Ardiono Bameswara keluar dari ruang kelas 3A SD Muhammadiyah, Yogyakarta dengan muka mengeras, bibir terkatup dan buku rapot yang hampir koyak karena ia meremasnya terlalu kuat.
Pria itu hanya ingin segera sampai di rumah menjumpai Ganendra Bameswara, untuk menunjukkan pada anak laki-lakinya nilai mata pelajaran yang sama sekali tidak memuaskan.
Ardiono melonggarkan dasi yang menggantung di leher dengan kasar. Melepaskan kancing teratas kemeja untuk memudahkannya bernapas.
"Ganendra butuh perhatian lebih, Pak Ardi dalam hal akademis dan kecerdasan emosional. Keduanya saling berpengaruh untuk fokus belajar siswa."
Ia mengacak-acak rambutnya gusar seolah pikirannya akan jernih ketika sudah melakukan hal itu.
"Lanjut ke rumah Pak Atmadja, Di?" Ardiono sampai di parkiran dan melihat Raden yang sudah menunggu di depan mobil Mercedes-AMG GLA hitam. Ia langsung melemparkan rapot itu pada asistennya dan ditangkap dengan sigap.
"Balik ke rumah." Ia melangkah memasuki kursi penumpang.
"Kenapa? Ada masalah?" Raden segera duduk di balik kemudi, "meeting sama Pak Atmadja dibatalin? Sudah lama loh kita menghubungi beliau."
Asistennya itu masih belum puas karena tidak kunjung mendapatkan jawaban dari bosnya. "Aku kan sudah susah menghubungi beliau, cari jadwal yang cocok, mosok dibatalin begitu aja, Di."
Ardiono memerosotkan badannya berharap bisa merasa rileks. Tapi kepalanya tambah pusing mendengar ocehan Raden. "Kalau kamu pengen ucapan terima kasih, ya saya ucapkan terima kasih kepadamu wahai Raden Harimurti yang sudah bekerja sesuai dengan ekspektasi."
Raden terkekeh, "Bukan gi.." Belum sempat Raden memberikan argumen, Ardiono memotong ucapannya.
"Ssst! Ada tugas baru untuk kamu sesampainya di rumah. Saya kasih waktu tiga jam untuk menyelesaikannya." Tegas Ardiono yang kini sedang membuka Canva dari laptopnya.
"Hah? Apaan tuh, Di?" Mobil sudah memasuki area Godean. "Kilat banget."
"Nanti saya jelasin." Tutup Ardiono.
***
Kening pria itu mengkerut menatap karya yang terpampang di layar komputernya. Ia memang sudah hilang akal jika mencetak pamflet ini dan menyerahkannya pada Raden. Tapi, mau bagaimana lagi? Hidup Ardiono sangat rumit dua tahun terakhir dan ia ingin segera mengakhiri ketidak jelasan itu.
Ardiono memutar layar computer menghadap Raden, "bagus desain yang mana?"
Asistennya itu membaca dengan seksama, sesekali matanya memicing dan tiba-tiba melotot terkejut. "Hah? Ngapain kamu, Di? Dicari Calon Istri dengan IPK Cumlaude?"
"Ganendra nilai rapotnya jelek. Dia ranking tiga terbawah." Ardiono mengeluh.
"Ya mending cari guru les, Ardi!" Nada suara Raden meninggi. "Lah kok ini istri sih? Gila kamu? Masih kuliah juga. Usia kalian bakal beda belasan tahun." Raden masih membujuk agar bosanya mau berubah pikiran.
"Wali kelasnya bilang dia butuh dukungan secara emosi. Maksudnya ya dari hati ke hati sama ibunya. Kamu tau sendiri kan di mana ibu mereka?" Ardiono melepas kacamatanya. "Guru les cuma ngajar, kalau saya punya istri mana tau dia bisa dekat sama anak-anak."
"Nah, kalau gitu, kamu cari guru les dan Psikolog anak sudah paling bener. Daripada cara konyol kayak begini." Raden menyarankan. "Lagipula, kamu nggak takut sama komentar Bapakmu? Beliau kan mementingkan bibit, bebet dan bobot."
"Terakhir kali saya mengikuti saran Bapak, rumah tangga saya berantakan!" Ardiono mendadak naik pitam.
Raden menyerah mendengar amukan itu. "Yo wes, pamflet ini aku tempel di semua fakultas? Terus nanti setelah nikah, kamu yang nafkahin? Kayak biaya kuliahnya dia juga?"
"Pasti. Makanya kita utamakan yang memang membutuhkan uang. Biasanya mereka mau melakukan apa saja demi uang." Ardiono berpikir sejenak. "Tempel pamflet ini hanya di fakultas MIPA. Nilai Ganendra nggak memuaskan di mata pelajaran Matematika dan Sains."
Raden memijat pelipisnya. "Ini nikah kontrak?"
"Nggak lah. Selama-lamanya."
"Hah???" Lagi-lagi Raden dibuat terkejut.
"Kamu dan Nissa yang urus. Prosesnya mirip melamar kerja." Ardi memutar kembali layar komputernya dan membaca sesuatu di sana. "Screening CV, cek background keluarga, tes IQ dan psikologis, terakhir wawancara. Saya terima tiga kandidat terbaik. Nanti saya putuskan satu dari tiga."
"Gila, gila, gila!!!!" Raden menggeram kesal.
"Udah sana cepet." Ardiono mengusir. "Keburu bubar kampusnya."
Tepat pukul sepuluh pagi Raden keluar dari ruangan Ardiono dengan muka ditekuk. Ia takut hal bodoh seperti ini malah membahayakan bosnya di kemudian hari.
Tapi tidak dengan Ardiono. Bukankah orang yang sedang putus asa akan melakukan hal-hal yang tidak terduga?
***
Bukan Sebentar hadir menyapa kalian. 🥳
Kemarin-kemarin aku nulis CLBK, saatnya mengubah haluan. Walaupun bukan nikah kontrak ya, tapi nikah sah di mata hukum negara dan agama. 🙂
Jangan lupa vote dan komennya. Makasih. ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sebentar
RomanceArdiono Bameswara memerintahkan orang kepercayaannya untuk memasang pamflet dengan judul "Dicari Calon Istri dengan IPK Cumlaude." Rubi Albarsya terkejut ketika mengetahui beasiswa yang selama ini ia dapatkan setiap bulan tiba-tiba saja diputus. Ard...