BAB 29

95 2 0
                                    

"Mas siapa yang barusan menelpon, kok tiba-tiba kamu jadi panik begitu?" tanya Nadia yang memperhatikan suaminya tampak begitu gelisah malam ini.

"Fathan, dia yang menelponku. Dia bilang Gian kecelakaan dan kondisinya parah," lirih Aariz pada Nadia.

"Apa, Gian kecelakaan? innalilahi, bagaimana ceritanya mas?" Nadia terperanjat oleh ucapan suaminya. Ia tidak menduga sahabat suaminya sekaligus Wakil Direktur perusahaan suaminya itu akan mendapatkan kemalangan.

"Aku tidak tahu persis yang tapi yang jelas kata Fathan, kemungkinan besar Gian akan mengalami kelumpuhan," Nadia yang mendengar penjelasan suaminya, langsung menutup mulutnya meluapkan rasa keterkejutannya. Ia benar-benar tidak menduga sama sekali Gery akan mengalami kecelakaan separah itu.

"Terus bagaimana mas? apa kita harus segera kembali?" cicit Nadia pada suaminya.

"Iya sayang, sepertinya kita harus pulang secepatnya. Maaf ya sayang, liburannya jadi terganggu. Padahal aku masih ingin mengajak kamu untuk menikmati suasana musim semi di kota ini," ujar Aariz sedikit menyesal pada istrinya.

Niat hati, dia ingin mengajak Nadia untuk lebih lama menikmati liburan mereka tapi siapa yang menduga kalau Gery akan mengalami kecelakaan.

"Ga mas, jangan bicara seperti itu. Justru aku juga ikut khawatir sama kondisi Gian. Dia itu selalu baik sama kamu mas, terlebih lagi Gian juga selalu jadi garda terdepan setiap kali mas ada masalah dengan Keyzia," tutur Nadia mengingat bagaimana Gian yang begitu protektif terhadap Aariz.

"Iya Nad, dia memang selalu melindungiku. Padahal aku mengenalnya cuma pas sewaktu kuliah, tapi dia begitu baik padaku. Aku ga akan pernah melupakan semua sikap baik yang dia tanamkan padaku," Aariz mengakui semua kebaikan Gian terhadapnya.

"Jadi mas pesan tiket pulang jam berapa besok?" tanya Nadia pada suaminya lagi.

"Aku pesan tiket yang agak pagi. Biar kita sedikit cepat sampai ke Indonesia," ungkap Aariz pada istrinya.

***

Sementara itu, Fathan masih menunggu di rumah sakit sampai Gian sadar dari anfalnya. Fathan tertidur di ruang tunggu sampai ia merasakan ada sesuatu yang menyentuh kepalanya.

"Fany, kamu? bagaimana bisa kamu tahu aku ada di sini?" Fathan tersentak saat Fany mengusap kepalanya, wanita itu tampak memperhatikannya dengan sangat lekat.

"Iya, tadi aku tidak sengaja melihatmu berhenti saat terjadi kecelakaan di lampu merah, karena penasaran aku mengikutimu. Maaf kalau aku lancang," ucap Fany padanya.

Ketika terjadi insiden kecelakaan Gery tadi, tepatnya jam pulang kerja para karyawan, Fany yang juga baru pulang kerja tidak sengaja melihat Fathan turun dari mobilnya untuk membantu Gian. Merasa penasaran Fany mengikuti Fathan saat di rumah sakit.

"Ahm, tidak apa-apa. Aku hanya terkejut melihatmu tiba-tiba ada di sini. Ini sudah larut malam, kenapa kamu tidak pulang saja?" Fathan melihat jam tangannya yang telah menunjukkan pukul dua belas dini hari.

"Kalau kamu tidak keberatan boleh tidak aku menemani kamu di sini?" pinta Fany padanya.

Sungguh, perasaan Fany pada Fathan tidak pernah berubah. Meskipun lelaki itu masih tidak menyadari perasaan Fany padanya tetap saja tidak akan merubah rasa cinta yang telah dipendam Fany padanya.

"Tidak usah Fan, kamu lebih baik istirahat di rumah saja, lagi pula aku tidak ingin merepotkanmu" Fathan merasa tidak enak hati pada Fany dan ia tidak ingin menyusahkannya.

"Ga kok Than, aku ga merasa repot. Boleh ya, aku menunggu Gian di sini bersamamu," ucap Fany dengan nada memohon. Akhirnya Fathan mengangguk setuju.

Fany tersenyum bahagia menatap Fathan ia pun bergegas duduk di dekat Fathan kemudian menyodorkan makanan yang telah dibelikannya untuk dirinya dan Fathan saat akan menemui Fathan di rumah sakit tadi.
"Ayo makan dulu, kamu pasti laparkan?" bujuk Fany padanya.

Seakan memiliki sinyal kalau Fathan sedang lapar, makanan yang dibawakan Fany sedikit mengurangi rasa lapar Fathan saat ini. Lelaki itu mengambil kotak makanan yang diberikan Fany padanya kemudian menaruhnya di meja.
"Kamu udah makan?" tanya Fathan padanya lagi.

"Ni, aku juga beli buat aku. Kita makan sama-sama," ujar Fany yang kemudian mengambil tempat untuk makan bersama Fathan.

Entah mengapa malam itu perasaan menghangat tiba-tiba saja menjalar dihati Fathan. Ia merasa sangat senang saat Fany menemaninya.

"Terimakasih ya Fan, udah repot-repot membelikan makanan ini untukku,"

"Ga perlu ucapin terimakasih gue ngelakuin ini karena gue ngerasa senang," ucap Fany sambil mengunyah makanannya dengan lahap. Fathan hanya senyum-senyum kecil memperhatikan Fany.

"Kenapa malah meratiin gue kayak gitu Than? ayo makan, nanti kalau udah dingin ga enaknya loh makanannya," Fany jadi salah tingkah saat Fathan memperhatikannya.

"Kalau makan pelan-pelan, ga perlu terburu-buru sampai belepotan begitu,"ujar Fathan sambil mengambil sisa makanan yang menempel di bibir Fany.

Sontak saja Fany menjadi tersipu malu atas perbuatan Fathan padanya barusan. Fathan. Sendiri menjadi salah tingkah merasa malu. Ia tidak bermaksud menggoda Fany tapi refleks saja tangannya mengambil makanan yang menempel di bibir Fany.

"Maaf ... maaf, aku ga bermaksud lancang tadi itu..." seketika suasana jadi kaku. Fathan dan Fany sama-sama terdiam.

"Hmm kalau mau nyuapin gue bilang aja, gue bakalan dengan senang hati kok, menerimanya," tukas Fany mencairkan suasana. Fathan yang tadinya terpaku malah tertawa mendengar ucapan Fany.

Tampan, itu yang Fany pikirkan saat melihat pria dingin dihadapannya itu tertawa lepas seperti saat ini, untuk pertama kalinya Fany melihat Fathan lebih lepas dari biasanya.

Fathan sendiri juga merasakan ada yang beda malam ini saat bersama Fany. Mungkinkah Fathan mulai menyukai gadis yang berada didekatnya?

"Oh ya Than, itu si Gian kenapa sampai kecelakaan seperti itu?" Fany mulai membahas kondisi Gian.

"Aku ga tahu persis penyebabnya, yang jelas tadi aku melihat ada keramaian dekat lampu merah, merasa terpanggil aku coba lihat dan ternyata itu Gian,"

"Bagaimana keadaannya, parah ga?" Fany mulai penasaran.

"Dokter bilang dia mengalami kelumpuhan, karena tulang panggulnya terkena hantaman cukup keras," jelas pria itu lagi sambil memakan makanan yang tersedia.

"Apa kelumpuhannya masih bisa disembuhkan?" tanya Fany sambil menghabiskan suapan terakhirnya.

"Entahlah Fan, aku juga ga tahu. Dokter bilang kemungkinan sembuhnya sangat kecil karena kecelakaannya cukup fatal," jelas Fathan padanya lagi.

"Terus keluarganya gimana? apa mereka tahu tentang keadaannya?" Fany semakin merasa penasaran.

"Kata Aariz keluarganya udah ga ada," jelasnya lagi.

"Kasihan juga ya si Gian. Gue kira dia masih punya keluarga jadi kalau dia dalam keadaan seperti sekarang ini masih ada yang bisa membantunya, kalau udah begini siapa yang akan membantu dia nanti?" Fany tampak prihatin pada pria yang terbaring dalam ruang pesakitan itu.

"Itu kuasa Tuhan Fan, ga ada yang ga mungkin. Meskipun Gian ga punya keluarga, bukan berarti dia sendirian, karena masih banyak  orang yang perduli padanya," Fany mengangguk paham atas penjelasan Fathan.

Menjadi Istri Pengganti (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang