03 - Kiosk

34 9 17
                                        

"Tidak ada kios?!" pekik salah seorang penumpang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tidak ada kios?!" pekik salah seorang penumpang. "Bagaimana kalau kami lapar, biskuit-biskuit kering ini saja tak cukup untuk mengisi perut."

Protes serupa dilontarkan penumpang lainnya.

Nampaknya memang orang yang jarang melintas Direland tak membawa banyak perbekalan. Meraka terlalu terbiasa dengan kios-kios yang banyak terdapat di koloni menengah dan besar. Bahkan koloni kecil sekalipun masih terdapat area perdagangan walau tak terlalu luas.

Tidak demikian halnya dengan tempat peristirahatan. Hanya sebuah kumpulan karavan yang mengelilingi oasis kecil di tengah Direland. Karavan yang mampir tak pernah menetap. Begitu kebutuhan untuk mengisi persediaan air terpenuhi, mereka segera melanjutkan perjalanan.

Beruntung sekali bila perjalanan mereka melintas tempat peristirahatan yang kebetulan salah satu karavan yang mampir sempat menggelar lapak dagangan. Biasanya para pedagang tak terlalu mau buang waktu hanya untuk mendapat penghasilan receh. Atau tega menarik bayaran berkali-kali lipat yang bisa menimbulkan kemarahan massa. Lebih baik langsung meneruskan ke koloni terdekat dan membuka toko yang layak di sana.

Oasis yang mereka singgahi hanya ada satu penjual membuka kios di kendaraannya. Selain menarik bayaran lebih tinggi daripada kios-kios di Koloni, dagangannya sangat terbatas. Kebanyakan orang yang cukup waras tak akan rela keluar dana 5 kali lebih mahal sekadar untuk kudapan.

Mengunyah dendeng yang sengaja diselipkan dalam tas selempang, Ducky melihat keributan yang terjadi.

Beberapa anak merengek. Diikuti anak-anak lain. Lalu orang-orang tua mereka mengomel, mencoba mengatasi dengan mainan atau bacaan. Tak terlalu berhasil. Satu-dua orang mulai protes pada ketua rombongan, menuntut disediakan konsumsi tambahan.

Ketika salah seorang dari mereka yang cukup berada, akhirnya menyerah dan membelikan kudapan untuk anak semata wayangnya, kericuhan memuncak. Anak-anak yang tadinya hanya merengek mulai menangis. Para orang tua terbagi antara: mereka yang tak mau kalah dan turut membuka dompet, atau mereka yang bersikeras untuk membujuk anak masing-masing sambil menyindir dengan bengis.

Ducky meraih botol airnya, ketika melengos pada peti dan koper berisi pakaian dan barang-barang tak terlalu berguna yang dimuat dalam kendaraan kargo. Entah apa yang dipikirkan oleh para wisatawan di rombongan ini. Kalaupun tidak berburu, setidaknya mereka harus membawa perlengkapan untuk mengolah buruan dan memasaknya.

"Hei, kamu!" panggil seseorang. Nyaris membuatnya tersedak air yang sedang diteguk.

"Dari tadi kulihat kamu hanya diam saja, menertawakan kami yang kerepotan ini, ya? Bagaimana kalau melakukan sesuatu untuk mengatasi ini?"

Hanya seorang perempuan, menjelang usia 40-an. Berkacak pinggang dengan kerut di antara kening dan di sudut bibir yang sepertinya permanen.

"Maaf, Nyonya. Orang yang di sana juga sesama penumpang. Bukan staf kami," ucap salah seorang pegawai biro perjalanan, buru-buru datang menengahi. Membuat perempuan yang baru saja menudingkan telunjuk pada Ducky memerah—mungkin kombinasi malu dengan kesal.

Ducky's Today MenuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang