Ducky terhenyak dengan otot wajah kaku dan kedutan di dekat salah satu matanya. Garis bibirnya naik sebelah, berjuang untuk tidak membentuk cemberut tetapi gagal total. Malah membuat kerut-kerut seram di wajahnya.
"Tuan dan Nona," panggil seorang pramugara, terdengar berusaha tetap ramah. "Mohon segera kembali ke tempat duduk masing-masing, supaya shuttle segera bisa mencapai kecepatan stabil dan kita bisa tiba di tujuan sesuai jadwal."
"Ah. Sayang sekali, mon amour ... manisku," desah lelaki tampan dengan cukuran janggut dan kumis nyaris sempurna sampai Ducky sempat mengira dia menorehkan tinta ke wajah. "Orang-orang cemburu dengan panasnya hubungan di antara kita berdua, hingga berusaha memadamkan kobaran bara asmara di antara kita dengan hal sepele." Dia melanjutkan sembari membelai rambut perempuan muda yang sedari tadi didekapnya.
Kalau Ducky tak salah lihat, perempuan itu terlihat tidak begitu senang dengan posisinya saat itu, malah wajahnya menunjukkan rasa jijik.
"Mon amour, cintaku. Izinkan aku berpisah sejenak denganmu setelah satu kecupan, un baiser sur tes lèvres in- ...—OUF!!!"
Sebuah sikutan telak, mendarat di rahang persegi lelaki tampan itu. Perempuan itu sendiri yang melakukannya. Dia yang sedari tadi terhalang rangkulan sebelah tangan kekar si Tampan, bergegas menggunakan kesempatan itu untuk melompat turun dan memilih tempat duduk paling jauh dari lelaki itu.
"Ah ... Haha!" Si Tampan terkekeh sambil mengusap dagu. "Bersikap malu-malu bagaikan kucing liar, un chat errant, rupanya? Aku paham. Akan kunantikan kesempatan kita bisa kembali bercumbu berdua lagi, dara manisku!"
Kemudian dia mengambil tempat di satu-satunya kursi penumpang yang kosong saat itu, di sebelah Ducky.
Saat itu, Ducky segera memahami mengapa orang-orang bergegas menggunakan barang atau apapun yang mereka bawa untuk menghalangi si Tampan duduk di dekat mereka. Aroma parfum tajam menusuk hidung bercampur dengan keringat dan bau hewan. Semua itu berasal dari tubuh si Tampan.
Dia sudah pernah menghadapi para sosialita berparfum tajam ketika acara formal kelulusan akademi. Dia juga sering harus masuk ke barak prajurit yang baru pulang bertugas dan entah berapa puluh kali mengalami neraka cuaca gurun berhari-hari. Setelah semua itu digabung saja tak pernah Ducky menghidu aroma separah yang dibawa oleh si Tampan.
Apakah karena sadar wajahnya tampan lelaki bertubuh atletis itu tak pernah mandi atau setidaknya mengganti baju sebelum naik ke shuttle, Ducky tidak tahu.
"Tolong jangan terpesona padaku, Kawan, mon Ami!" si Tampan kembali mengoceh.
Satu lengannya bergerak luwes menyisir helai-helai rambut hitam kelam, berombak. Hanya dari gerakan saja dia sungguh terlihat mengesankan, walau sampai mati Ducky tak akan mau mengakuinya.
Apalagi lanjutan kalimat yang diucapkan si Tampan membuat tangannya gatal ingin meraih revolver atau pisau atau keduanya. "Jangan sampai jatuh hati ... Aku tahu sekujur tubuhku indah dipandang tetapi hatiku hanya untuk cinta sehidup-semati yang duduk terpisah di ujung sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ducky's Today Menu
AvventuraHari-hari si Bebek (nama panggilan sayang) bertahan hidup di luar Liberté. Tinggal di klinik sudah tak mungkin lagi karena dia sudah sembuh dari luka-lukanya. Perut lapar, uang tak ada, sedangkan tagihan pengobatan masih belum sepenuhnya tertutupi...