selamat atas kemenangan merebut kekuasaan wilayah tadi sore. Benaknya terngiang, sekelebat memori di mana dirinya berhasil menjatuhkan ketua preman dengan gagahnya.

"Ryan, muka kamu kenapa?"

Ryan mendapati seorang gadis berambut pendek keluar rumahnya, dia menghampirinya penuh khawatir. Ia menduga bila gadis itu sempat berdiam lama di rumahnya, hanya untuk mendapat empati dirinya. "Buat apa ke sini lagi?" Ryan mengatakan itu seolah menyuruh dia untuk pergi dari rumahnya. "Gue muak lo kemari dengan tampang munafik lo itu. Pergi dari sini."

Dia tersenyum manis. "Aku gak akan pernah pergi, sebelum hal yang mau aku gapai terwujud," katanya menantang dua mata Ryan yang menajam kepadanya.

"Pergi," Ryan menyahut dingin di tengah sunyinya malam. Menusuk gadis di depannya lewat suara.

Dia mengangguk patuh tapi seperti meremehkan. "Oke, oke, aku bakal pergi. Besok pulang sekolah aku ke sini lagi, ya?" katanya memberitahu. Perlahan dia melangkah pergi tanpa membuang senyumnya.

Tatapan Ryan menajam.

"Ah, iya," dia kembali berbalik badan, lagi-lagi senyuman manis penuh teka-tekinya belum lenyap, "lukamu kayaknya parah. Butuh diobati?"

"Gak perlu!" Perkataan Ryan seperti mengusir.

"Yaah, sayang, deh," dia mulai membuka pagar, "ayahmu sedang kerja di luar kota, ibumu berada di rumah sakit, adikmu sudah tidur, gak ada yang bisa memberi waktu buat ngobatin luka-lukamu. Kecuali aku." Setelah itu dia pergi, tanpa melepaskan kata-kata yang membuat Ryan hampir lepas kendali.

Setelah gadis itu benar-benar sudah keluar dari pekarangan rumahnya, Ryan memasuki rumah.

Deg!

Tiba-tiba dirinya mematung di ambang pintu. Dadanya menyesak ketika mendapati adiknya. Benar apa yang gadis jahat tadi katakan, dia tertidur. Tidur di lantai depan pintu.

Lelaki itu berteriak, menyebut nama adiknya sangat panik, "RAISAAA!!"

Lily Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang