18.2 Persetujuan

0 0 0
                                    

Bibir mungil itu mengatup lama sebelum ketika sadar sedang ditatap, bibir itu berusaha tersenyum simpul.

Dan detik berikutnya sosok itu nampak berbisik pada Kaze di samping, menitipkan kado mungil lalu keluar pekarangan. Pergi sebelum acara selesai.

Reflek kakinya akan menuturi perempuan itu bila Nura tidak menggandengnya paksa. Seolah Nura tahu apa yang diniatkannya.

“Kenapa ada Lily?”

Nura menatapnya bingung. “Aku kan ngundang semua angkatan kelas dua belas.”

Menjijikkan dengan ucapan lemah lembut itu. Ryan dengan paksa melepas gandengan bak tali yang mengikatnya itu, tidak peduli lagi dengan sebuah persetujuan yang mereka berdua jalani.

Nura menggandengnya lagi, kali ini sampai memeluk lengan Ryan agar tidak lepas. “Kanapa? Kamu takut Lily cemburu? Kamu suka sama cewek gembel itu?”

Ryan tidak jadi membentak saat Nura lanjut berkata, “Lo masih inget persetujuan kita diawal, kan?”

***

Sesampainya di kos, Lily meneduh kopi hangat yang kemudian diberi es batu agar suhunya tidak cenderung ke hangat, tetapi netral. Ia teguk kopi itu sekali tandas. Kemudian tanpa mengganti dress hitamnya, ia mulai rebahan di ranjang. Memejam matanya kuat-kuat. Mencoba untuk tidur.

Entah kenapa, ia memilih pulang lebih awal tanpa pamit ketimbang harus lama-lama di sana. Ada pikirannya yang ia tidak mengerti bagian mana yang membuatnya tak nyaman.

Persetan dengan semua itu, Lily kembali meneduh kopi, lalu menegaknya sampai habis. Seolah kopi yang candu tersebut dapat membuat pikirannya lepas dari acara itu. Dari perasaan sesak yang alasannya tak bisa ia terima.

Namun, semakin dirinya menegak habis, semakin pula bayangan-bayangan pada acara itu menjadi. Lily lelah, kembali rebahan dengan posisi menelungkup. Membenamkan wajahnya pada bantal, menutup kuat matanya. Tidak membiarkan air matanya terus bergulir membasahi permukaan.

***

Baru kali ini Ryan merasa dipermainkan oleh seorang perempuan. Kesabaran setipis tisunya sudah tidak bisa diperkuat lagi. Maka ketika yang lain lanjut berjoget dan bersenang-senang di pekarangan, Ryan menarik Nura ke dalam rumah.

Di dalam, Ryan menjauh dari Nura. Membuat jarak dua meter. Mata tajam itu mengawasi setiap pergerakan Nura yang dengan angkuh duduk di sofa. Menyilangkan kedua kakinya dengan bersandar nyaman. Detik kemudian, lagu mengalun lagi membuat mereka yang di luar sibuk bersenang-senang. Tidak menyadari objek utama di acara ini justru di dalam bersama Ryan.

“Gua udah nurutin semua permintaan lo, Nura,” ujar Ryan dengan nada meredam emosi. “Jadi kasih tau sekarang apa yang lo tahu tentang gua selama ini.”

Mendengar itu Nura tertawa lepas. Ia memegangi perutnya saking tidak kuatnya. Beruntung tawanya teredam oleh lagu di luar.

Ryan mengepalkan tangannya. Matanya masih menyorot tajam.

Tawa Nura selesai, dan ketika saat itu Ryan yang berdiri hanya memandangnya dalam diam. Tetapi Nura yakin pikiran lelaki itu sedang tidak diam. Nampak berisik. Dia pasti akan mati dalam ketidaktahuan bila dirinya tidak membuat persetujuan dengan lelaki itu.

“Aku bahkan tau siapa dalang yang ngebuat kamu lupa ingatan. Tentang sosok perempuan yang kamu jadikan bintang sampai sekarang, tapi seperti bayangan. Aku tau, Ryan.”

Ryan tertegun. Seperti sebuah mantra, Nura membuat Ryan semakin masuk ke dalam permainannya. "Maksud lo apa ngomong gitu?"

“Aku ada penawaran menarik. Aku akan menceritakan semuanya, tetapi selama satu bulan ini kamu harus ada di samping aku. Gimana?”

Ryan merasa dijebak. Dirinya tentu tidak bisa menolak penawaran tersebut lantaran membutuhkan informasinya tentang masa lalu yang tak sengaja ia lupakan. Namun tak ayal dirinya emosi karena dipermainkan. “Gua gak segan-segan bunuh lo dengan cara apapun jika lo cuma mencari kesempatan untuk deketin gua, Nura.”

“Kamu gak ingat apa-apa,” Nura mengalungkan kedua tangannya kepada leher lelaki itu dengan berani, memupus jarak agar dirinya dapat melihat dengan jelas tatapan tajam yang kebingungan itu. “Aku yang tau segalanya … tentang kamu.”

Nura berdiri dari duduknya di sofa. Mendekati lelaki itu. “Tenang. Aku gak bakalan ingkar janji, aku gak bakalan mempermainkan cowok yang aku sayang,” nadanya terdengar lembut, berbeda dengan tatapannya yang menyorot dingin. “Sekarang. Temui adikmu, dia ingin ditemani setelah hari ini aku kunci di kamar.”

aku kunci di kamar.

“Raisa …,” entah bagaimana Ryan lupa ada sosok Raisa hari ini. Seolah ada yang membuat ingatannya dilupakan tentang adiknya hari ini lalu diingatkan Nura pada malam ini.

Segera, ia menuju kamar adiknya. Memutar kunci yang sudah ada di gagang pintu, kemudian membukanya dan mendapati sosok Raisa yang menangis terisak-isak di pojok.

Begitu pintu dibuka dari luar dan melihat siapa yang datang, Raisa berdiri dan menghampirinya sambil berlari. Memeluk kakaknya sangat erat dengan tangan yang bergetar ketakutan.

Sementara sepasang adik kakak sedang melepas rindu karena satu hari tidak bertemu, Nura kembali keluar pekarangan dengan senyum manis yang tak pernah ia lunturkan.

Bersama lagu yang mengalun, Nura berucap pelan, “Satu bulan. Tinggal dua minggu lagi.”

Lily Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang