39. That Was, Dream

1K 71 7
                                    

Holaaa!!

Balik lagi author paling rajin se-oren

Ada yang kangen ga sii inii🤧

Jangam bosen2 nungguin Agatha yes💝

Btw ini ga sempat baca ulang, mata author udah negatif 7 watt setelah dipake nulis dari jam 11 malem samp jam 4 pagi😭

huhu..

Jadi kalo ada yang janggal pliss dikomen ya, ditandain gitu biar cepet direvisi..

Happy bacaaaa✨✨✨

Sial! Sial! Sial sial sial siall!!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sial! Sial! Sial sial sial siall!!

Gadis itu mengumpat entah untuk keberapa kali. Tembok batu di belakangnya telah berkali-kali ia benturkan dengan kepala, lantas memaki, lalu membentur kepala. Memaki lagi, dan kepala kembali dihentak ke belakang. Rasa sakit tak membuatnya berhenti. Darah telah mengucur, namun tak ia pedulikan sakit yang datang bersamanya. Setelah bosan memaki, mengumpati nasib sial yang selalu membersamai tanpa dipinta, ia menangis. Meraung. Kemudian semakin membenturkan kepala dengan keras pada tembok batu yang hanya bergeming.

Dipandanginya jeruji besi yang seolah tengah meledek melihat kondisinya. Amis darah dan aroma tak sedap lainnya bekerja sama untuk mengusik indranya. Ia tak suka di sini. Sial! Ia ingin keluar! Keluarkan ia dari sini!

Gadis itu masih meraung, menangisi dirinya sendiri. Lantas, ketika bayangan saat ia merobek leher seorang gadis bermata hijau keemasan dengan kukunya perlahan muncul di ingatan, bayangan pancuran darah yang keluar dari leher putih itu, dan teriakan yang terjerit bersama tangis, membuat raungannya sontak berubah menjadi tawa sumbang. Ia terbahak-bahak, memukul paha berulang kali karena rasa lucu yang menggelitik sarafnya.

Dua menit ia habiskan untuk tertawa sepuasnya di sel lembab nan gelap lantaran satu-satunya penerangan di penjara bawah tanah itu hanyalah obor-obor yang menggantung di sepanjang dinding di luar jerujinya, juga cahaya tipis yang masuk dari sela-sela ventilasi kecil di atas sel.

Seketika, bayangan yang membuatnya tergelak berubah menjadi ingatan lain. Ingatan saat ia dilumpuhkan oleh Ein yang bahkan tanpa bantuan sihir sama sekali mampu bertarung beberapa saat dengannya dan berhasil menebas pergelangan kanan tangannya, membuat Isabelle berlutut tak menyangka sembari menatap sebelah tangan yang telah buntung dan mengalirkan begitu banyak darah.

Ia murka saat itu. Bersama raungan emosi, dikerahkannya seluruh sihir Lager yang ada di dalam diri dengan tak terkendali untuk membunuh si Sulung Rossemarry. Tetapi karena kecerobohan itulah Ein mampu menandinginya walau ia tak memiliki sihir sedikitpun. Sesekali pria itu akan meringis ketika sihir Isabelle berhasil mencabik kulitnya, atau membakar, melemparnya ke dinding, ataupun menusuknya sampai ke tulang-tulang. Kendati begitu, Ein tetap mampu melumpuhkannya dengan pedang yang sangat Isabelle benci karena telah merenggut sebelah tangannya.

Please, Take Me Home!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang