Badai pasir dan debu sudah usai sejak beberapa hari yang lalu, tetapi jejaknya tersisa di banyak tempat di koloni kecil itu. Area pasar yang sebagian besar toko hanya berupa terpal yang disangkutkan pada rangka seadanya di depan atau samping bangunan penuh tambalan yang tak beraturan, masih disapu oleh satu lapisan tipis warna cokelat muda, akibat debu yang belum berhasil dibersihkan.
Ducky terpaksa mengenakan kacamata pelindung dan mengenakan kain penutup hidung dan mulut, karena sedikit angin saja sudah membuat debu-debu berhamburan. Di tempat yang sulit mendapat air, kelilipan bisa menjadi masalah serius.
"Hei, Pemuda Tampan!" sapa salah satu penjual, parau. "Kau pasti butuh barang-barang ini."
Ducky beranggapan ucapan itu seratus persen bohong, karena tak mungkin penjual itu bisa melihat wajahnya. Apalagi seumur hidup, kata: Tampan, tidak akan pernah dialamatkan pada dirinya. Namun diam-diam matanya melirik pada beberapa benda yang dijejerkan di atas tikar.
Hanya aneka perkakas, seperti: palu, obeng, dan tang. Sebagian besar tertutup karat, sementara banyak yang bahan pelapis gagangnya terkelupas atau lebih parah, bengkok dengan bentuk tak wajar. Membuat Ducky bertanya-tanya, apa saja yang terjadi pada barang-barang itu sebelum sampai ke tangan si penjual.
"Ayo, Bos!" seru penjual, beberapa toko dari situ. "Dicicipi boleh ... Dendeng kadal, sate kadal, sup kadal. Baru matang!"
Dari panci penyok di atas tungku batu, terdengar suara air menggelegak. Namun Ducky tidak mencium aroma sedap. Entah apa saja yang dimasukkan sebagai bahan sup hingga ketika penjual menyendok, warnanya sangat keruh kehijauan. Dia harus cepat-cepat melangkah menjauh karena kain yang menjadi maskernya tidak cukup tebal untuk menahan aroma aneh yang timbul dari sup itu.
Penjual yang sesekali berseru, mencoba memanggil pembeli ternyata tidak banyak. Sebagian besar dari mereka memilih duduk diam di belakang dagangan masing-masing yang digelar atau digantung. Ducky harus jeli memeriksa barang-barang semacam itu, karena siapa tahu dia cukup beruntung untuk menemukan barang-barang yang setara dengan perlengkapan lamanya ketika masih bertugas.
Di Rogue, sebelum memutuskan ikut shuttle antar koloni, dia sempat menemukan sepasang sepatu bot standar militer. Kotor tapi belum rusak—ada sedikit kecurigaan dalam benaknya, sepatu bot itu memang miliknya yang dijual oleh Dokter Auer untuk menutupi biaya pengobatan.
Tidak terbesit sedikit pun di pikiran Ducky bahwa yang menjual barang-barangnya dulu adalah Suster Tilia.
"Awas!"
Bersamaan dengan pekikan nyaring itu, dia menghindar dari apapun yang berayun menuju wajahnya.
"Bodoh! Ikat yang benar, apa kau ingin bunuh orang?!" Suara yang sama kembali berteriak, memaki.
Ducky menangkap benda yang berayun tadi sebelum kembali mengancam keselamatan setelah mencapai momentum. Sebuah tas selempang. Lebih besar dari tas bututnya saat ini. Bahannya terasa lebih tebal dan kuat. Juga terasa lebih berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ducky's Today Menu
Phiêu lưuHari-hari si Bebek (nama panggilan sayang) bertahan hidup di luar Liberté. Tinggal di klinik sudah tak mungkin lagi karena dia sudah sembuh dari luka-lukanya. Perut lapar, uang tak ada, sedangkan tagihan pengobatan masih belum sepenuhnya tertutupi...