5.3 Ruang BK

1 1 0
                                    

Di ruang BK, Rubay digiring secara paksa dengan tampang ‘tak tahu kejadian’ yang meyakinkan. Namun, setelah Rubay melihat Ryan dan Lily duduk bersampingan sama-sama menaruh sorotan dingin dan tajam kepadanya, mau tak mau ia mengacungkan diri sebagai pelaku yang mendorong Ryan, sebab takut dan kasihan. Dengan menyeringai yang terlihat mesum di mata Lily, ia masih berceloteh setelah guru kesiswaan memarahinya, "Lagian salah mereka sendiri marah-marah di toilet. Pamali. Nanti saling suka gimana?"

Lily dan Ryan melotot sangar, bagaikan singa dan harimau menolak dijodohkan. Tapi dalam hati mereka sungguhan lega bukan main sebab Rubay mau jujur, walau ada rasa tak terima ketika guru-guru berpatisipasi untuk melaporkan kejadian kepada orangtua mereka, termasuk menyempilkan pura-pura sakit mereka sebagai konflik awal.

Guru BK dan staf Kesiswaan beranjak dari duduk mereka dan sibuk pada kegiatannya membuat surat peringatan dan semacamnya. Sementara Lily terus-menerus mengusap bibirnya, berharap ciuman pertamanya terlenyapkan. Kegiatan itu secara spontan menarik perhatian Ryan dan pasti merasa jengkel, sebegitu jijikkah sampai-sampai harus diusap seperti itu, pikirnya.

Namun, tak urung Ryan tertantang untuk mempermainkan perasaan Lily yang pasti sedang gundah. Ia mendekatkan wajahnya ke samping dekat kuping Lily, lalu membisik, “Gimana rasanya dicium sama cowok ganteng?”

Lily dengan cepat menoleh pada sang pelaku. Wajah lelaki itu ternyata sangat dekat dengannya. Gugup. Ia spontan melengos kembali ke sembarang arah. Mengingat raut arogan lelaki itu yang sempat membuatnya terpaku di toilet tadi membuat pipinya semakin memanas.

Ryan terkekeh jahil, jari telunjuknya tergerak menyentuh benda kenyal yang bersemu merah itu. “Gue baru tau pipi lo bisa merah begitu.”

Lily dengan cepat menjauh. Ia menggeser pantatnya ke samping, memperpanjang jarak dengan lelaki itu. Sejauh ini, Ryan berhasil membuat jantungnya berdetak tak karuan.

Sementara Rubay yang duduk di kursi terpisah manggut-manggut seolah mengerti. “Gue ramal. Semester depan kalian jadian.”

Pernyataan konyol itu membuat Ryan menatap nyalang temannya. Dan Lily hanya menunduk menatap sepatu talinya, sebenarnya sedang berusaha menormalkan degup jantungnya.

Mereka berdua diperbolehkan keluar ruangan dan diperkenankan masuk kelas masing-masing, Lily lebih awal keluar ruangan karena papanya menelepon, sesuai dugaannya. Sementara Ryan hanya di-chat beberapa saran singkat dari ayah tirinya, tapi setiap kata diberi emosi penuh. Lelaki itu menyusul Lily keluar yang sedang mengangkat telepon.

"Halo, Pa?" Lily menyahut, telapak tangannya terasa dingin.

"KAMU BIKIN MALU PAPA!"

Telinga Lily maupun Ryan–yang mencuri dengar–berdengung kesakitan. Suara papanya Lily mengalahkan kemarahan guru BK kepada Rubay yang berlangsung saat ini.

"Maafin Lily, Pa. Gak sengaja—"

"Pura-pura sakit di waktu upacara berlangsung itu namanya ‘gak sengaja’!?"

"Kalau itu, Ryan—"

"Oooh, Ryan? Yang kemarin sempat berbohong ‘Ryan itu bukan siapanya kamu’, padahal sudah jelas sekarang, kamu itu pacaran sama dia! Dan demi dia kamu rela berpura-pura sakit, itu kan penjelasannya?" Papanya memotong kembali.

Lily menggigit bibirnya sekuat tenaga, berharap suara yang ia lontarkan tidak seperti orang ketakutan. "Bukan itu penjelasannya, Pa," tukas Lily, tidak bergetar, dan justru ia kehabisan kata-kata.

"Apa lagi penjelasan dusta kamu? Mau bohong lagi? Sejak kapan kamu pandai berbohong begini?"

"Lily mana mungkin bohong sama Papa ...." Dan mana mungkin juga Lily menjelaskan penyebab berpura-pura sakit karena dirinya menjadi pelayan gratis untuk Ryan. "Lily cuma ...."

"Cuma apa? Cuma malas, jadi ikut-ikutan? Begitu?"

"Iya," mau tak mau Lily menjawab asal.

"TAHUN INI KAMU GAK BOLEH PULANG KE BANDUNG!!!"

Ludah Lily memahit, tubuhnya membeku di tempat, ini hukuman terekstrem menurutnya. Mana mungkin setiap hari Sabtu dan Minggu ia harus merelakan kesendirian di kost atas hukuman yang disebabkan oleh Ryan, selama satu tahun. Tapi mau bagaimana lagi, ia harus menyanggupinya meski sedikit tak rela. "Iya, Pa. Sekali lagi minta maaf, ya? Lily janji—"

Sambungan dimatikan oleh papanya.

Dada Lily menyesak, butuh usaha untuk bernapas seakan ada yang membuang oksigen untuknya. Bukan cuma hukuman itu yang membuat dadanya sesak, papanya bahkan tak membuat langkah tegas kepada Rubay yang mendorongnya di toilet, seolah papanya hanya menyahut segala hal tentang peraturan sekolah tapi tidak dengan harga dirinya.

Lily kecewa dengan papanya.

Pandangan Lily memanas, ia mengerjapkan matanya beberapa kali berharap air matanya tak jatuh bergulir. Butuh waktu cukup lama untuk mengeringkan genangan air pada matanya sampai Lily dikejutkan oleh keberadaan Ryan berdiri di sampingnya yang sedang memperhatikannya. Ia gelagapan, mengusap dan mengucek mata adalah jurus untuk tidak terlihat matanya berkaca-kaca.

"Gue baru tau cewek kayak lo bisa nangis juga," Ryan memaki dengan kedua alis yang terangkat angkuh. Tangannya terlipat di dada dan tersenyum sinis. "Padahal cuma digertak cemen begitu."

Anehnya, hinaan itu berhasil melenyapkan tangisan Lily. Seutas senyum getir terpancar. Cukup lama untuk bersabar menghadapi cobaan ini, mendadak pikirannya berujung pada kopi yang tertinggal di kos.

Tak lama, Rubay keluar ruangan dengan wajah tanpa dosa. "Yey ... gua di-DO satu minggu."

Lily melirik Rubay, sumber dari bencana itu. Ia buru-buru pergi sebab diam di sini hanya mampu membuatnya emosi. Sesudah berbelok ke koridor kiri, Lily mendengar samar seseorang memukul tubuh manusia dan berseru tak karuan. Tak salah lagi, Ryan sedang memberi pelajaran pada Rubay tepat di depan ruang BK.

Lily Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang