Hari-hari si Bebek (nama panggilan sayang) bertahan hidup di luar Liberté. Tinggal di klinik sudah tak mungkin lagi karena dia sudah sembuh dari luka-lukanya. Perut lapar, uang tak ada, sedangkan tagihan pengobatan masih belum sepenuhnya tertutupi...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Ducky! Hei, Ducky ... Buka matamu!"
Terdengar tepukan beberapa kali antara telapak tangan beradu sesuatu, mungkin sesama telapak tangan, mungkin juga dengan pipi.
"Gawat. Harusnya aku tidak mencoba-coba ... Bagaimana, ini?"
Tepukan berkali-kali kembali terdengar. Tidak hanya suaranya yang mengganggu, pipi juga ikut merasakan tamparan ringan. Tak terlalu sakit tetapi cukup menjengkelkan.
"Ducky! Hei ... Hei, Ducky, kumohon ... Buka mat-"
"Berisik! Apa, siiih? Ganggu orang tidur aja?!"
Lelaki kurus berambut ikal kemerahan memandang balik ke arahnya. Mata cokelatnya terbelalak kaget, mulutnya masih belum tertutup karena kalimat yang tidak selesai.
"Siapa kamu?" tanyanya pada lelaki berambut ikal kemerahan itu.
"Oh, tidak ... Ducky!" keluh si Ikal Merah itu. "Gara-gara jamurku ... Kau kehilangan ingataaan!"
Si Ikal Kemerahan itu maju, bermaksud memeluk lawan bicaranya tetapi terhenti karena wajahnya menabrak tas yang dijadikan tameng.
"Jawab dulu, kamu siapa!? Ini di mana, dan kenapa aku bisa di sini?"
Ada nada sangat mengancam dari rentetan pertanyaan itu. Serasa sedang diinterogasi oleh ibunya sendiri. Lelaki itu akhirnya menjelaskan segalanya, mulai dari nama, penginapan tempat mereka berada, dan koloninya, termasuk bagaimana dia tak sengaja membuat Ducky mengonsumsi jamur tak dikenal.
"Jadi ... Alfred, kau ada dendam apa pada lelaki bernama Ducky ini?"
"Huh? Nggaaak. Aku tidak ada dendam padanya, malah aku sangat berterimakasih sudah ditemani sampai sejauh ini. Walau mungkin karena aku sudah membayar setengah tarif dan menalangi seluruh biaya akomodasi kami, sih ... Aduh!"
Lelaki berambut ikal kemerahan yang bernama Alfred itu mengaduh karena sebuah sentilan cukup kencang mendarat di tengah keningnya. Sambil mengusap-usap, berusaha memroses antara rasa sakit dan bingung, dia protes," Kenapa???"
"Kenapa, katamu?" Nada suara yang tadi menyentil itu meninggi dengan berbahaya. "Kamu sudah dibantu orang bernama Ducky ini, lalu bukannya berterimakasih dengan benar, malah meracuni supnya dengan jamur entah dari mana?"
"Uhh ... Kalau dibilang begitu, nggak salah juga, sih."
"Nggak salah, Gundulmu Keriting?! Katanya terpelajar, kok nggak pakai otak?" Dia memaki sembari mengacungkan telunjuk berkali-kali ke hidung Alfred. "Sana, cek lagi yang benar ... Jamur apa yang sudah kamu pakai, apa efeknya, dan bagaimana cara menyembuhkan orang yang terlanjur mengonsumsinya!"
Alfred masih termanggu. Mengerjapkan mata beberapa kali pada sosok Ducky yang tidak bertingkah seperti Ducky yang dia kenal sudah terlalu absurd untuk diproses.