Hari-hari si Bebek (nama panggilan sayang) bertahan hidup di luar Liberté. Tinggal di klinik sudah tak mungkin lagi karena dia sudah sembuh dari luka-lukanya. Perut lapar, uang tak ada, sedangkan tagihan pengobatan masih belum sepenuhnya tertutupi...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lobi penginapan hari itu agak ramai. Selain penyewa kamar beberapa pengunjung yang datang hanya untuk makan di kantin tampak bercengkerama sebelum melanjutkan pembicaraan di meja kantin.
"Bung! Hei, Bung! Ada titipan untukmu!" panggil resepsionis pada Ducky yang baru turun. Wajahnya jauh lebih cerah karena pagi itu tak ada suara biadab sirine yang memaksanya terbangun.
Sekantong koin—berbagai macam jenis, sudah ada di tangan. Walau sebal, Ronald memenuhi janji untuk memberinya setengah yang tersisa dari uang muka. Ducky mengamati kotak yang menjadi wadah kantong koin.
Sepintas tak berbeda dengan kotak biasa yang bisa ditemui di mana saja, tetapi bahannya memancing perhatiannya. Bukan plastik murahan, bukan pula logam, apalagi kayu yang sudah sangat langka itu. Sebaris pesan yang menyertainya tidak memberikan petunjuk bagaimana dia harus membuka kotak itu, hanya 3 set huruf. Seandainya tak ada notifikasi masuk ke gadget mungilnya, dia tak akan tahu bahwa 3 set huruf itu perlu dikombinasikan dengan baris serupa di layar untuk membuka kota.
Sungguh mutakhir.
"Ayah! Cepat ... Cepat!" panggil seorang anak, berlari menerobos beberapa orang di dekat pintu lobi.
"Hei!"
"Hati-hati, bocah!"
"Maaf ... Maafkan dia," ucap seorang lelaki berambut pirang. Membetulkan kacamata setelah menunduk berkali-kali pada orang-orang yang tak sengaja tersenggol anaknya.
Anak yang sama nyaris menabrak Ducky, tetapi laki-laki itu menghindar di saat terakhir. Tubuh mungil yang mengira laju larinya akan tertahan oleh kaki orang dewasa terdekat, oleng kemudian terjerembab di lantai lobi.
Sekali pandang, anak itu tampak tak terluka. Mungkin lututnya terbentur, tetapi tak ada merah apalagi memar. Namun, entah karena malu atau terkejut, anak itu mulai meraung. Menangis kencang.
Seketika saja banyak mata terpancing ke arah Ducky yang melenggang pergi. Tak peduli pada pandangan mata ayah si anak yang mengikuti arah kepergiannya dari balik kacamata, sembari membantunya yang masih menangis untuk bangkit dari lantai.
Malam itu Ducky memeriksa hasil belanjaan selama sesiangan. Sebuah ransel berkemah berikut isinya—menggantikan tenda lusuhnya yang sudah terlalu banyak tambalan. Ranselnya masih bisa memuat perlengkapan lain juga, tetapi Ducky memutuskan untuk membagi perlengkapan dan perbekalannya dengan tas lain. Sangat tidak lucu mati kelaparan di Direland karena kehilangan satu tas.
Dia pernah nyaris mengalami itu. Untungnya jarak ke pemukiman terdekat tak terlalu jauh.
"Hei, kau!" tegur seseorang tiba-tiba ketika Ducky sedang menanyakan tempat rekomendasi untuk menjual tenda tuanya pada resepsionis.
Laki-laki berkacamata tadi siang.
"Aku tidak tahu bagaimana hidup mercenary, tapi apa kau bisa seenaknya pergi begitu saja setelah membuat nangis seorang anak kecil?" hardiknya. Mencoba untuk terdengar tenang, tetapi menekankan pada kata: mercenary, seenaknya, dan anak kecil.