Hari-hari si Bebek (nama panggilan sayang) bertahan hidup di luar Liberté. Tinggal di klinik sudah tak mungkin lagi karena dia sudah sembuh dari luka-lukanya. Perut lapar, uang tak ada, sedangkan tagihan pengobatan masih belum sepenuhnya tertutupi...
Seorang biduan bangkit dari tempatnya duduk, melirik pada gadis pemetik gitar. Menunggu aba-aba. Gadis Pemetik Gitar itu mengangguk, lalu suara tenor sang Biduan mulai mendendangkan lagu.
"Berembuslah angin kering
Debu dan panas terbang bersama helai kering berkapas ilalang benak ke masa silam melayang ...."
Setiap kata dinyanyikan dengan nada-nada lembut irama balad. Beberapa berhenti sejenak untuk duduk menikmati, sembari memesan sesuatu dari pedagang di sekitar situ untuk menghilangkan dahaga. Kebanyakan tak terlalu peduli.
Terlalu sibuk dengan kegiatan masing-masing. Saling tawar harga dan barang. Mencoba mendapat keuntungan lebih atau setidaknya tidak terlalu merugi.
Seruan kekesalan. Gemerincing koin yang berpindah tangan. Derai tawa kepuasan. Meja yang dihantam, derit kaki kursi. Riuh. Seseorang memanggil petugas, sementara yang lain berusaha melerai.
Ketika suhu emosi beberapa pihak memuncak, dari sekadar saling memaki menjadi saling dorong. Punggung terempas ke meja lain, menyenggol lengan, menumpahkan sebotol minuman. Raungan amarah pemilik botol diikuti dengan rahang yang menerima bogem mentah.
Pening, korbannya melangkah menjauh dengan terhuyung sebelum kehilangan keseimbangan dan terjerembab di kaki Ducky. Lelaki berambut ijuk merah itu mengernyit tak senang. Ujung sepatu botnya terciprat liur dan keringat.
Dia memindah cangklongan tas selempang, supaya menjauh dari sumber keributan yang masih berlangsung. Kemudian memutar sedikit arah langkah untuk tidak menginjak orang yang masih terkapar di jalanan panas berdebu. Tiba-tiba sesuatu kembali membuatnya berhenti.
Orang yang terkapar itu menarik ujung mantel barunya. Merintihkan sesuatu. Menyebut nama seseorang.
Bukan urusannya.
Dengan satu kibasan, Ducky melepaskan genggaman lemah itu.
Namun tubuh kedua terempas dari pusat keributan. Menabrak Ducky. Tak sampai membuatnya jatuh, tetapi cukup untuk menyebabkan tubuhnya terhuyung dan isi ranselnya menggelinding keluar.
Ducky merutuk keputusannya untuk tidak membeli kendaraan karena Biro Perjalanan di koloni itu lagi-lagi kehabisan sewa untuk kendaraan perorangan. Sepertiga barang-barangnya terpaksa dijejalkan dalam ransel. Terlalu penuh hingga tak bisa menutup sempurna.
"Kau juga teman cecunguk ini?!" hardik seseorang sembari menarik kasar bahu Ducky. Barang-barang yang baru saja selesai dipungut kembali olehnya kembali tumpah, menggelinding, berlumuran debu tanah.
"Bung," Ducky memulai, terdengar lelah. "Aku bahkan baru saja sampai di Koloni ini."